Oleh: Dasnah (SGI III Dompet
Dhuafa)
Apa
yang terlintas di benak Anda jika aku bertanya tentang arti unik? Apakah Anda
akan berkata hwa unik itu ‘berbeda’, ‘lain’ daripada yang lain? Ataukah Anda
akan mengatakan unik itu ‘langka’, makanya jarang ditemukan? Ah, ada banyak
persepsi yang akan muncul. Namun, aku sedikit ingin berbagi cerita, mungkin
saja ada inspirasi yang bisa terpetik tentang bocah yang menurutku unik.
Ingin
bercerita tentang satu kisah. Kisah seorang bocah yang kuanggap unik. Entah
mengapa, tiba-tiba saja jemari ini ingin menari di atas keyboard laptop butut ini. Mungkin saja, ada kerinduan yang
tersemat untuk si bocah. Naila, itu namanya. Ia masih kelas O di PAUD. Biasa
dipanggil Nail oleh ayah, bunda, dan kedua kakak perempuannya yang masih duduk
di bangku SD. Semua bocah pasti menggemaskan, mungkin hal demikian yang
terbayang di benak kita. Namun, agak berbeda dengan Naila, gemas itu mungkin
akan hilang seketika bila Anda mencoba mengajaknya senyum, namun tak digubris,
melihat ke arahmu saja dia pasti enggan, malah ia akan dengan sangat mudah
memalingkan muka tanpa berkata sepatah kata pun. Itulah, Naila. Bagiku dia unik
karena susah untuk ditaklukkan. Dia tak seperti bocah kebanyakan, yang bila
ditawarkan kue, permen, atau mainan, maka bocah itu akan berlari ke arahmu dan
meraih barang yang kau sodorkan itu.
Naila,
putri bungsu dari pasangan Amru Asykari dan Nurul Zulaiha. Benar-benar
membuatku tertantang untuk mengenalnya. Pernah suatu ketika, aku melihatnya
sedang berjalan bersama ayahnya, sengaja kudekati dan hendak mencium pipinya.
Tetapi, ia malah menghindar sembari membuang muka dan mengeratkan pegangan pada
ayahnya. Susah sekali membuatnya tersenyum, gerutuku. Meski aku menyadari bahwa aku juga susah tersenyum, yah, bukan
karena aku sombong atau cuek. Hanya kurang berlatih saja. Tetapi untuk anak
seusia Naila, bukan tak bisa senyum karena kurang berlatih, melainkan masih
dalam tahap memilih.
Seperti
kataku di awal, dia anak yang unik. Semakin ingin kau berkomunikasi dengannya,
maka dia akan semakin menjauh. Tak perlu terburu-buru untuk mengambil hatinya.
Pelan tapi pasti. Sikap cuek bebeknya juga yang makin membuatku makin ingin
mendekatinya. Awalnya, akan terasa sangat susah bila terus mengajaknya
berbicara, sebab tak ada respon darinya. Malah bagai berbicara dengan tembok.
Kata bundanya, Naila memang tidak pernah berbicara dengan orang lain selain
dengan ayah, bunda, dan pengasuhnya. Bahkan dengan kedua kakak perempuannya pun
mungkin jarang. Menurut ilmu psykologi, anak demikian tentu ada gangguan.
Namun, bagiku itu adalah sebuah keunikan.
Naila,
bagaimana cara menaklukkannya? Buat ia cemburu, merasa tidak diperhatikan, atau
merasa dicueki. Mungkin dengan cara itu, ia akan luluh. Sebab semakin ingin
didekati, maka akan semakin ia jauh.
Berjalan
sebulan baru kusadari cara yang tepat untuk membuatnya dekat adalah membuat ia
cemburu. Tanpa sengaja, tak direkayasa, ide itu muncul sendiri secara alamiah.
Aku menjadi guru ngaji untuk kedua kakak perempuannya di rumah. Berawal dari
hal itulah, Naila mulai berubah.
Mengajar
ngaji kedua kakaknya berarti aku memiliki kesempatan lebih banyak juga untuk
berinteraksi dengannya. Yah, meski sekadar memanggil namanya atau malah
mengajaknya ikutan ngaji.
Awalnya,
Naila masih memiliki tingkah yang sama. Tak ada respon bila diajak berbicara.
Bundanya pun acap kali mengatakan, “Nail, ditanya sama Bu Guru, tuh”. Ia hanya
melirik sejenak, kemudian berlalu. Namun, lama-kelamaan tingkahnya mulai
berubah. Tadinya ia tak berani mendekat, malah ia bersembunyi di kamar bila
mendengar suaraku dari luar pintu. Perubahannya pelan tapi pasti. Kira-kira
kurang lebih dua minggu, ia berani mendekat, bahkan membukakan pintu bila aku
memanggil namanya dari balik pintu. Saat kedua kakaknya mengaji pun, ia mulai
berani duduk berdampingan denganku. Sesekali, ia melirikku. Namun, aku
pura-pura tak melihatnya. Sesekali aku juga sengaja menginstruksikan sesuatu
padanya, meski tak berharap banyak bahwa ia akan melakukannya. Namun, ternyata
di luar dugaan. Ia mendengarkan instruksiku, tanpa membalasnya dengan jawaban,
ya atau tidak.
Aku
ingat pernah menanyakan langsung kepadanya tentang sesuatu, “Nail, liat buku
iqro kakak tidak?” Tanpa jawaban, ia membongkar tumpukan buku yang sudah
tersusun rapi di lemari ruang tamu. Kemudian, dia berlari menuju kamarnya,
mungkin ia hendak mencari buku itu di dalam kamarnya, sebab ia tak menemukannya
di rak lemari. Ia memang tak menjawab, tetapi ia bisa menangkap informasi lebih
dari yang dibayangkan.
Aku
juga teringat, saat aku datang lagi untuk mengajari Kamila ngaji (kakak
keduanya), dia belum bersiap, tampaknya masih ada sisa kantuk di wajahnya, pun
ia belum mengenakan jilbab, aku bertanya
padanya, “Mana Jilbabnya, Kamil?” Tiba-tiba, Naila berlari masuk ke dalam
kamarnya kemudian membawa jilbab untuk kakaknya. Karena dia unik, maka cara
memberikannya pun berbeda. Ia tak memberikan langsung pada kakaknya, ia malah
melemparkan ke arahku.
Aku
mulai bisa membaca geraknya. Sebenarnya, ia sudah mulai berkomunikasi. Meski
cara yang dilakukannya berbeda. Tak seperti kedua kakaknya yang bila ditanya
ini dan itu, maka ia pun akan menjawab ini dan itu. Naila tidak demikian. Butuh
proses panjang untuk membuatnya mengangguk.
Satu
lagi yang membuatnya tampak berbeda dengan yang lain. Dia punya cara sendiri
untuk menerima pesan dari Anda. Salah seorang teman pernah berkata seperti ini
padaku, “Wah, mba, kamu hebat bisa akrab dengan Naila.” Ungkapan ini bukan
hanya bersumber dari satu atau dua orang, banyak yang berkata seperti itu.
Tetapi bagiku hal itu belum cukup selama Naila belum menjawab pertanyaanku
dengan “ya” atau “tidak”. Bukan dengan anggukan atau sekadar mengizinkanku
menggandeng tangannya. Tetapi, lagi-lagi harus disadari, Naila itu unik. Jangan
menyamakannya dengan anak lain yang seusia dengannya. Ia cukup mengangguk bila
menerima pesan Anda. Sebaliknya, ia akan menggelengkan kepalanya bila tak
setuju dengan Anda.
Bagi
sesorang yang belum terlalu dikenalnya, mungkin Naila akan enggan
memperlihatkan keunikannya itu. Tetapi, sampaikan saja apa yang ingin kau
katakan padanya, sebab ia akan mencerna dan menyimpan dalam memorinya. Bila ia
sepaham dengan Anda, kemungkinan besar ia mau mendengarkan Anda.
Perhatikan tulisan yang
ada pada gambar di bawah ini…
Sulit
dipercaya kalau bocah sepertinya mampu menuliskan kalimat singkat itu. Tentu
tak mudah baginya bila harus mengucapkannya langsung. Melalui surat yang
ditulisnya, tersirat makna yang sangat dalam. Naila bukan anak yang susah
tersenyum, mungkin saja saat menuliskan surat itu, ia tersenyum simpul. Ia
hanya belum mampu menerima lingkungan sekitar, entah berapa lama ia akan
beradaptasi dan menerima lingkungan. Tentu tak ada yang tahu. Bisa
berkomunikasi dengan orang lain melalui surat saja sudah menandakan ia hanya
berada pada tahap memilih. Memilih dengan siapa ia ingin berkomunikasi. Aku
memang bukan psikolog yang tahu teori. Aku hanya mengamati dan mempelajari.
Semua
itu berawal dari rasa cemburu. Yah, cemburu kalau yang diajak ke mana-mana
hanyalah kedua kakaknya, makanya ia pun mencoba menyelipkan dirinya saat aku
mengajak kedua kakaknya. Aku memang sengaja tak mengajaknya berkali-kali bila
ia sudah membuang mukanya, sebab aku tahu, nanti pun ia akan merasa kesepian
dan malah memilih bergabung dengan kami.
Ibarat
layangan, semakin kau tarik maka makin kuat pula ia bertahan, namun bila engkau
mengendorkan tali layangan itu, tentu akan jatuh dan pada akhirnya bisa kau
sentuh. Itulah Naila, memiliki banyak keunikan, tak terkecuali cara
berkomunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar