Oleh: Dasnah
Baru
sebulan ini, tiap sore menjelang maghrib, angin berhembus begitu kencang. Pohon nyiur yang tepat berada di halaman
belakang rumah Fadel seakan roboh kena terpaan angin. Mungkin karena sudah
masuk musim kemarau hingga angin itu menyisakan kering pada kulit yang
tersentuh oleh sang angin. Nyiur itu pun nyaris tumbang oleh angin yang bertandang
di musim kemarau ini. Sepertinya pemandangan itu baru saja menyita perhatian
Fadel. Matanya tajam menyorot ketinggian nyiur yang hampir saja terhempas.
Kenangan lama yang telah terkubur dalam sepertinya terkuak tatkala pandangannya
diarahkan pada nyiur yang seakan meronta karena angin. Persis dengan dirinya,
pun terlihat merana. Sepertinya karena seorang gadis.
Alur
hidup seseorang memang tak bisa direka layaknya kita menyaksikan sebuah
sinetron. Pemuda tampan itu dahulunya seorang yang gagah nan energik. Saat ini
ia masih semester lima di salah satu perguruan tinggi ternama di Tanah Daeng, Makassar. Kini, ia amat jauh berbeda. Badannya kurus
kerontang, rambutnya tak lagi rapi, tiap tarikan nafasnya bagai menyisakan
pilu. Entah kenangan buruk apa yang muncul dari benaknya ketika pandangannya
tertuju pada nyiur yang baru saja terkibas oleh angin. Mungkinkah dahulu gadis
yang dicintainya sangat suka dengan buah kelapa? Atau ia pernah memanjat pohon
kelapa demi sang gadis pujaan hatinya? Ah, lagi-lagi tak ada yang tahu ke mana
jiwanya berkelana. Yang pasti dia masih menyisakan rindu amat mendalam.
Hampir
sejam ia memandangi nyiur itu. Sisa-sisa air matanya bahkan masih terlihat
jelas pada wajahnya. Ia baru saja memulai kerinduan itu. Samar-samar terdengar
ia memanggil sebuah nama dengan sangat mesra, “Khansa”. Sepertinya sosok Khansa
telah bersemayam dalam ingatannya. Masih menyisakan tanya tiada bertepi. Ada
apa dengan gadis bernama Khansa? Begitu cantikkah ia hingga hanya ada satu nama
yang ia dendangkan? Begitu luar biasakah
ia di mata Fadel hingga membuatnya tak berdaya seperti saat ini?
***
Adzan
magrib telah berkumandang, namun sedikit pun tak membuatnya bergeming. Untung
ada sang Ibu yang menuntunnya.
“Sudahlah,
ibu tahu apa yang ada dalam pikiranmu?” aneh, sang ibu ibarat sutradara hingga
ia seakan tahu segalanya.
“Tapi,
Bu” ia berusaha menyela. Isak tangis makin menjadi. Penuh perhatian sang ibu
memeluknya. Tangis pun beradu. Lima belas menit, kira-kira selama itu mereka
berpelukan penuh kasih.
“Ayo,
ambil air wudhu dulu!” Pinta ibunya.
“Iya,
Bu!” balasnya dalam isak.
Pemandangan
haru pun tercipta. Bukan kali pertama, ia menjadi imam bagi ibunya. Pun bukan
hal baru bila dalam shalatnya ia
meneteskan air mata. Tiba-tiba terdengar suara lembut dari sang ibu usai
shalat berjamaah.
“Nak,
ibu tahu betapa engkau menyayangi Khansa, adikmu” sesaat pemandangan senyap,
kemudian mereka mematung. Fadel segera meninggalkan ibunya, masuk ke kamar.
Ternyata
gadis yang ia rindukan adalah adiknya. Bukan kekasih pujaan hatinya. Sudah
memasuki tahun pertama, Khansa meninggalkan keluarga kecilnya. Namun, isak
tangis yang menderu Fadel dan ibunya masih sangat kuat. Seperti apakah sosok
Khansa? Entahlah, Fadel tak begitu banyak bercerita tentang adiknya. Hanya
saja, acap kali ia melihat gadis berkerudung segitiga dengan bros mungil
dipadukan dengan baju hingga selutut, pasti ia menatapnya penuh arti. Matanya
pun berkaca-kaca bila ia melihat sosok gadis seperti itu. Khansa, sepertinya
sosoknya tak jauh beda dengan gadis yang menyita perhatian Fadel.
***
Sudah
beberapa hari ini ia selalu menyempatkan hadir dalam kajian rutin di masjid
kampusnya. Rupanya ia punya cara untuk melupakan kenangan akan adiknya. Ia
sangat beruntung, ustadz yang mengisi kajian di kampusnya membahas tentang
‘musibah’. Meski tak tahu pasti, sepertinya kepergian Khansa adiknya adalah
musibah paling memilukan baginya. Momen itu amat tepat baginya. Lagi-lagi air mata
Fadel menetes. Terisak.
Usai
kajian, ia menyempatkan diri menyapa ustadz yang baru saja mengisi tausiah.
Dari gelagatnya, ia seperti ingin bertanya. Ternyata benar, ia mengadukan semua
kondisinya.
Rupanya,
adiknya meninggal karena tertimpa buah nyiur yang ada di belakang rumahnya.
Pantas saja ia begitu pilu saat memandang nyiur di halaman belakang rumahnya.
Buah kelapa yang menimpa adiknya tepat mengenai otak kecilnya, bahkan kata
dokter pembuluh darahnya pecah tertimpa buah kelapa. Isak tangis makin menjadi
tatkala ia bercerita bahwa dirinya yang memanjat pohon nyiur untuk adiknya yang
amat ingin makan buah nyiur.
Kenangan itu sudah setahun berlalu,
namun rasa bersalah yang menyusup begitu kuat hingga raganya pun tersiksa. Sepertinya Sang Pencipta masih begitu
menyayanginya. Hatinya yang tergerak mengikuti kajian hingga dipertemukan
ustadz yang memberinya pamahaman merupakan tanda bahwa yang mahakuasa masih
ingin merangkulnya.
Perlahan,
ia mulai melupakan kisah tragis tentang adiknya. Fadel, sepertinya tak butuh
setahun untuk menjadi energik. Tak butuh setahun untuk kembali seperti dulu.
Akhirnya, nyiur yang acap kali berdendang dengan nyanyian pilu mampu ia tepis
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar