Oleh: Dasnah (SGI III Dompe Dhuafa)
Rasa-rasanya,
kehidupan ini kurang kompleks jika tidak ada perempuan yang berpikir mengejar
karir, baru kemudian berpikir untuk menikah. Banyak malah, bukan hanya satu
atau dua. Dalam tulisan fiksi pun tak jarang diangkat oleh penulis. Penulis
fiksi Best Seller, seperti, Kang Abik pun mengagkat cerita
tentang seorang gadis yang mengejar karir dalam novel Cinta Suci Zahrana. Seorang penulis tak akan menuliskan dalam
sebuah cerita tanpa melihat fenomena sekitar. Fenomena yang tak berlaku secara
global, namun tumbuh kemudian mengakar.
Tentu
bagi Anda yang merasa perempuan hal itu wajar-wajar saja. Apalagi, bila Anda
salah seorang yang termasuk menomorsatukan karir. Jadi teringat dengan
perbincangan salah seorang sahabat, sebutlah ia, Dea.
Dua
bulan lalu, Dea terlibat percakapan dengan teman-temannya tentang kehidupan di
masa yang akan datang. Biasa, usia 20 tahun ke atas merupakan hal wajar bila
sudah memiliki keinginan untuk mengakhiri kesendirian atau dengan kata lain
berpikir untuk menikah. Namun, perbincangan Dea bersama tiga rekannya
sepertinya sudah di ambang penantian. Dea sudah berusia dua puluh tujuh tahun,
dan tiga orang temannya yang lain berusia dua puluh enam dan dua puluh lima
tahun. Pantas, umur-umur demikian memang sudah sangat matang, pikirku.
Dea,
gadis itu seorang dosen muda di perguruan tinggi negeri, di kota gading.
Akhlaknya terjaga, pandangannya pun selalu dijaga. Makanya, tak seorang lelaki
pun yang berani bermain-main dengannya. Dea, gadis itu sudah cukup matang untuk
menjalani bahtera rumah tangga. Ia bukannya tak laku-laku seperti lagu band
‘Wali’, ia gadis sholehah. Wajarlah jikalau sang pencipta menjaganya dari
keinginan lelaki yang tak sekufu.
Dari
perbincangan itu, kedengarannya Dea bukan lagi dalam kondisi siap, melainkan
amat siap menuju jalan suci itu. Jalan untuk menyempurnakan agama ini.
Tiba-tiba, salah seorang temannya berkata, “De, mau tidak aku jodohkan dengan
temanku?”. “Ah, tidak, ah” jawabnya singkat.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Seorang teman ingin berniat
mencarikan jodoh, namun ia tetap kekeh menolak. Meskipun sesekali ia berkata,
“asalkan mampu menjadi imam bagi keluargaku kelak”. Sungguh, Dea bukan gadis
yang muluk-muluk. Mau ini dan itu, namun entahlah dengan keluarganya.
Dalam
percakapan itu, tiba-tiba Dea menimpali temannya, “kamu sendiri, kapan berniat
ingin menikah?” “saya, sih, masih lama. Masih ingin mengejar cita-cita, dulu!”
Perbincangan di antara mereka pun makin seru. Dea dengan segala kecerewetannya
mulai berceramah tentang pentingnya berpikir ke arah bahtera rumah tangga. Di
penghujung perbincangan itu, Dea berharap jodoh itu akan segera mengetuk pintu
rumahnya. Begitu pula dengan teman yang terlibat dalam percakapan, kecuali Vita
yang masih ingin mengejar karir dan cita-citanya.
***
Sungguh
perbincangan mereka amat wajar. Perempuan, bila sudah melewati usia 25 tahun,
maka rasanya sudah patut diberikan tanda warning.
Namun, kita pun tahu bahwa jodoh adalah salah satu rahasia yang maha kuasa.
Tak patut kita mendahului-Nya dengan menerka-nerka dan berkata, “mungkin dia,
dia, atau dia-lah jodohku kelak.”
Lantas
bagimana dengan kodrat ‘perempuan’ yang notabene sangat riskan dengan gunjingan
bila ia menyebut-nyebut soal jodoh. Apalagi sampai sempat berpikir menantang
ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Pasti, sudah menjadi bahan cerita.
Teringat dengan kisah Rosulullah yang dilamar secara tidak langsung oleh
seorang janda kaya yang baik akhlaknya, Khadijah binti Khuwailid. Bukankah,
Khadijah telah memberikan contoh yang baik bila seorang ‘perempuan’ ingin
melabuhkan hatinya pada ‘lelaki’ yang tepat? Kita tahu bahwa pada diri Khadijah
terkumpul perangai mulia, wajarlah bila Rosulullah menerima pinangannya.
Dulu
dan sekarang adalah dua kondisi yang amat berbeda. Pasti pikiran demikian kerap
muncul dalam lintasan pikiran. Mana mungkin, perempuan menawarkan diri untuk
dilamar? Fitrahnya, kan, perempuan yang dilamar. Mungkin demikianlah yang
terbersir dalam hati ‘perempuan’ bila dihadapkan pada kondisi demikian. Kondisi
di mana sudah sangat ingin menjaga diri dengan penjagaan seorang yang dapat
dijadikan imam.
Sehubungan
dengan hal demikian, sepertinya penting penulis berikan kutipan tentang
persoalan lamar-melamar ini. Direktur Sekolah Kepribadian Muslim Glows, Kingkin
Anida, mengatakan, sebaiknya perempuan tidak melamar lelaki secara langsung
sebab Allah memuliakannya sebagai pihak yang dilamar. Namun, jangan juga
melewatkan peluang bagus, maksudnya, kesempatan untuk menjadi istri lelaki
shalih, (dikutip dari majalah UMMI edisi Mei 2012). Imam Bukhari meriwayatkan
sebuah hadits terkait dengan perbincangan ini, Kutipan di atas benar adanya,
perempuan diistimewakan dengan lamaran. Perempuan shalihah pun berhak
mendapatkan lelaki shalih. Tidak ada salahnya bila perempuan mendahului lelaki.
“Dari Tsabit Al Bunani, dia berkata, ‘Aku
pernah berada di dekat Anas bin Malik, dan di sampingnya ada anak perempuannya.
Datang seorang perempuan dan ia berkata, ‘Ya, Rasulullah, apakah engkau mau
kepadaku?’ Mendengar hal ini putrid
Anas berkata, ‘Alangkah sedikit rasa malunya, sungguh memalukan.’ Anas berkata,
ia lebih baik dari kamu. Ia senang pada Rasulullah lalu menawarkan dirinya
untuk beliau.”
Namun, satu hal yang
harus diingat, jika keputusan demikian sudah terpatri, maka amat penting bagi
‘perempuan’ untuk membekali diri dengan berbagai keunggulan sebagai nilai plus
bagi dirinya. Entah itu prestasi cemerlang dalam akademik, keterampilan dasar
yang mesti dimiliki oleh seorang perempuan (menjahit, memasak, merawat anak),
dan soft skill, seperti pandai menulis, berbicara, dan bergaul, dll. dan
yang pasti akhlaknya terjaga. Ibaratnya
‘perempuan’ menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Sesuatu yang
‘menantang’ sudah barang tentu membutuhkan perjuangan untuk menggapainya. Bila
demikian, tak sia-sia perempuan shalihah menyatakan niat baiknya kepada
laki-laki shalih sebab pihak yang didahului pun akan merasa tertantang dengan
keunggulan yang dimiliki oleh si perempuan. *** Wallahu’alam bissawaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar