Jumat, 17 Agustus 2012

Out Bond Seru Versi Sederhana


Oleh: Dasnah SGI III

Sore itu, aku seperti malas melangkahkan kaki menuju surau. Entahlah, tiba-tiba saja kaki ini terasa berat untuk melangkah, ditambah dengan jalanku yang kini tergopoh-gopoh bak nenek tua yang sudah tak sanggup berjalan lagi. Barangkali, akibat berjalan dua belas kilo bersama anak-anakku. Yah, tadi pagi aku bersama dengan seorang guru muda yang energik membawa anak-anak mengenal alam lebih jauh. Tepatnya tafakkur alam melalui Out Bond. Meski Out Bond yang kami lakukan tak seperti konsep out bond sekolah-sekolah elit, namun semangat kami sepertinya melebihi mereka. Bisa dibayangkan, beberapa bocah semestinya tak ikut dalam kegiatan itu (masih kelas 2 SD), namun karena keinginan mereka untuk merasakan perjalanan sepanjang dua belas kilo. Mereka sampai rela kehilangan aktivitas dan lakon pagi yang biasa mereka lakukan, ikut ke ladang bersama orang tua mereka atau turut membantu pekerjaan rumah ibunya.
            The real Out Bond,  bagiku ini adalah out bond yang sesungguhnya. Dulu, sebelum memilih mengabdikan diri untuk masyarakat terpencil. Beberapa kali aku mengikuti out bond dan mendampingi siswa, tak pernah aku merasa seletih sekarang. Sebab segalanya sudah lengkap. Tinggal dijalani, maklum sekolah elit. Namun, nikmat yang kurasa pun sungguh berbeda dengan sekarang.
Kali ini, out bond pertama yang kukonsep dengan amat minimalis, hanya berbekal tekad dan keinginan melihat senyum lebar para siswaku. Aku pun melaksanakannya. Kalau out bond identik dengan spider web, flying fox, meniti tali, tabung bocor, dan berbagai permainan menarik lainnya, namun  kali ini, hal itu amat jauh. Sepanjang perjalanan, anak-anakku kuarahkan untuk mengingat dan mencatat nama benda, tumbuhan, dan ciptaan Allah yang dilaluinya. Sesampainya di lokasi out bond, mereka pun harus menampilkan yel-yel mereka. Berbicara tentang yel-yel, aku punya sebait cerita bersama anak-anakku.
Ah, yel-yel, baru kali ini mereka (anak-anakku) mendengar yel-yel. Dua hari sebelum rencana out bond, mereka kuarahkan untuk membuat yel-yel. Dengan sangat girangnya, aku mengatakan kepada mereka, “nanti, ada pos khusus untuk yel-yel terbaik, tahu yel-yel, kan?” Sontak anak-anakku menjawab, “Tidak, Bu!”
Sedih rasanya melihat mereka dengan wajah bingung, mereka seakan-akan mencoba memahami ‘istilah baru’ yang kulontarkan. Aku lupa, kalau aku sedang tidak berhadapan dengan siswa-siswaku di kota. Aku sedikit pikun kalau anak-anakku, kini, jauh dari teknologi dan informasi. Namun, sedih ini kembali berganti tawa saat kumencoba menjelaskan sembari memberikan contoh. “Owhh…yang itu, namanya yel-yel!” mereka pun serempak menjawab.
Out bond kami benar-benar sederhana, setelah pos yel-yel,  beralih ke pos dua, permainan kotak bom, dan terakhir membawa kelereng dengan sendok di mulut. Usai permainan, siswa diarahkan untuk memungut sampah plastik yang bertebaran di bibir pantai. Setelah itu, bermain air dan santap siang. Terakhir, mengungkap hikmah dan bersiap untuk kembali. Sangat sederhana bukan out bond yang kami gelar?
Bagi anak-anakku, perjalanan dua belas kilo bukan masalah. Meski aku sendiri sudah merasakan perih pada kaki, tetap saja aku melangkah tegak dan tak memperlihatkan keluh pada mereka. Sebab mereka begitu antusias. Saat kutawarkan kepada mereka untuk menaiki tumpangan jikalau sewaktu-waktu ada truk atau mobil open cup yang lalu, mereka malah menolak, dengan lantang mereka menjawab, “Tidak, Bu. Kami tidak mau naik kalau ibu tidak ikut naik”. Terhitung beberapa kali kami mampir mencari buah dari tumbuhan liar yang berjejer di pinggir jalan.
Saat mataku mulai memandangi pohon bidara, buah berbentuk bulat kecil dengan rasa nano-nano yang berjejer di sepanjang jalan yang kami lalui, anak-anakku pun berseru, “Ibu, mau kami ambilkan buah rangga (sebutan khas bidara di Dompu)?” Kaki pun mulai mencari tempat teduh di bawah pohon itu. Mereka berebut mengambilkan untukku. Saat asyik menikmati istirahat yang hanya sejenak, rasa haru menyergap saat terlontar kalimat dari salah seorang anakku, “kami senang sekali, Ibu datang ke sini. Baru kali ini, kami out bond.”
Tanpa terasa perjalanan dua belas kilo pun dapat kami lalui. Haru itu makin bertahta saat kaki mereka mengantarkanku ke depan rumah, padahal rumah anak-anakku berlawanan arah dengan rumah dinas yang kutemapti, kini. Dalam hati kuberbisik pelan, “Out bond sederhana ini bukan yang terakhir, Nak!”

Menantang Ikhwan Datang Melamar


Oleh: Dasnah (SGI III Dompe Dhuafa)

Rasa-rasanya, kehidupan ini kurang kompleks jika tidak ada perempuan yang berpikir mengejar karir, baru kemudian berpikir untuk menikah. Banyak malah, bukan hanya satu atau dua. Dalam tulisan fiksi pun tak jarang diangkat oleh penulis. Penulis fiksi Best Seller,  seperti, Kang Abik pun mengagkat cerita tentang seorang gadis yang mengejar karir dalam novel Cinta Suci Zahrana. Seorang penulis tak akan menuliskan dalam sebuah cerita tanpa melihat fenomena sekitar. Fenomena yang tak berlaku secara global, namun tumbuh kemudian mengakar.
Tentu bagi Anda yang merasa perempuan hal itu wajar-wajar saja. Apalagi, bila Anda salah seorang yang termasuk menomorsatukan karir. Jadi teringat dengan perbincangan salah seorang sahabat, sebutlah ia, Dea.
Dua bulan lalu, Dea terlibat percakapan dengan teman-temannya tentang kehidupan di masa yang akan datang. Biasa, usia 20 tahun ke atas merupakan hal wajar bila sudah memiliki keinginan untuk mengakhiri kesendirian atau dengan kata lain berpikir untuk menikah. Namun, perbincangan Dea bersama tiga rekannya sepertinya sudah di ambang penantian. Dea sudah berusia dua puluh tujuh tahun, dan tiga orang temannya yang lain berusia dua puluh enam dan dua puluh lima tahun. Pantas, umur-umur demikian memang sudah sangat matang, pikirku.
Dea, gadis itu seorang dosen muda di perguruan tinggi negeri, di kota gading. Akhlaknya terjaga, pandangannya pun selalu dijaga. Makanya, tak seorang lelaki pun yang berani bermain-main dengannya. Dea, gadis itu sudah cukup matang untuk menjalani bahtera rumah tangga. Ia bukannya tak laku-laku seperti lagu band ‘Wali’, ia gadis sholehah. Wajarlah jikalau sang pencipta menjaganya dari keinginan lelaki yang tak sekufu.
Dari perbincangan itu, kedengarannya Dea bukan lagi dalam kondisi siap, melainkan amat siap menuju jalan suci itu. Jalan untuk menyempurnakan agama ini. Tiba-tiba, salah seorang temannya berkata, “De, mau tidak aku jodohkan dengan temanku?”. “Ah, tidak, ah” jawabnya singkat.  Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Seorang teman ingin berniat mencarikan jodoh, namun ia tetap kekeh menolak. Meskipun sesekali ia berkata, “asalkan mampu menjadi imam bagi keluargaku kelak”. Sungguh, Dea bukan gadis yang muluk-muluk. Mau ini dan itu, namun entahlah dengan keluarganya.
Dalam percakapan itu, tiba-tiba Dea menimpali temannya, “kamu sendiri, kapan berniat ingin menikah?” “saya, sih, masih lama. Masih ingin mengejar cita-cita, dulu!” Perbincangan di antara mereka pun makin seru. Dea dengan segala kecerewetannya mulai berceramah tentang pentingnya berpikir ke arah bahtera rumah tangga. Di penghujung perbincangan itu, Dea berharap jodoh itu akan segera mengetuk pintu rumahnya. Begitu pula dengan teman yang terlibat dalam percakapan, kecuali Vita yang masih ingin mengejar karir dan cita-citanya. 
***
Sungguh perbincangan mereka amat wajar. Perempuan, bila sudah melewati usia 25 tahun, maka rasanya sudah patut diberikan tanda warning. Namun, kita pun tahu bahwa jodoh adalah salah satu rahasia yang maha kuasa. Tak patut kita mendahului-Nya dengan menerka-nerka dan berkata, “mungkin dia, dia, atau dia-lah jodohku kelak.” 
Lantas bagimana dengan kodrat ‘perempuan’ yang notabene sangat riskan dengan gunjingan bila ia menyebut-nyebut soal jodoh. Apalagi sampai sempat berpikir menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Pasti, sudah menjadi bahan cerita. Teringat dengan kisah Rosulullah yang dilamar secara tidak langsung oleh seorang janda kaya yang baik akhlaknya, Khadijah binti Khuwailid. Bukankah, Khadijah telah memberikan contoh yang baik bila seorang ‘perempuan’ ingin melabuhkan hatinya pada ‘lelaki’ yang tepat? Kita tahu bahwa pada diri Khadijah terkumpul perangai mulia, wajarlah bila Rosulullah menerima pinangannya.
Dulu dan sekarang adalah dua kondisi yang amat berbeda. Pasti pikiran demikian kerap muncul dalam lintasan pikiran. Mana mungkin, perempuan menawarkan diri untuk dilamar? Fitrahnya, kan, perempuan yang dilamar. Mungkin demikianlah yang terbersir dalam hati ‘perempuan’ bila dihadapkan pada kondisi demikian. Kondisi di mana sudah sangat ingin menjaga diri dengan penjagaan seorang yang dapat dijadikan imam.
Sehubungan dengan hal demikian, sepertinya penting penulis berikan kutipan tentang persoalan lamar-melamar ini. Direktur Sekolah Kepribadian Muslim Glows, Kingkin Anida, mengatakan, sebaiknya perempuan tidak melamar lelaki secara langsung sebab Allah memuliakannya sebagai pihak yang dilamar. Namun, jangan juga melewatkan peluang bagus, maksudnya, kesempatan untuk menjadi istri lelaki shalih, (dikutip dari majalah UMMI edisi Mei 2012). Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits terkait dengan perbincangan ini, Kutipan di atas benar adanya, perempuan diistimewakan dengan lamaran. Perempuan shalihah pun berhak mendapatkan lelaki shalih. Tidak ada salahnya bila perempuan mendahului lelaki. “Dari Tsabit Al Bunani, dia berkata, ‘Aku pernah berada di dekat Anas bin Malik, dan di sampingnya ada anak perempuannya. Datang seorang perempuan dan ia berkata, ‘Ya, Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?’ Mendengar hal ini putrid Anas berkata, ‘Alangkah sedikit rasa malunya, sungguh memalukan.’ Anas berkata, ia lebih baik dari kamu. Ia senang pada Rasulullah lalu menawarkan dirinya untuk beliau.”
Namun, satu hal yang harus diingat, jika keputusan demikian sudah terpatri, maka amat penting bagi ‘perempuan’ untuk membekali diri dengan berbagai keunggulan sebagai nilai plus bagi dirinya. Entah itu prestasi cemerlang dalam akademik, keterampilan dasar yang mesti dimiliki oleh seorang perempuan (menjahit, memasak, merawat anak), dan soft skill, seperti pandai menulis, berbicara, dan bergaul, dll. dan yang pasti akhlaknya terjaga.  Ibaratnya ‘perempuan’ menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Sesuatu yang ‘menantang’ sudah barang tentu membutuhkan perjuangan untuk menggapainya. Bila demikian, tak sia-sia perempuan shalihah menyatakan niat baiknya kepada laki-laki shalih sebab pihak yang didahului pun akan merasa tertantang dengan keunggulan yang dimiliki oleh si perempuan. *** Wallahu’alam bissawaab

LPI Dompet Dhuafa Peduli Pendidikan melalui Sekolah Guru Indonesia



Oleh: Dasnah SGI Angkatan III

Banyak cara untuk membuktikan kepada publik bahwa kita peduli dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Bahkan, siapa pun mampu mewujudkan kepedulian itu. Termasuk instansi atau lembaga. Salah satu lembaga yang mengusung cita-cita pendidikan Indonesia adalah Dompet Dhuafa, sebuah lembaga zakat yang dikelola oleh orang-orang kreatif hingga melahirkan ide kraetif.
Pernahkah Anda mendengar Sekolah Guru Indonesia? Sepertinya sangat asing bukan? Program tersebut berada di bawah naungan Dompet Dhuafa. Rintisan jejaring Dompet Dhuafa, Lembaga Pengembangan Insani.  Sekolah Guru Indonesia dikhususkan bagi seluruh sarjana muda (fresh graduate) yang siap dididik dan diasramakan selama 6 bulan untuk menjadi calon guru model.
Sekolah Guru Indonesia (SGI) Lembaga Pengembangan Insani (LPI) Dompet Dhuafa. Program ini sudah meluluskan tiga angkatan. Dari angkatan pertama hingga angkatan ketiga terus mengalami perbaikan. SGI I yang berjumlah 63 orang (2009) waktu itu masih di bawah naungan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa memprioritaskan guru honor yang tengah mengabdi di  sekolah dasar untuk dibekali dengan profesinalisme keguruan yang mumpuni, nantinya mereka kembali ke sekolah masing-masing untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama bergabung dengan SGI. Perkuliahan selama enam bulan dengan tenaga dosen serta trainer handal dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa, seperti Asep Sapa’at, Rina Fatimah, Agung Pardini, Evi Afifah Hurriyah, serta trainer tamu seperti Jamil Azzaini siap menggodok para calon guru professional. Tentu tim SGI masih merasakan adanya kekurangan dari sistem yang diterapkan pada SGI I hingga tim SGI pada umumnya di bawah pimpinan Evi Afifah Hurriyah, M.Si. mencoba memodifikasi program yang telah ada.
Tahun 2010, SGI II sebanyak 30 orang yang direkrut adalah sarjana lulusan universitas negeri maupun swasta berasal dari berbagai propinsi yang ada di Indonesia. Mereka yang tergabung ke dalam SGI II diseleksi dengan indikator kiteria yang telah ditentukan oleh Tim SGI, work shop selama 5 bulan dengan fasilitas bea studi berasrama, berbagai pembekalan yang memadai tentang profesinalisme guru serta kegiatan asrama yang mampu mengarahkan calon guru tersebut menjadi guru berkarakter. Setelah melalui tahapan hingga 5 bulan lamanya, para calon guru SGI pun siap ditempatkan di berbagai pelosok daerah  seperti, Pulau Rote dan Kupang (NTT), Banjarmasin, Natuna, Merauke, Bengkulu, Bengkayang dan lain-lain. Setiap daerah terpilih terdiri atas satu utusan guru SGI. Mereka pun bersinergi dengan pemerintah setempat untuk memajukan pendidikan yang ada di penempatan. Adapun program guru SGI ini adalah: pelatihan atau work shop mereka gelar untuk meningkatkan kualitas guru, aktivitas menulis pun terus mereka galakkan, bahkan program pengembangan sekolah seperti ceruk ilmu serta melakukan Penelitian Tindakan Kelas pun merupakan program yang harus dijalani. Pun masih banyak bentuk kegiatan sosial lain, seperti pemberdayaan masyarakat di lokasi penempatan yang terus mereka lakukan guna mengabdikan diri secara total pada bangsa, terkusus di daerah penempatan mereka.
Pada tahun 2011, Tim SGI masih merasa perlu perbaikan untuk calon guru yang akan ditempatkan di daerah pilihan. Modifikasi pun masih tetap dilakukan, sarjana yang direkrut melalui proses seleksi ketat, mulai dari seleksi berkas, seleksi keterampilan menulis, FGD, dan wawancara. Akhirnya, terpilihlah 32 orang peserta dari 11 propinsi ke bergabung dalam SGI III dengan semboyan “Bangga Jadi Guru, Guru Berkarakter, Menggenggam Indonesia”.
Keseriusan Tim SGI Dompet Dhuafa dalam dunia pendidikan terbukti dengan terus melakukan modifikasi terhadap program sekolah guru ini. Bukti real yang diterapkan oleh tim adalah dengan melakukan pembentukan kedisiplinan ala militer, ditangani langsung oleh TNI dengan nama program “Militery Super Camp” yang berlangsung selama 7 hari (sepekan), masa orientasi, yakni pengenalan terhadap struktur serta jejaring Dompet Dhuafa yang ada di Lembaga Pengembangan Insani, pembekalan selama 6 bulan.
Perkuliahan atau work shop selama 3 bulan melalui bimbingan dosen dari dalam SGI, seperti Evi Afifah Hurriyah, Asep Sapa’at, Rina Fatimah, Amru Asykari, Agung Pardini serta menghadirkan dosen tamu seperti Djauharah Bawazir, psikolog dan konselor ahli penemu metode Pendidikan Bunyan, pakar politik pengusung Character Building, Eri Sudewo, presenter TV professional, Alvito Deanova. Tak hanya itu, pakar psikologi masyarakat, master forensic pertama di Indonesia, Reza Indragiri, social entrepreneur yang juga dosen UI, Imam Prasodjo, peneliti dan penulis buku, Wijaya Kusumah, serta masih banyak dosen tamu lain turut dihadirkan untuk menggembleng calon guru yang akan dikirim ke daerah pilihan.
Aktivitas wawasan keilmuan dari segi kemasyarakatan pun diberikan sebagai bekal kepada mereka yang terpilih. Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan selama 1 bulan di desa Tambleug, Lebak, Banten dengan menerapkan berbagai program kerja 3 bidang, pendidikan, pemuda, dan ekonomi. Pasca KKN, SGI III ini pun kembali dibekali dengan micro teaching serta magang selama 2 bulan di sekolah elite yang ada di Bogor, seperti Madania School, bertaraf international, SDIT Birrul Waalidain, SDIT At-Taufik, SDN Polisi 04, SDIT Aliya, SDIT Ummul Quro dengan spesifikasi kelas multiple intelligence, SDN Bantar Jati Sembilan, SD 03 Sukadamai, Sekolah alam, Kreatifa, dan SDS Pelita Insani,  Jawa Barat. Sekolah tempat magang pun salah satu bentuk serius dari Tim SGI, kalau SGI II dimagangkan di sekolah negeri, SGI III sebaliknya. Hal itu dimaksudkan agar mereka menyerap dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari sekolah elit tersebut. Tempat magang mereka juga merupakan tempat untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk dijadikan sebuah karya ilmiah sebagai syarat kelulusan di Sekolah Guru Indonesia.
Tidak hanya itu, pembelakan dan pembinaan karakter sangat ditanamkan selama kegiatan berasrama. Hal itu terbukti dengan dipilihnya dua pembina asrama muda (fellow residence) berpengalaman, khusus untuk putra dan putri yang disiapkan untuk menggembleng karakter para calon guru, tentu saja dengan kurikulum asrama yang sangat membangun karakter, seperti disiplin ibadah dan olahraga, social gathering, saling mengajar, kajian sejarah nabi, kajian ilmu fiqih, dan lain-lain .
Saat ini, 32 guru muda yang terpilih tengah berada di daerah penempatan, namun mereka tidak diutus sendirian sebagaimana sistem SGI II, mereka dikirim secara kolektif atau per tim di tiap daerah, terdiri atas leader dan anggota. Daerah terpilih untuk bekerja sama dengan tim SGI, yakni, Buton (Sulawesi Tenggara), Sambas (Kaltim), Dompu (NTB), Belitong (Babel), Waykanan (Lampung), dan Lebak (Banten). Mereka yang tersebar di daerah tersebut, diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan pendidikan di sekolah penempatan pada khususnya, serta kabupaten pada umumnya. Tentunya tak lepas dari kerja sama dengan dinas setempat. Program unggulan LPI Dompet Dhuafa di bidang pendidikan ini merupakan langkah kecil yang diharapkan nantinya akan membesar hingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh propinsi yang ada di seluruh Indonesia.

Cat: pernah diterbitkan di www.dakwatuna.com

Muslimah dalam Kancah Politik



Oleh: Dasnah

Salah satu lapangan kehidupan yang bernilai strategis, namun sangat jarang dimasuki oleh perempuan adalah politik. Alasan yang sering dibenturkan adalah Islam begitu menjunjung peran perempuan, memasuki arena politik berarti mengeksposnya. Selain itu, politik juga dipandang sebagai sesuatu yang kotor dan hanya bersifat kekuasaan. Padahal politik adalah salah satu lahan dakwah yang sangat srategis, namun amat terabaikan. Untuk itu, bekal yang harus disiapkan adalah memahami politik dari kacamata Islam, bukan dari sekularisme.
POLITIK DAN PEREMPUAN
Islam telah memberikan hak sosial, politik, dan ekonomi kepada perempuan. Islam selalu menjaga kehormatan dan memperlakukan perempuan dengan penuh penghargaan dan keagungan. Sungguh suatu hak yang tidak pernah diberikan oleh ideologi manapun di dunia ini, selain Islam. Syekh Muhammad Abduh pernah berkata (dalam Cahyadi:145-146) bahwa  kedudukan yang diperoleh kaum perempuan ini, belum pernah diberikan oleh agama dan undang-undang manapun di dunia ini, kecuali Islam. Nahlan belum pernah dicapai dan diperoleh bangsa-bangsa manapun, baik sebelum maupun sesudah Islam. Bangsa Eropa misalnya, karena kemajuan peradabannya telah menghormati dan memuliakan perempuan dengan cara membekalinya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun kedudukan yang mereka berikan itu, masih jauh lebih rendah dibandingkan kedudukan yang diberikan Islam kepada perempuan.
Pandangan yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad Abduh di atas memang sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa bahkan sangat istimewa. Hal itu pun mampu membuat perempuan sangat tersanjung. Perempuan mana yang tidak menginginkan penghargaan itu. Sekiranya ada pembagian hak istimewa tentang penghargaan, akan sangat mungkin terjadi antrian yang amat panjang. Namun, realita berkata lain. Perempuan sendiri yang tak menginginkan penghargaan itu, bahkan ketika ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghargai dan memberikan penghormatan kepadanya, perempuanlah yang kali pertama menentangnya dengan alasan tidak menghargai Hak Asasi Manusia (HAM).
Sejarah telah mencatat bahwa pada abad pertengahan, tepatnya tahun 1500 M, Eropa telah menyaksikan tragedi penyiksaan yang sangat keji terhadap perempuan. Sebanyak sembilan juta perempuan dibakar hidup-hidup oleh sebuah Dewan Khusus, yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Roma, Italia dengan sebuah kesimpulan bahwa “kaum perempuan tidak mempunyai jiwa”. Sedangkan lembaga filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani memandang perempuan secara tiranis dan tidak memberinya kedudukan berarti dalam masyarakat. Bahkan menganggap perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Di dalam ajaran Hammurabi pun perempuan disejajarkan dengan binatang. Kitab suci bangsa Cina tak bedanya dengan pandangan tersebut, yakni perempuan dinamakan sebagai “air yang celaka” karena ia akan mengikis habis segala keberuntungan. Filsafat Barat Amerika menganggap perempuan harus melepaskan tugas keperempuannya sehingga tidak ubahnya mereka sebagai barang dagangan seperti mobil, kulkas, dan televisi.
RAMBU-RAMBU MORAL AKTIVITAS POLITIK
Sekelumit tragedi tentang perempuan di atas membuat hati para perempuan sangat teriris. Akan tetapi, pada hari ini kejadian itu seakan diminta sendiri oleh kaum perempuan. Dan menjadi sebuah masalah bersama yang mesti dipecahkan. Jalan yang mesti dilalui adalah menghimpun kekuatan untuk membuat suatu kebijakan dalam kancah politik, dan penggerak yang dibutuhkan untuk memperjuangkan hal itu adalah perempuan. Sebab yang dapat mengerti perempuan adalah perempuan itu sendiri. Tampaknya kita perlu merenungi uraian singkat yang dfirmankan Allah s.w.t dalam mushab suci Islam di bawah ini:
Barang siapa yang mengrrjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu masuk surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit (An-Nisa’ 4: 124)
Sungguh kutipan kalam Allah di atas mampu memotivasi umat-Nya untuk meretas langkah menuju jalan dakwah-Nya. Dan sungguh Islam pun merupakan agama paripurna telah meletakkan segala ukuran dengan tepat bagi segala ruang dan waktu kehidupan kemanusiaan. Keseimbangan atau balancing merupakan fokus penting dalam penetapan  ukuran tersebut. Realitas adanya laki-laki dan perempuan adalah salah satu Sunnatullah keseimbangan, di mana kedua jenis makhluk Allah tersebut dapat saling melengkapi dan bekerjasama secara proporsional pada segala Zona  kehidupan. Demikianlah yang diungkapkan Cahyadi dalam bukunya “Fikih Politik Kaum Perempuan”.
Meretas langkah menuju jalan dakwah adalah satu ungkapan yang membutuhkan subyek untuk menggapainya. Memikirkan bagaimana strateginya juga merupakan suatu yang harus dilakukan secara analitik. Pernyataan ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipahami. Bukankah Islam telah mengatur keseimbangan dalam ssegala sisi kehidupan. Perempuan adalah titik keseimbangan dari laki-laki. Maka dianggap penting untuk menumbuhkan titik itu demi misi dakwah yang diemban oleh tiap-tiap makhluk ciptan-Nya. Ketua Persaudaraan Muslimah Yogyakarta menyatakan bahwa Naisbitt telah memprediksikan tentang kiprah perempuan yang akan semakin menonjol pada abad 21. Perempuan maju menuru Naisbitt, adalah perempuan yang lebih berani tampil tanpa “dihambat” oleh berbagai macam aturan agama. Pernyataan ini bisa jadi merupakan bagian dari ide masyarakat sekuler, atau perlawanan masyarakat yang terdominasi oleh doktrin-doktrin keagamaan, sedemikian rupa, hingga mematikan potensi kemanusiaan mereka. Ada berbagai pandangan yang dapat terlahir dari pernyataan tersebut.
Strategi yang dapat dimunculkan untuk misi dakwah dapat mencakup berbagai bidang. Politik misalnya, sebagaimana bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya juga merupakan bagian dari syumul Islam yang tak dapat ditinggalkan oleh muslim dan muslimat. Politik bukanlah sekedar kehidupan dunia yang berkonotasi kotor, sedangkan Islam bukanlah sekedar urusan dunia yang berkonotasi bersih. Justru Islam meletakkan pondasi yang kokoh yaitu hanya ada satu jalan untuk menggapai kemenangan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah pernah memberikan instruksi, kalaupun kita tahu besok kiamat, sedang hari ini di tangan kita ada biji tumbuhan, tanamlah segera!
Tak dapat dipungkiri bahwa di kalangan komunitas Islam sebuah fenomena sekularisme amat kental terlihat oleh kedua mata, termasuk dalam bidang politik. Bahkan tak ayal terdengar di telinga kita. Tetapi bukan berarti kita harus menutup mata dan menyumbat telinga untuk hal demikian. Sebagian masyarakat menolak politik karena menganggap bukan dari bagian Islam, bahkan ada yang memarginalkan peran politik perempuan, karena dianggapa wilayah terlarang.
Dalam kalam diterangkan bahwa”Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya kami beri balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan(An-Nahl 16: 97).
Pernyataan Sang Pencipta seakan berulang dalam surah An-Nahl di atas bahwa niat yang baik akan terbalaskan dengan yang baik pula bahkan telah dijanjikan akan lebih baik lagi. Bukankah ini dapat dijadikan sebagai sebuah signal tentang kiprah perempuan dalam segala bidang, termasuk politik. Tentunya dalam koridor Islam. Untuk mengantarkan pemahaman kita tentang politik, perlu diketahui definisi dari politik itu sendiri. Dalam persfektif Aristoteles dan para filosof Yunani, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat direalisasikan kebaikan di tengah masyarakat. Ia meliputi semua urusan yang ada dalam masyarakat; sudut pandang ini meletakkan politik sebagai bagian dari  moral dan akhlak. Secara terminologi Arab, dapat dipahami bahwa kata siyasah (politik) berasal dari kata as-saus yang berarti ar-riasah (kepengurusan). Jika dikatakan saasa al-amra berarti qaama-bihi (menangani urusan). Syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini yakni melakukan sesuatu yang membawa maslahat jamaah atau sekumpulan orang.
Jika segelintir perempuan tergerak untuk berpolitik dengan membawa maslahat sekumpulan orang, rasanya amat picik pikiran kita bila menganggap kiprah itu tidak sesuai dengan koridor Islam. Selama dalam langkahnya sesuai dengan ketentuan yang telah disyariatkan. Wallahu’alam bissawaab.**
Catatan: Pernah diterbitkan di www. dakwatuna.com
Tanggal muat: 9/8/12 = 21 Ramadhan

Sinta Si Pedagang Cilik


Oleh: Dasnah (SGI III – Dompet Dhuafa)


Terhitung setengah bulan, Bu Ana tidak menampakkan muka dan mengajar  alif, ba, ta, tsa kepada bocah-bocah Fo’o Rombo. Maklum bulan Ramadhan ini, mereka diliburkan dari kegiatan TPA. Bu Ana berganti tempat ibadah, kini, ia lebih sering menginjakkan kaki di masjid dusun Woja Bawah. Di sana juga banyak anak-anak yang kerap memanggil namanya serta meraih tangannya seraya berkata, “Ibu, sholat di sini, ya?” bahkan mereka kerap berteriak, “Hore, Ibu Ana maina sembeyang!” ‘Hore, Bu Ana, datang ke sini untuk sholat!”  Sesekali, ia medudukkan anak-anak itu, melingkar, kemudian mengajarkan do’a sehari-sehari kepada mereka. Itulah lakon yang ia nikmati, kini. Namun, sudah beberapa hari juga ia terlihat jarang melangkahkan kaki ke masjid itu. Maklumlah, banyak aral. Entah itu karena ia memang berhalangan datang ke masjid karena sedang tak puasa, atau kah karena agenda Ramadhan ini sarat akan kegiatan tambahan hingga ia sering pulang menjelang isya, bolak-balik ke kota.
Kemarin, tiba-tiba saja, ia terlihat bergegas menuju masjid. Sepertinya, ia ingin ke masjid Fo’o Rombo. Beberapa menit kemudian, ia pun pamit pada ayah dan ibu semangnya. “Bu, saya ke masjid atas, dulu, hari ini ada lomba untuk anak-anak!”
Seperti biasa, ia berjalan kaki menuju surau. Masjid masih terlihat sepi, namun dari luar, sudah terdengar seperti ada suara bocah yang sedang belajar ngaji. Samar-samar, ia pun seakan mengenali suara bocah itu. Benar, apa yang ada dalam  pikirannya. Bocah itu, Sinta, salah seorang siswa kelas II di SDN 15 Woja, tempatnya mengabdi. Rupanya, Sinta belajar ngaji bersama kakaknya, Sulaiman. Sepertinya, bocah-bocah itu sangat menikmati bacaan buku iqra-nya, sampai-sampai salam dari Bu Ana tidak mereka dengarkan.
Ah, rupanya masjid masih sepi. Sepertinya tak ada tanda-tanda lomba akan dimulai malam ini, sebagaimana yang dia usulkan kepada pengurus Majlis Ta’lim desa Riwo. Sejenak, ia mulai dalam lamunan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Teriakan seorang bocah yang rupanya merindukannya, tiba-tiba saja membuyarkan pikirannya. Ia pun tersenyum simpul sembari menatap sang bocah. Bocah itu tampak girang melihatnya di masjid Az-zukhruf, setelah setengah bulan tak muncul-muncul. Percakapan singkat pun terjadi antara Bu Ana dengan sang bocah.
“Ibu, dari mana, sih? Kenapa baru datang?” sambil memeluk Bu Ana.
“Ibu, kan, shalat di masjid bawah. Karena ada lomba yang akan diadakan di masjid sini, makanya ibu datang!” terang Bu Ana kepada sang bocah.
“Kata orang, Ibu sudah mau pulang, ya, Bu?” sang bocah kembali bertanya.
“Iya, sayang!” jawabnya singkat.
“Jangan pulang, ya, Bu. Kalau ibu pulang, kami bagaimana?”
Sejenak, ia tampak tertegun mendengar sang bocah berceloteh. Bocah itu memang agak cerewet, tetapi semua yang dikatakannya, benar. Bukan kali pertama ia mendapati bocah itu berkata demikian. Bocah yang menurutnya sangat tegar dan terlalu cepat menangani urusan rumah tangga di usianya yang masih amat dini. Mencuci, memasak, mengambil air, dan menyiapkan seragam sekolahnya sendiri. Semua itu, sudah amat enteng bagi sang bocah. Sinta, ya, bocah yang baru saja membawa pikirannya berkelana sepertinya telah menyita perhatiannya.
Usai percakapan singkat itu, Bu Ana kembali merenung. Ia teringat awal perkenalannya dengan Sinta. Waktu itu, sang bocah tak begitu memberi warna hingga tak mudah untuk mengingatnya. Hanya saja, saat sang bocah berbicara, suaranya menggelegar. Bahkan Bu Ana kerap menutup kuping bila berdekatan dengannya atau menempelkan telunjuk pada bibirnya, kemudian berdesis, “Sssttt…!” pertanda bahwa si bocah diminta untuk memelankan suaranya. Itulah Sinta. Satu lagi yang membuatnya tak bisa lupa dengan Sinta. Pernah suatu ketika, ia mengajarkan iqra kepadanya, namun sang bocah malah balik mengguruinya. Meski apa yang diucapkannya salah, ia tetap kekeh dengan apa yang telah dia pelajari sebelumnya. Perlahan Bu Ana menjelaskan kepadanya, ia pun mulai mengikuti.
Baginya, Sinta adalah bocah yang sangat ulet. Bocah itu pun banyak menorehkan inspirasi kepadanya. Satu di antara sekian inspirasi itu adalah semangatnya dalam berdagang.
Saat sang bocah masih duduk di kelas satu, ia sudah belajar berdagang. Bahkan, ia seperti tak punya hari libur. Sinta, menjajakan sayur dengan menggunakan baskom yang dijunjung di kepalanya, sembari berteriak, “welli, uta mbeca!” ‘beli, sayur!” seperti tak ada sore buat dia, sebab waktunya dipakai untuk berkeliling dusun dengan sayurnya. Sepulang dari menjajakan sayur, sang bocah beralih ke pekerjaannya yang lain. Memasak nasi dan ikan, layaknya ibu rumah tangga, ia juga mengangkat air seperti pekerjaan kakaknya, Sulaiman. Namun, sedikit pun tak tampak lara di wajahnya. Ia menikmati pekerjaannya.
Sama persis saat Bu Ana memandang wajahnya malam ini, seperti tak ada sedih yang menghiasi wajahnya. Rupanya, sang bocah asyik bercerita tentang aktivitasnya. Terkadang ia menutup mulut secara refleks saat keluar kata-kata yang salah. Maklumlah, bocah-bocah di tempatnya masih kurang fasih berbahasa Indonesia, bahkan banyak yang tak bisa berbahasa Indonesia. Senyum simpul Bu Ana pun menambah semangatnya untuk terus berkisah. Tentu kisah tentang dirinya (Sinta) yang sebentar lagi kedatangan ayahnya. Ayah yang selalu dinanti-nantinya setelah sekian lama pergi ke Negara lain untuk merantau.
Kali ini bocah itu berkisah tentang Ayahnya yang akan membawanya pergi ke Malaisya. Penuh semangat, ia menjelaskan kepada Bu Ana. Percakapan pun terjadi di antara mereka.
“Sinta mau ikut ayah?”
“Iya, Bu e, ayah mau bawa saya ke Malaisya.” Terangnya dengan struktur kalimat yang agak kacau.
“Yah, Sinta tidak usah pergi, ya, nanti masjid sepi!” pinta gurunya seakan berat kehilangannya. Meski raut wajah tawa tetap ia perlihatkan.
“Ya, Bu e, saya kasihan sih, sama nenek saya, tidak ada yang bantu masak dan menjual.” Kembali ia melontarkan jawaban yang membuat sang guru ciut.
            Subhanallah, sekecil itu, tetapi sudah berpikir ke arah sana. Belum tentu orang dewasa mengeluarkan kalimat yang demikian. Bu Ana terlihat membatin.
Sinta memang memiliki seorang nenek yang selalu melindunginya. Sang nenek pula yang membiayai kehidupan sehari-hari Sinta. Makan, minum, jajan, pakaian, dan kebutuhan sekolah, semua merek nenek. Mungkin itu yang membuatnya berat meninggalkan neneknya.
Ah, kekaguman sang ibu guru membumbung. Bocah itu memberikan pelajaran berharga untuknya. Ia kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat Bu Ana baru tiba di sekolah, pas di depan pintu kelasnya. Bocah-bocah sudah ramai mengerumuninya, termasuk Sinta. Sang bocah menegurnya, “Ibu, ibu dari mana, kenapa baru saya lihat?” Hanya senyum yang menjawab pertanyaan sang bocah.
Sesaat, pikirannya berkelana. Perasaan ia tak ke mana-mana. Atau mungkin saja karena ketidakhadirannya hari Senin kemarin. Tapi, ah, perasaan ia pun masuk sekolah. Memang tak lama sebab ia harus ke kota, ada urusan di dinas.
Pikirannya kembali buyar tatkala seorang bocah lagi, menyebut namanya. Bu Ana melirik Sinta. Anting emas yang melekat di kedua telinganya, kembali menyita perhatiannya.
“Wah, Sinta pakai anting baru, ya?”
“Iya, Bu e, hasil tabungan saya Bu.” Lagi-lagi, bocah ini membuatnya sontak.
Sedikit percaya, namun tak bisa diabaikan juga. Ia mulai bertanya seakan tak percaya pada Sinta. Dalam hati, ia berpikir, mana mungkin bocah sepertinya mampu menabung seharga sepasang anting emas. Tetapi, ia kan berdagang tiap hari. Pun sering memperlihatkan uang yang akan ditabungnya kepada sang guru, atau ia kerap bercerita tentang tabungannya yang sudah banyak. Mungkin juga, anting itu hasil tabungannya. Ia berusaha menepis pikiran yang berusaha menyangsikan keuletan sang bocah. Ulet, benar-benar bocah yang ulet dengan segala keceriaannya. Sinta, si pedagang cilik, diam-diam telah menjadi album inspirasi baginya.
Malam itu, kedatangannya di masjid az-zukhruf ternyata memberi pelajaran berharga. Matanya mulai berkaca-kaca, haru kembali bertahta.

Ibu, Kau Pahlawan Nomor Satu


Oleh: Dasnah

Ribuan angan sesaki pikiranku. Entah mana yang akan dilirik oleh sang pengabul do’a. Hari berlalu bagai bui diterjang angin. Terasa singkat, padahal berbulan-bulan telah meninggalkan ibu. Senyum, tawa, dan amarahnya tak bisa terhapus dari benak ini. Baru tahun ini aku jauh dari orang tua. Benar-benar jauh, harus melintasi lautan jika ingin melihat senyumnya lagi. Harus mengawang dengan merpati jika hendak membuatnya mengernyitkan kening, seraya menyebut namaku dengan keras, pertanda amarahnya mulai tampak. Ah, jadi rindu suasana rumah.
Ibu, dia pahlawan nomor satu dalam hidupku. Ibu memang tak terlalu bisa bercanda. Sama sepertiku. Tapi dalam segala hal, ibuku bisa dan terampil. Malah melebihi ayah. Ibuku pandai memperbaiki kabel listrik yang rusak. Bila ada kabel putus, ibu ahlinya. Seperti anak teknik elektro saja.  Pun jago dalam memasak, makanya ibu selalu mencoba resep baru. Dulu saja sempat berpikir memasukkanku di tata boga. Apalagi, ya? Kalau soal jahit-menjahit, ibuku tersohor dengan keahlian itu. Sampai-sampai orang-orang dari lintas kecamatan berdatangan di rumah untuk merasakan hasil jahitan ibu. Hasilnya tak pernah mengecewakan, itu kata orang.
Aku juga sempat ingin mengikuti jejaknya untuk terampil menjahit. Maksudnya sih untuk dijadikan keterampilan eksklusif (khusus untuk suami dan anak-anakku kelak). Tapi, kata ibu, bila aku ingin pandai menjahit, butuh keahlian analitis. Ah, macam peneliti saja, pikirku. Ukuran badan seseorang punya rumus. Ada teknik tersendiri bila ingin menghasilkan jahitan yang sempurna. Wah, repot juga, aku kan tidak suka berhubungan dengan angka. Aku lebih suka menulis. Lebih suka berbicara.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Masih ada banyak hal yang membuatku kagum padanya. Kreatif, yah, ibuku kreatif. Kain-kain perca bisa disulap jadi barang yang bermanfaat. Bila Anda salah seorang pelanggan jahitan ibu, maka kain sisa Anda takkan terbuang begitu saja. Apalagi bila Anda punya anak kecil. Kain sisa itu akan dibuatkan baju serupa untuk anak kecil Anda. Atau malah akan dibuat dompet imut dari kain perca itu. Maaf, bukan promosi tetapi memang kenyataan. Dulu, aku juga pernah merasakan bagaimana kreatifnya ibu memodifikasi jilbabku yang bolong tak karuan gara-gara tikus. Ibu menempelkan kain yang serupa dan menambahkan dengan variasi lebih menarik dari sebelumnya. Walhasil, jilbab itu menjadi serasi denga bajuku yang kebetulan memiliki variasi yang sama.  Ketika aku mengenakannya, teman-temanku pasti berkata, “cantik sekali bajumu, serasi dengan jilbab, beli di mana?” “Ah, ini jahitan ibuku”, jawabku. Saking kreatifnya ibu menekuni bidangnya itu, ibu pernah menjahit celana tidur, baju potongan untukku dari kain sisa dengan menggunakan tangan, tanpa mesin jahit. Tadinya aku tak percaya kalau jahitan itu manual. Habis, hasilnya rapi, tak terlihat kalau itu jahitan tangan.    
            Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Aha, ibuku punya minat bisnis yang bagus. Dia pernah mengelilingi papua untuk berbisnis. Tentu saja, ibu berbisnis tak jauh dari keahliannya, memasak dan menjahit. Emang, sampai di Irian dan Papua pun banyak yang menyukai hasil jahitannya. Kalau ibu punya jiwa petualang dan pantang menyerah. Maka, aku yakin kedua hal itu menurun padaku. Aku selalu siap menerima tantangan. Tak mudah menyerah, sebab tekad selalu aku tanamkan sebelum bertindak. Jika aku pun dijuluki kreatif dan serba bisa oleh anak-anakku di pelosok, maka aku pun percaya kalau bakat itu turunan ibu. Tapi, bagiku tentu ibuku lebih kreatif.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Anda tahu? Berkat ibuku aku bisa melewati segala rintangan. Kelu-kesah selalu kusambut dengan baik, semua terinspirasi dari ibu. Ibu pernah sukses dalam bisnis dagang, kemudian ia jatuh dan terpuruk. Tetapi, ia bisa bangkit. Saat itulah aku merasa sangat kecil di matanya.
Dulu, waktu masih mengenyam bangku kuliah, aku amat berat untuk mengatakan ini dan itu pada ibu. Sebab aku tahu, masa-masa itu sangat sulit baginya. Makanya, aku berusaha mengejar berbagai beasiswa untuk tetap survive dalam kuliah. Tiga kategori beasiswa pun kuraih. Yah, pandangan orang mungkin berbeda, menganggap keluargaku mampu, tetapi ibuku benar-benar jatuh. Bisnis tak berjalan lancar, modal pun habis. Aku bahkan sering meneteskan air mata sembari membayangakan wajahnya. Makanya, aku bertekad menjadi yang terbaik di setiap kesempatan untuk membuktikan pada ibu bahwa anaknya juga bisa diandalkan.
Tentu tak mudah untuk menjadi yang terbaik, kualitas diri menentukan predikat itu. Tetapi untuk mewujudkan hal itu, aku cukup membayangkan ibu, meminta do’a dan restunya, maka aral terasa ringan untuk dilalui. Aku pernah merasakan sia-sia saja menjadi yang terbaik sebab ibuku takkan mungkin melirik hal itu. Ibuku tak mengerti akan hal itu, ia bukan seorang yang berpendidikan tinggi. Kompetisi dan prestasi baginya tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah bekal keterampilan yang mumpuni. Ah, rasanya aku ingin mengenang masa bangku sekolah dan kuliah. Aku pernah mendapat dua sertikat penghargaan dari sekolah (MAN), juga pernah meraih juara 1 pidato bahasa Arab, pun terpilih sebagai moderator dengan 3 bahasa bersama dua rekanku yang lain. Di perguruan tinggi aku menjadi yang terbaik, tetapi ibu tak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman itu, aku belajar memahami bahwa yang diinginkan ibuku bukanlah prestasi yang cemerlang, melainkan bukti real di lapangan. Dari hal itu, aku juga belajar mengerjakan segala hal tanpa mengejar apa pun.
Kini, Ramadhan pertama tanpa ibu. Aku tengah menempuh pendidikan di kampus alam, kampus tempat orang-orang ditempa dengan pelajaran hidup di lingkungan sekitar. Di sampingku tak ada ibu yang jago teknik elektro, yang apabila lampu dan kabel listrikku rusak akan diperbaikinya.  Tak ada ibu yang jago masak, yang bila aku lapar akan memasakkan makanan kesukaanku, tak ada ibu yang pandai jahit, yang bila pakaianku robek akan dipermak olehnya. Namun, satu yang tak lekang dan akan terus menemaniku, inspirasi darinya. Aku pun yakin, do’a-do’anya terus mengalir untukku sebab aku bisa merasakannya. Terasa ringan beban ini bila telah membayangkan wajahnya. Ibu, kau pahlawan nomor satu bagiku.


Kisah Klasik dengan Pak Idris


Oleh: Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa)

Sepertinya takkan bisa menggambarkan betapa besarnya peranan guru bagi murid-muridnya. Dua hari lalu, penulis membaca sebuah buku karangan Martha Kaufeldt ‘Wahai Guru, Ubahlah Cara Mengajarmu’. Ia mengawali tulisannya dengan membahas bahwa betapa pentingnya memulai segalanya dengan otak.  Seorang guru hebat, akan mempertimbangkan peranan otak dalam menyampaikan ilmu yang hendak ditransfer kepada murid. Kita bisa menamainya dengan pembelajaran berdasarkan otak. Benar, guru punya power bila GURU menyadarinya. Power itulah yang menjadikan murid memiliki power dua kali lipat dibanding guru itu sendiri.
Buku itu mengantarkan penulis pada kenangan masa silam tentang seorang gadis, sewaktu masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri, tepatnya tahun 2003. Gadis beranjak remaja, Ana namanya. Gadis itu bukanlah siswa paling pintar di kelas, namun berkat seorang guru dia memiliki impian untuk menjadi seorang guru pula. Melalui guru pula dia belajar menjadi siswa yang peka dengan sekitar. Sebenarnya ada banyak nama yang tertoreh dalam hatinya jika ditanyakan tentang siapa guru paling berkesan baginya, sebab hampir setiap guru memiliki cara tersendiri menanamkan special moment padanya.
Salah satu gurunya di bangku menengah atas, pernah memantik rasa haru dalam hati kecilnya. Guru hebat itu, Pak Idris, guru pengampuh mata pelajaran Bahasa Arab dan Quran Hadits berhasil memahat special moment amat berharga bagi Ana. Tahukah Anda apa yang dilakukan oleh seorang Pak Idris hingga namanya terpatri dalam sanubari seorang murid yang kini berusaha mengikuti jejaknya? Pak Idris, memang tak bisa bercanda layaknya guru-guru lain, namun sesekali candaan itu terlontar begitu saja darinya hingga membuat seisi kelas tertawa saling pandang.  Sebelum memulai pelajaran, Pak Idris, biasanya bercerita tentang kisah-kisah islami. Pun murid-muridnya terbiasa menghafal hadits dan quran berkat inspirasi darinya. Pak Idris, selain seorang guru, ia juga penghafal quran, tentu tata letak ayat dan terjemahannya, sudah merupakan hal yang biasa-biasa saja baginya. Namun, ternyata bekal itulah yang menjadikan seisi kelas ingin menjadi penghafal sepertinya. Ana contoh konkret, ia berhasil meraih tropi penghargaan sebagai siswa yang memiliki kompeten dalam hafalan quran. Itu bekat inspirasi darinya.
Ternyata, Ana diam-diam menaruh semangat dalam hati ketika guru Quran Hadits itu menyebut namanya, tiap kali ia mengajar di kelas. Bagi sebagian murid, mungkin hal itu adalah sesuatu yang biasa, guru menyebut nama kemudian memberikan instruksi. Sama sekali tak ada yang spesial. Lain halnya dengan Ana, guru menyebut namanya bahkan diinstruksikan apa saja dianggapnya sebagai sebuah penghargaan, dalam ingatannya Pak Idris adalah salah satu sosok guru yang membuatnya bermimpi menjadi guru yang tentunya akan menerapkan metode sang guru menaruh special moment pada muridnya.
Kini, Ana, gadis beranjak remaja itu sudah dewasa. Ia  tengah menjalani profesi yang sama dengan gurunya. Ia selalu memulai pelajaran dengan menghafalkan nama anak-anakanya, bahkan bila ia berkisah atau memberi contoh, nama siswanya kerap diselipkan. Tawa riang tentu terukir pada wajah sang anak yang disebutnya.
Sebutlah Usman, salah seorang anak didiknya. Kehadirannya dapat dihitung jari. Ia juga tak bisa berbahasa Indonesia, menulis dan membaca tak sedikit pun mampu dilaluinya, bahkan abjad masih tak dikenalinya. Padahal, ia sudah duduk di kelas empat. Ia kerap menampakkan wajah malu kepada teman-temannya yang lain saat diminta maju oleh Ana. Hal itu pun disadari betul oleh Ana. Makanya, ia berusaha membuatnya betah berada di kelas. Tak jarang ia menyebutkan nama Usman bila terlontar pertanyaan atau tatkala ia memberikan contoh. Mendengar namanya disebutkan berulang kali oleh gurunya, senyum pun menjadi hiasan indah di wajahnya.
Usman, sepertinya merasakan hal berbeda dari Ana. Bulan-bulan sebelumnya ia memang masih sangat jarang hadir di kelas. Ketika sang guru menanyakan tentang ketidakhadirannya, tak satu pun yang tahu alasannya, meski terkadang beberapa temannya berteriak, “rumahnya jauh, Bu e!” Namun, sudah masuk dua bulan, kehadirannya meningkat sembilan puluh delapan persen.  Ia pun terlihat agak cerah, rapi, dan sudah mulai memoles mukanya dengan senyum. Lagi-lagi, sepertinya karena guru yang kerap mengulang namanya, serta memberinya wejangan dengan pelan. Bahkan, tak jarang Bu Ana meminta maaf dari anak-anaknya tatkala tangannya telah berbalut emosi hingga pukulan setengah keras melayang di pundak mereka.
Ana, yang akrab dipanggil Bu Ana benar-benar menikmati lakonnya, kini. Melihat tawa riang siswanya bila nama mereka disebutkan olehnya, ia seakan kembali mengenang kisah klasik dengan gurunya, Pak Idris. Guru yang telah menancapkan asa hingga mengakar kuat dalam hati kecilnya. Dan kini, asa itu pun berbuah. Buah yang tentu dirasakan oleh anak-anaknya.
Entah sampai kapan kisah klasik bersama gurunya itu akan berujung, yang pasti, ia enggan mengakhirinya. Sebab kisah klasik itu telah menginspirasi dirinya menjadi guru yang kelak akan dijadikan kisah klasik juga oleh anak-anaknya.

Sepotong Kisah tentang Tarbiyah


Oleh: Dasnah

 “Sungguh, hidayah itu akan datang kepada siapa saja yang dikehendakinya”
Aku tak mampu membahasakan lewat defenisi tentang arti ‘tarbiyah’. Bagiku, tarbiyah merupakan bola besar yang akan terus menggelinding dan mendatangi siapa saja yang hendak ditujunya. Bola besar itulah yang akan menjadi penyejuk bagi yang mendapatinya. Namun, bola besar itu akan menjadi bara bila yang didatanginya tak mampu melihat keindahan yang dibawa dan dipancarkannya.
Sedikit ingin berbagi dengan kalian. Kembali mereview 5 tahun lalu (ketika 2010). Ketika kali pertama aku mengenal lebih jauh seperti apa kampus yang sesungguhnya. Kali pertama diperkenalkan dengan jamaah ini. Sebuah momen yang takkan pernah habis untuk kututurkan, tak bosan untuk kudendangkan, dan takkan pernah ingin aku lupakan. Berawal dari sebuah ajakan teman. Teman yang tentu ingin melihat hal baik pada teman yang dia ajak. Satu dari teman yang diajak itu adalah 'aku'. Kaki ini pun melangkah ke sebuah pertemuan yang bagiku itu sangat asing. Asing dikarenakan kondisi yang ada di dalamnya. Asing karena metode yang berlangsung. Amat asing karena wajah-wajah yang kulihat memang tak pernah tersorot mata. Berbekal niat dan ucapan terima kasih. Kaki pun melangkah. Pintu hati terketuk??? Jawaban itu lama baru kutemukan. Terbiasa dengan kehidupan yang santai membuat kaki ini enggan untuk mengenal jamaah itu lebih jauh. Mungkin itu yang disebut dengan malas. Malas yang merupakan salah satu sifat syaithon. Sepertinya berusaha memburamkan titik-titik terang yang muncul sedikit demi sedikit dalam hati. Hingga kelembutan seorang guru yang biasa disebut dengan murabbiyah meluluhkan hati ini. Itu baru luluh, belum sempat mengikat hatiku untuk lebih mencintai jamaahnya. Tiga tahun, yah kurang lebih tiga tahun aku bersamanya. Memetik ilmu sedikit demi sedikit tentang jamaah yang ternyata memiliki sebuah nilai melebihi berlian. Padahal aku menghargainya sebatas permata biasa yang bernilai biasa-biasa. Aku pun mulai menangis ketika membaca kisah di tengah lingkaran. Aku mulai menyadari bahwa betapa dunia ini membutuhkan orang saleh yang tidak hanya sekedar saleh bagi diri sendiri. Namun, jauh...jauh...amat jauh, kesalehan itu perlu didistribusikan. Perlu diaplikasikan. Diaplikasikan pun masih butuh tanda tanya besar buatku.****
Memoar Tarbiyah
Kuukir kembali tentang kisah indah itu dalam catatan cinta yang kuberi judul Memoar Tarbiyah. Aku sedikit pikun kalau ditanya tentang kapan tepatnya aku mengenal tarbiyah? Tahun aku tahu, namun tanggal dan hari sepertinya tak begitu membekas dalam memori ini. Seperti yang telah kuungkapkan pada awal catatan. Berawal dari ajakan seorang teman. Semoga beliau selalu diberi rahmat oleh yang mahakuasa lahir dan  batin. Bila beliau dalam keadaan sakit, semoga penyakitnya diangkat oleh Allah tanpa mengurangi ketakwaan dan keimanannya. Amin ya Robbal ‘alamin.
Tulisan ini pun baru kutuang beberapa menit yang lalu atas permintaan dari guru spiritual yang biasa dipanggil dengan murabbiyah alias MR bila disingkat (cerita 7 bulan yang lalu) Tarbiyah, tidak ada tempat yang lebih kunanti selain duduk dalam lingkaran, bercengkerama dengan qadhoya ‘curhat’, dan menikmati kuliner yang tersaji. Rindu yang begitu berat tiba-tiba menjadi enteng jika melihat senyum mereka (teman-teman tarbiyah). Indah. Sungguh suasana yang tak bisa tergantikan. Kekaguman pada MR yang tak terbatasi oleh apa pun, makin mempererat kecintaan kami. Sesuatu yang sulit dibagi kepada orang lain, bahkan kepada orang tua sekali pun. Akan mencuat dengan sendirinya, bukan kerana paksaan atau intimidasi. Kepercayaan dan solusi. Sinergisitas kedua kata itu yang mencuatkannya. Semua itu kudapatkan dari sarana yang disebut ‘TARBIYAH’.
Sarana yang begitu mendidik, namun orang-orang akan merasa asing jika ia tak menyelami kedalamannya. Bahkan bisa juga dianggap sebagai aktivitas tak berbobot. Itu karena mereka sangat asing. Ingin kutularkan rasa bahagia ini. Pun keindahan itu ingin kutebar. Namun, rasa takut itu terkadang muncul. Tak semua orang mau menerima, tak semua orang sepaham. Namun, sedikit yang ingin merasakannya. Tetapi, aku begitu yakin seyogyanya mereka tahu bahwa media ini memiliki nilai melebihi intan dan berlian. Takkan mau mereka berpaling. Bukan lagi mereka yang dicari, namun mereka yang mencari. Ternyata dalam tarbiyah itu ada ion positif dan negative. Ada hukum tarik-menarik. Aku menaruh harapan besar kepada sosok MR sebab penggerak roda-roda sarana ini adalah mereka. Teladan. Itu content yang tak bisa lepas dari mereka. Ketertarikan tak bertepi ini, semoga bisa dirasakan oleh semua kalangan yang belum sempat mencicipinya. Semoga mata mereka jeli melihat nuansa indah yang melekat sebab rindu tarbiyah akan menggelayut. 
Banyak hal yang ingin kutumpahkan di atas carik putih ini, namun sepertinya bila hanya berupa catatan singkat, maka takkan mampu menampungnya. Jazakallahu khoiran katsiir! 
Cat: Tulisan ini pernah diterbitkan di www.dakwatuna.com

Jodoh di Ambang Tiga Puluh


Oleh:  Dasnah
Kalau saja ada penghargaan untuk wanita tak takut pertu alias perawan tua di dusun itu, tak akan ada yang mengelak bahwa gadis bertubuh tinggi semampai dengan balutan kerudung bak mencekik leher itulah jawaban paling tepat. Seisi dusun heran melihatnya tak kunjung menerima jejeran pinangan lelaki yang antre untuk menjadi pasangan hidupnya. Ibu-ibu serta gadis-gadis di tempatnya bahkan sudah heboh membicarakannya. Padahal usianya tak lama lagi genap tiga puluh. Sepertinya penting untuk mengungkap mengapa ia pantas dijuluki wanita tak takut pertu.
Seperti cerita di awal, ada banyak lelaki hendak menyuntingnya. Ia memang kembang desa yang selalu jadi buah bibir bagi lelaki. Tere, pernah dilamar oleh duda terkaya di dusunnya. Kalau saja ia memutuskan menerima pinangan duda itu, tak akan ada yang menandingi starata sosialnya. Sayang, Juraidin bukan tipe yang dicari oleh Tere. Apalagi dia sudah berekor lima. Tentu ia tak ingin menghabiskan hidupnya mengasuh bocah yang tidak brojol dari rahimnya sendiri. Lelaki pertama ditolaknya. Lantas bagaimana dengan lelaki kedua? Delo seorang sarjana sosial, lelaki tertampan di dusunnya. Puluhan gadis pernah ditolaknya hanya untuk mendapatkan hati Tere. Setelah lulus dari kuliah, ia nekat bertandang ke rumah Tere dengan modal sarjana tanpa pekerjaan bermaksud meminangnya. Terang saja ia ditolak mentah-mentah. Meskipun sudah sarjana, tetapi bila tak juga punya kerjaan belum pantas dikatakan mapan. Lagi-lagi, ia membuang kesempatan kedua. Ketiga, Mejo pemuda dengan julukan tuan tanah. Tak ada yang menandingi luas tanahnya. Sekali pun ada Juraidin duda terkaya, namun tanahnya tak sebanyak Mejo. Malang nian nasibnya, ditolak lantaran warna kulitnya yang hampir menyamai kopi tubruk. Lelaki keempat yang hendak mempersuntingnya adalah Badar, seorang anggota POLRI dari dusun tetangga. Apes, Tere paling benci dengan pemuda yang berprofesi POLRI, lantaran ia pernah kena tilang dan digombal abis. Sejak saat itu ia bersumpah tak akan mau berurusan dengan anggota POLRI. Meski tak semua anggota POLRI demikian, namun ibarat pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Masih ada enam lelaki lagi yang sepertinya tak perlu disebutkan, yang pasti mereka itu belum sempat menginjak pekarangan rumah Tere, kemudian mengurungkan niat lantaran mendengar cerita dari warga bahwa sudah banyak lelaki yang datang padanya, namun tak satu pun diterimanya. Entah lelaki macam apa yang ada dalam benaknya. Semua jenis lelaki terkesima padanya. Namun, tak sedikit pun ia berikan harapan.
Hanya ada satu lelaki yang tak pernah berani mengarahkan pandangan bila Tere lalu di hadapannya. Lelaki itu bernama Fadli, tetangga dekat Tere. Tak ada rumah yang mengapit di antara rumah mereka. Pemuda itu sarjana agama, sehari-hari ia mengajar anak-anak ngaji. Bahkan ia sering jadi imam di masjid. Memang, dia agak pendiam. Apalagi dengan wanita, ia mana mau menatapnya. Bukan muhrim katanya. Itu pendapatnya saat ditanyai oleh salah seorang warga yang selalu memperhatikan lakonnya bila berpapasan dengan lawan jenisnya. Pasti ia menunduk.
***
Memang, Tere gadis dengan gengsi tinggi, sarjana akuntansi, pun bekerja di kantor pajak. Ia juga dari keluarga yang mumpuni. Empat saudara laki-lakinya bekerja di tempat yang cukup membuat prestise keluarganya mengawang.  Dua saudaranya dosen, seorang guru, dan seorang lagi dokter gigi. Apalagi yang membuatnya susah. Tak ada. Mungkin itu pula sebabnya ia tak takut menjadi pertu. Namun, di usianya yang mendekati ambang warning. Tentu membuat keluarganya risih, apalagi  nenek yang mengasuhnya sejak kecil. Seribu kali lebih cerewet dalam menghadapinya.
Suatu ketika sepulang  dari kantor, saat ia tengah bersantai di teras rumahnya, tiba-tiba saja neneknya (Rakiba) melontarkan perkataan yang membuatnya naik pitam.
 “Nenek akan menjodohkanmu dengan seorang pemuda berpendidikan lulusan Al-Azhar Kairo!”
Sedari dulu nenek Rakiba memang sudah kepincut dengan anak Rukaya, ponakannya sendiri. Apalagi, Rukaya sendiri yang datang menghampiri nenek Rakiba dan menyatakan niatnya untuk menjodohkan Fahmi dengan Tere.  Namun, karena dulu Fahmi masih menempuh S2 di Kairo, yah diundurlah perjodohan itu hingga kuliah S2 Fahmi selesai. Kini, Fahmi telah meraih gelar S2. Tentu saja, nenek Rakiba tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu untuk cucunya.
“Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Nek!”
“Lantas sampai kapan kamu akan menolak setiap lelaki yang berniat baik padamu?”
“Sampai ada yang srek di hatiku, Nek!”
“Bukan kali pertama kaumengucapkan itu, Tere.”
“Kali ini, kauharus menurut!” tegas neneknya yang terlihat kesal.
“Nanti juga akan ada yang datang,” ucapnya amat yakin.
“Akan ada yang datang? Setelah kaumenolak sepuluh lelaki tak akan ada lagi yang berani menghampirimu” terang nenek Rakiba sembari menatap tajam pada cucunya.
“Apa kautidak malu dengan usiamu yang sebentar lagi genap tiga puluh tahun?” tambah neneknya makin kesal.
 Ia menyembur habis neneknya dengan kata-kata kasar. Nenek Rakibah bungkam dengan ocehan cucunya. Jantungnya bak tertusuk-tusuk hingga hampir membuatnya sesak dan tersungkur. Baru kali ini ia terlihat amat kesal dengan permintaan neneknya. Apa karena ia memang khawatir dengan usianya yang hampir tiga puluh tahun? Entahlah. Atau bisa saja karena perjodohan yang tak diinginkannya.
“Aku tak mau dijodohkan!” kalimat terakhir yang dilontarkannya sembari berlari meninggalkan teras rumah menuju kamarnya.
Cukup berani baginya menolak perjodohan itu di usianya yang sudah terbilang telat untuk menikah. Padahal, lelaki yang ditunjuk oleh neneknya sudah sangat bagus. Kuliah di Al-Azhar, Kairo, S2 pula.
Benar-benar tak akan ada yang mau lagi padanya, bila ia menolak perjodohan itu. Bila saja warga dusun mendengar kabar ini, maka dalam waktu sehari saja sudah akan tersebar. Tahu sendirilah, bagaimana gosip di kampung-kampung cepat tersebar luas. Angin ghibah sangat tajam mengintai.
***
Masih ingatkah dengan pemuda yang tak lain tetangga Tere sendiri? Fadli, lelaki yang tak berani menatap wanita bila ia menjumpainya. Rupanya, usai adu pendapat dengan sang nenek,  dalam tangisnya, ia mengelukan lelaki seperti Fadli. Lelaki yang tak membelalak hanya karena paras cantik. Yang tak tergoda dengan tubuh semampai. Tak lena dengan materi. Semua ciri-ciri itu ada pada pemuda yang bersebelahan rumah dengannya. Mungkinkah, ia berharap pemuda itu berani mendatangi halaman rumahnya, sama seperti keempat lelaki yang ditolaknya? Tiba-tiba, ia dikatetgkan dengan suara nenek Rakiba yang ternyata menyusulnya ke kamar.
“Ini, pakaian yang nenek pilihkan untukmu!” diletakkannya kotak berisi pakaian yang baru saja nenek Rakiba pilihkan untuk cucunya.
“Apa maksud Nenek memberikanku ini?” sisa-sisa tangis yang membuat lajur di pipinya seakan membuat lajur baru. Sepertinya, ia tahu maksud nenek Rakiba membelikannya baju.
“Besok, keluarga bibimu, Rukaya dan anaknya akan datang ke rumah, nenek harap kamu memakai pakaian itu!”
Pakaian yang biasa membalut tubuhnya memang agak kecil. Bahkan ia masih megenakan jeans sesekali.  Sementara, calon yang dipilihkan oleh neneknya adalah lulusan Kairo. Tentunya harus lebih islami. Pintar juga nenek Rakiba, memilihkan baju agak longgar dan kerudung yang tak lagi melilit lehernya.
“Tidak mau, Nek!” sambil membuang baju pemberian neneknya.
“Tak usah lagi kaumembantah, jangan mempermalukan nenek di hadapan bibimu!”
Kali ini nenek Rakiba amat serius dengan tindakannya. Wajar bila ia sangat menghawatirkan cucu perempuan satu-satunya. Sebab Tere juga punya keturunan bibi yang jadi perawan tua seumur hidup karena menolak banyak lelaki. Nenek Rakiba pun sering mengingatkannya akan hal itu. Bagi Nenek Rakiba hal itu adalah cela yang akan menurun  pada keluarga yang ada anak gadisnya.
“Tak ada lelaki dalam hidupmu, apa kaumau jadi wanita perawan tua seumur hidup. Jangan tunggu nenek ditimbun tanah baru kaumenyesali diri!”
Kali ini, ia bungkam dengan kalimat yang barusan terlontar dari neneknya. Sesaat ia tak bergeming. Air matanya mengalir deras. Baju yang dibuangnya tadi, kembali diambil dengan pelan. Bagaimana ia bisa amat yakin kalau masih ada lelaki yang akan datang setelah penolakannya pada lelaki yang sudah tergolong pemecah rekor. Apatah lagi ia sempat mengingat perkataan neneknya bahwa ia punya keturunan perawan tua. Kali ini, ia benar-benar harus menelan liur untuk berharap pada tetangga yang diam-diam diidolakannya. Jodoh di tangan nenek. Bukan karena otoriter, melainkan kekhawatiran pada cucu satu-satunya.
(

Putri Ingin Seperti Ibu


Oleh: Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa)

Jumat menjelang siang, sekolah tempatku mengabdi, SDN 15 Woja, tampak sepi. Tak ada anak yang lalu-lalang sembari meneriakiku. Apalagi panggilan mesra dari bocah kecil yang masih duduk di bangku kelas satu. Bocah-bocah itu biasa memelukku dari belakang atau mengenggam tanganku dengan tiba-tiba, sedari tadi tak tampak di pelupuk mata. Selang beberapa menit, aku baru menyadari, hari ini adalah hari spesial, Jumat, apalagi di bulan Ramadhan. Aku hampir saja lupa akan hari penuh ampunan ini. Pantas saja guru-guru meminta izin pulang lebih awal saat melihatku masih asyik di ruang kelas empat bersama beberapa anak-anakku (kelas enam) yang hendak membuat kreativitas dari kardus bekas.
Beberapa anak-anakku terlihat girang saat memasuki ruang kelas yang beberapa bulan lalu, mungkin enggan mereka masuki. Kini, mereka terlihat amat antusias, bahkan hampir tiap hari mereka ingin memasukinya. Kelas itu memang memiliki tampilan baru, beda dengan konsep kelas yang lain. Maklumlah, kelas itu, ingin aku jadikan kelas percontohan. Dengan hiasan dinding, display, serta dilengkapi dengan perpustakaan mini, pun lengkap dengan karpet. Wajar bila mereka ingin berkunjung, selain bisa membaca buku, mereka pun dapat beristirahat. Namun, sesungguhnya bukan hal itu alasan utama mereka terus berdatangan. Ada keinginan belajar yang tinggi, pun penuh dengan motivasi. Mata mereka memancarkan hal demikian. Mungkin ada rasa bangga yang bertahta dalam sanubari mereka. Aku memang sengaja memantik semangat dan motivasi mereka tiap jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas mereka (kelas enam). Walhasil, mereka pun manggut-manggut, serta larut dalam pembelajaran.
 Aku selalu mengamati laku mereka, Rabi, Era, Eka, dan Putri, serta Ifan, salah seorang kelas empat yang selalu setia menemaniku pulang paling akhir. Usai jam pelajaran terakhir, saat bel pulang berbunyi, mereka pun berlari menuju ke arah kelasku. Ucapan salam pun membahana di ruang kelas,“Boleh, kami masuk, Bu!” pinta mereka saat mendapatiku tengah asyik merapikan kelas, “Boleh, tapi kalau sudah memakai ruangan, dibersihkan, ya!” Mereka pun berteriak kegirangan. Tawa mereka bukan rekayasa. Anak-anak ini betah sekali berlama-lama di sekolah. Padahal, beberapa temannya yang lain, sedari tadi ingin kembali ke rumah mereka. Hati kecilku kerap berbisik pelan, “Apa yang membuat mereka betah?”
Aku memang menjanjikan kepada mereka akan menghias kelas mereka sama seperti kelas yang sekarang aku tempati. Namun, keasyikan yang mereka rasakan seakan-akan membuat lupa akan jam pulang sekolah. Jika sudah berlama-lama di kelas, biasanya aku bergumam, “Ayo, siap-siap pulang, pasti orang tua kalian mencari-cari, nanti!”, “Tidak, Bu e, kami sudah bilang kepada ibu akan pulang terlambat.” Dengan logat Mbojo, mereka tampak membujukku agar mereka masih diberi waktu beberap menit lagi.
Ah, anak-anakku ini, benar-benar sudah menikmati suasana sekolah. Mereka pun menanti-nanti jam pelajaranku. Jika ada jam pelajaran SBK, pasti bukan sekali atau dua kali mereka laporkan padaku. Maksudnya, sih, ingin agar aku masuk mengisinya.
Siang itu, matahari sudah semakin terik, kumandang adzan juga tak lama lagi akan terdengar, mereka yang sedari tadi sibuk membungkus kardus bekas dengan kertas metalik yang kubeli sebulan lalu, di Kota Dompu. Sama sekali tak tampak lelah pada wajah mereka, padahal anak-anakku ini sedang berpuasa. Subhanallah, bisikku dalam hati. Di tengah asyiknya mereka membuat hiasan untuk kelasnya sendiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka, Putri, melontarkan kalimat haru, “Ibu, saya ingin, sih, seperti Ibu!” Entah di mana dan pada bagian mana aku menanamkan special moment padanya. Putri, aku tahu dia anak yang cerdas, cepat tangkap, dia juga pernah mengutarakan cita-citanya saat mentoring di masjid. Seingatku, dia bercita-cita menjadi seorang bidan.
Apa mungkin, cita-cita itu sudah berganti? Saat pertanyaan itu masih berupa lintasan pikiran. Tiba-tiba saja, Era nyeletuk, “Katanya, kamu mau jadi bidan, kok berubah.” Dengan malu-malu, Putri pun mengakui, “Iya, saya bercita-cita menjadi bidan, tapi…”
Aku paham apa yang ada dalam pikiran Putri, meski kepahamanku ini masih sebatas kemungkinan. Menurutku, anak-anakku ini belum pernah mendapatkan special moment dari guru-guru mereka sewaktu masih berada di level bawah. Aku sadar, membangun special moment bagi siswa merupakan langkah yang mesti dilakukan oleh guru sebab aku pun pernah menjadi seperti mereka.
Memang sedari awal kedatanganku di dusun kecil itu,  Putri selalu saja mengikuti ke mana aku pergi, bahkan setiap kegiatan yang aku gelar ia pasti tak ketinggalan. Pernah suatu ketika, aku menulis kaligrafi, tiba-tiba saja terlontar kalimat, “Ibu ini serba bisa, sih!” Dalam hati aku sempat ciut, seakan tak percaya kalau aku dikatakan serba bisa. Bukan sekali itu, ia memujiku. Saat aku membuat gambar dengan aneka hiasan. Kalimat itu pun kembali berulang. Kini, saat melihat kelas yang kutangani dipermak dengan bentuk berbeda dari kelasnya, lengkap dengan kreasi dari tanganku. Tentu saja makin membuatnya berpikir kalau guru yang baru beberapa bulan dikenalnya adalah guru yang serba bisa. Tiba-tiba saja, aku merasa tak pantas mendengar kalimat itu. Kembali kulanjutkan aktivitasku menemani mereka membuat hiasan untuk kelasnya. Hanya tersenyum simpul dan sedikit girang.
Bisa dibayangkan, seorang Putri yang tadinya bercita-cita menjadi seorang bidan, tiba-tiba saja mengalihkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru, hanya karena melihat gurunya serba bisa. Bukankah special moment bagi anak-anak itu bisa bersumber dari laku dan tingkah gurunya?
Mungkinkah yang terbersir dalam hatinya, “Aku ingin menjadi seorang ibu guru, seperti Ibu yang ada di hadapanku.” Kalau demikian adanya, sungguh aku tak sanggup meninggalkan mereka. Mereka yang masih memiliki asa dan cita dalam kerangkeng. Mereka yang masih butuh figur hingga asa itu tertancap kuat dalam dirinya.