Jumat, 17 Agustus 2012

Nyanyian Nyiur


Oleh: Dasnah
Baru sebulan ini, tiap sore menjelang maghrib, angin berhembus begitu kencang.  Pohon nyiur yang tepat berada di halaman belakang rumah Fadel seakan roboh kena terpaan angin. Mungkin karena sudah masuk musim kemarau hingga angin itu menyisakan kering pada kulit yang tersentuh oleh sang angin. Nyiur itu pun nyaris tumbang oleh angin yang bertandang di musim kemarau ini. Sepertinya pemandangan itu baru saja menyita perhatian Fadel. Matanya tajam menyorot ketinggian nyiur yang hampir saja terhempas. Kenangan lama yang telah terkubur dalam sepertinya terkuak tatkala pandangannya diarahkan pada nyiur yang seakan meronta karena angin. Persis dengan dirinya, pun terlihat merana. Sepertinya karena seorang gadis.
Alur hidup seseorang memang tak bisa direka layaknya kita menyaksikan sebuah sinetron. Pemuda tampan itu dahulunya seorang yang gagah nan energik. Saat ini ia masih semester lima di salah satu perguruan tinggi ternama di Tanah Daeng, Makassar.  Kini, ia amat jauh berbeda. Badannya kurus kerontang, rambutnya tak lagi rapi, tiap tarikan nafasnya bagai menyisakan pilu. Entah kenangan buruk apa yang muncul dari benaknya ketika pandangannya tertuju pada nyiur yang baru saja terkibas oleh angin. Mungkinkah dahulu gadis yang dicintainya sangat suka dengan buah kelapa? Atau ia pernah memanjat pohon kelapa demi sang gadis pujaan hatinya? Ah, lagi-lagi tak ada yang tahu ke mana jiwanya berkelana. Yang pasti dia masih menyisakan rindu amat mendalam.
Hampir sejam ia memandangi nyiur itu. Sisa-sisa air matanya bahkan masih terlihat jelas pada wajahnya. Ia baru saja memulai kerinduan itu. Samar-samar terdengar ia memanggil sebuah nama dengan sangat mesra, “Khansa”. Sepertinya sosok Khansa telah bersemayam dalam ingatannya. Masih menyisakan tanya tiada bertepi. Ada apa dengan gadis bernama Khansa? Begitu cantikkah ia hingga hanya ada satu nama yang ia dendangkan?  Begitu luar biasakah ia di mata Fadel hingga membuatnya tak berdaya seperti saat ini?
***
Adzan magrib telah berkumandang, namun sedikit pun tak membuatnya bergeming. Untung ada sang Ibu yang menuntunnya.
“Sudahlah, ibu tahu apa yang ada dalam pikiranmu?” aneh, sang ibu ibarat sutradara hingga ia seakan tahu segalanya.
“Tapi, Bu” ia berusaha menyela. Isak tangis makin menjadi. Penuh perhatian sang ibu memeluknya. Tangis pun beradu. Lima belas menit, kira-kira selama itu mereka berpelukan penuh kasih.
“Ayo, ambil air wudhu dulu!” Pinta ibunya.
“Iya, Bu!” balasnya dalam isak.
Pemandangan haru pun tercipta. Bukan kali pertama, ia menjadi imam bagi ibunya. Pun bukan hal baru bila dalam shalatnya ia  meneteskan air mata. Tiba-tiba terdengar suara lembut dari sang ibu usai shalat berjamaah.
“Nak, ibu tahu betapa engkau menyayangi Khansa, adikmu” sesaat pemandangan senyap, kemudian mereka mematung. Fadel segera meninggalkan ibunya, masuk ke kamar.
Ternyata gadis yang ia rindukan adalah adiknya. Bukan kekasih pujaan hatinya. Sudah memasuki tahun pertama, Khansa meninggalkan keluarga kecilnya. Namun, isak tangis yang menderu Fadel dan ibunya masih sangat kuat. Seperti apakah sosok Khansa? Entahlah, Fadel tak begitu banyak bercerita tentang adiknya. Hanya saja, acap kali ia melihat gadis berkerudung segitiga dengan bros mungil dipadukan dengan baju hingga selutut, pasti ia menatapnya penuh arti. Matanya pun berkaca-kaca bila ia melihat sosok gadis seperti itu. Khansa, sepertinya sosoknya tak jauh beda dengan gadis yang menyita perhatian Fadel. 
***
Sudah beberapa hari ini ia selalu menyempatkan hadir dalam kajian rutin di masjid kampusnya. Rupanya ia punya cara untuk melupakan kenangan akan adiknya. Ia sangat beruntung, ustadz yang mengisi kajian di kampusnya membahas tentang ‘musibah’. Meski tak tahu pasti, sepertinya kepergian Khansa adiknya adalah musibah paling memilukan baginya. Momen itu amat tepat baginya. Lagi-lagi air mata Fadel menetes. Terisak.
Usai kajian, ia menyempatkan diri menyapa ustadz yang baru saja mengisi tausiah. Dari gelagatnya, ia seperti ingin bertanya. Ternyata benar, ia mengadukan semua kondisinya.  
Rupanya, adiknya meninggal karena tertimpa buah nyiur yang ada di belakang rumahnya. Pantas saja ia begitu pilu saat memandang nyiur di halaman belakang rumahnya. Buah kelapa yang menimpa adiknya tepat mengenai otak kecilnya, bahkan kata dokter pembuluh darahnya pecah tertimpa buah kelapa. Isak tangis makin menjadi tatkala ia bercerita bahwa dirinya yang memanjat pohon nyiur untuk adiknya yang amat ingin makan buah nyiur.
            Kenangan itu sudah setahun berlalu, namun rasa bersalah yang menyusup begitu kuat hingga raganya pun tersiksa.  Sepertinya Sang Pencipta masih begitu menyayanginya. Hatinya yang tergerak mengikuti kajian hingga dipertemukan ustadz yang memberinya pamahaman merupakan tanda bahwa yang mahakuasa masih ingin merangkulnya.
Perlahan, ia mulai melupakan kisah tragis tentang adiknya. Fadel, sepertinya tak butuh setahun untuk menjadi energik. Tak butuh setahun untuk kembali seperti dulu. Akhirnya, nyiur yang acap kali berdendang dengan nyanyian pilu mampu ia tepis ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar