Oleh:
Dasnah (SGI III – Dompet Dhuafa)
Terhitung
setengah bulan, Bu Ana tidak menampakkan muka dan mengajar alif,
ba, ta, tsa kepada bocah-bocah Fo’o Rombo. Maklum bulan Ramadhan ini,
mereka diliburkan dari kegiatan TPA. Bu Ana berganti tempat ibadah, kini, ia
lebih sering menginjakkan kaki di masjid dusun Woja Bawah. Di sana juga banyak
anak-anak yang kerap memanggil namanya serta meraih tangannya seraya berkata,
“Ibu, sholat di sini, ya?” bahkan mereka kerap berteriak, “Hore, Ibu Ana maina sembeyang!” ‘Hore, Bu Ana, datang ke sini untuk sholat!” Sesekali, ia medudukkan anak-anak itu,
melingkar, kemudian mengajarkan do’a sehari-sehari kepada mereka. Itulah lakon
yang ia nikmati, kini. Namun, sudah beberapa hari juga ia terlihat jarang
melangkahkan kaki ke masjid itu. Maklumlah, banyak aral. Entah itu karena ia
memang berhalangan datang ke masjid karena sedang tak puasa, atau kah karena
agenda Ramadhan ini sarat akan kegiatan tambahan hingga ia sering pulang
menjelang isya, bolak-balik ke kota.
Kemarin,
tiba-tiba saja, ia terlihat bergegas menuju masjid. Sepertinya, ia ingin ke
masjid Fo’o Rombo. Beberapa menit kemudian, ia pun pamit pada ayah dan ibu
semangnya. “Bu, saya ke masjid atas, dulu, hari ini ada lomba untuk anak-anak!”
Seperti
biasa, ia berjalan kaki menuju surau. Masjid masih terlihat sepi, namun dari
luar, sudah terdengar seperti ada suara bocah yang sedang belajar ngaji.
Samar-samar, ia pun seakan mengenali suara bocah itu. Benar, apa yang ada
dalam pikirannya. Bocah itu, Sinta,
salah seorang siswa kelas II di SDN 15 Woja, tempatnya mengabdi. Rupanya, Sinta
belajar ngaji bersama kakaknya, Sulaiman. Sepertinya, bocah-bocah itu sangat
menikmati bacaan buku iqra-nya,
sampai-sampai salam dari Bu Ana tidak mereka dengarkan.
Ah,
rupanya masjid masih sepi. Sepertinya tak ada tanda-tanda lomba akan dimulai
malam ini, sebagaimana yang dia usulkan kepada pengurus Majlis Ta’lim desa Riwo.
Sejenak, ia mulai dalam lamunan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Teriakan
seorang bocah yang rupanya merindukannya, tiba-tiba saja membuyarkan
pikirannya. Ia pun tersenyum simpul sembari menatap sang bocah. Bocah itu
tampak girang melihatnya di masjid Az-zukhruf,
setelah setengah bulan tak muncul-muncul. Percakapan singkat pun terjadi antara
Bu Ana dengan sang bocah.
“Ibu,
dari mana, sih? Kenapa baru datang?” sambil memeluk Bu Ana.
“Ibu,
kan, shalat di masjid bawah. Karena ada lomba yang akan diadakan di masjid
sini, makanya ibu datang!” terang Bu Ana kepada sang bocah.
“Kata
orang, Ibu sudah mau pulang, ya, Bu?” sang bocah kembali bertanya.
“Iya,
sayang!” jawabnya singkat.
“Jangan
pulang, ya, Bu. Kalau ibu pulang, kami bagaimana?”
Sejenak,
ia tampak tertegun mendengar sang bocah berceloteh. Bocah itu memang agak
cerewet, tetapi semua yang dikatakannya, benar. Bukan kali pertama ia mendapati
bocah itu berkata demikian. Bocah yang menurutnya sangat tegar dan terlalu
cepat menangani urusan rumah tangga di usianya yang masih amat dini. Mencuci,
memasak, mengambil air, dan menyiapkan seragam sekolahnya sendiri. Semua itu,
sudah amat enteng bagi sang bocah. Sinta, ya, bocah yang baru saja membawa
pikirannya berkelana sepertinya telah menyita perhatiannya.
Usai
percakapan singkat itu, Bu Ana kembali merenung. Ia teringat awal perkenalannya
dengan Sinta. Waktu itu, sang bocah tak begitu memberi warna hingga tak mudah
untuk mengingatnya. Hanya saja, saat sang bocah berbicara, suaranya
menggelegar. Bahkan Bu Ana kerap menutup kuping bila berdekatan dengannya atau
menempelkan telunjuk pada bibirnya, kemudian berdesis, “Sssttt…!” pertanda
bahwa si bocah diminta untuk memelankan suaranya. Itulah Sinta. Satu lagi yang
membuatnya tak bisa lupa dengan Sinta. Pernah suatu ketika, ia mengajarkan iqra kepadanya, namun sang bocah malah
balik mengguruinya. Meski apa yang diucapkannya salah, ia tetap kekeh dengan apa yang telah dia pelajari
sebelumnya. Perlahan Bu Ana menjelaskan kepadanya, ia pun mulai mengikuti.
Baginya,
Sinta adalah bocah yang sangat ulet. Bocah itu pun banyak menorehkan inspirasi
kepadanya. Satu di antara sekian inspirasi itu adalah semangatnya dalam berdagang.
Saat
sang bocah masih duduk di kelas satu, ia sudah belajar berdagang. Bahkan, ia
seperti tak punya hari libur. Sinta, menjajakan sayur dengan menggunakan baskom
yang dijunjung di kepalanya, sembari berteriak, “welli, uta mbeca!” ‘beli, sayur!” seperti tak ada sore buat dia,
sebab waktunya dipakai untuk berkeliling dusun dengan sayurnya. Sepulang dari
menjajakan sayur, sang bocah beralih ke pekerjaannya yang lain. Memasak nasi
dan ikan, layaknya ibu rumah tangga, ia juga mengangkat air seperti pekerjaan
kakaknya, Sulaiman. Namun, sedikit pun tak tampak lara di wajahnya. Ia
menikmati pekerjaannya.
Sama
persis saat Bu Ana memandang wajahnya malam ini, seperti tak ada sedih yang
menghiasi wajahnya. Rupanya, sang bocah asyik bercerita tentang aktivitasnya.
Terkadang ia menutup mulut secara refleks saat keluar kata-kata yang salah.
Maklumlah, bocah-bocah di tempatnya masih kurang fasih berbahasa Indonesia,
bahkan banyak yang tak bisa berbahasa Indonesia. Senyum simpul Bu Ana pun
menambah semangatnya untuk terus berkisah. Tentu kisah tentang dirinya (Sinta)
yang sebentar lagi kedatangan ayahnya. Ayah yang selalu dinanti-nantinya
setelah sekian lama pergi ke Negara lain untuk merantau.
Kali
ini bocah itu berkisah tentang Ayahnya yang akan membawanya pergi ke Malaisya.
Penuh semangat, ia menjelaskan kepada Bu Ana. Percakapan pun terjadi di antara
mereka.
“Sinta
mau ikut ayah?”
“Iya,
Bu e, ayah mau bawa saya ke Malaisya.” Terangnya dengan struktur kalimat yang
agak kacau.
“Yah,
Sinta tidak usah pergi, ya, nanti masjid sepi!” pinta gurunya seakan berat
kehilangannya. Meski raut wajah tawa tetap ia perlihatkan.
“Ya,
Bu e, saya kasihan sih, sama nenek saya, tidak ada yang bantu masak dan
menjual.” Kembali ia melontarkan jawaban yang membuat sang guru ciut.
Subhanallah, sekecil itu, tetapi
sudah berpikir ke arah sana. Belum tentu orang dewasa mengeluarkan kalimat yang
demikian. Bu Ana terlihat membatin.
Sinta
memang memiliki seorang nenek yang selalu melindunginya. Sang nenek pula yang
membiayai kehidupan sehari-hari Sinta. Makan, minum, jajan, pakaian, dan
kebutuhan sekolah, semua merek nenek. Mungkin itu yang membuatnya berat
meninggalkan neneknya.
Ah,
kekaguman sang ibu guru membumbung. Bocah itu memberikan pelajaran berharga
untuknya. Ia kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat Bu Ana baru
tiba di sekolah, pas di depan pintu kelasnya. Bocah-bocah sudah ramai
mengerumuninya, termasuk Sinta. Sang bocah menegurnya, “Ibu, ibu dari mana,
kenapa baru saya lihat?” Hanya senyum yang menjawab pertanyaan sang bocah.
Sesaat,
pikirannya berkelana. Perasaan ia tak ke mana-mana. Atau mungkin saja karena
ketidakhadirannya hari Senin kemarin. Tapi, ah, perasaan ia pun masuk sekolah.
Memang tak lama sebab ia harus ke kota, ada urusan di dinas.
Pikirannya
kembali buyar tatkala seorang bocah lagi, menyebut namanya. Bu Ana melirik
Sinta. Anting emas yang melekat di kedua telinganya, kembali menyita
perhatiannya.
“Wah,
Sinta pakai anting baru, ya?”
“Iya,
Bu e, hasil tabungan saya Bu.” Lagi-lagi, bocah ini membuatnya sontak.
Sedikit
percaya, namun tak bisa diabaikan juga. Ia mulai bertanya seakan tak percaya
pada Sinta. Dalam hati, ia berpikir, mana mungkin bocah sepertinya mampu
menabung seharga sepasang anting emas. Tetapi, ia kan berdagang tiap hari. Pun
sering memperlihatkan uang yang akan ditabungnya kepada sang guru, atau ia
kerap bercerita tentang tabungannya yang sudah banyak. Mungkin juga, anting itu
hasil tabungannya. Ia berusaha menepis pikiran yang berusaha menyangsikan
keuletan sang bocah. Ulet, benar-benar bocah yang ulet dengan segala
keceriaannya. Sinta, si pedagang cilik, diam-diam telah menjadi album inspirasi
baginya.
Malam
itu, kedatangannya di masjid az-zukhruf
ternyata memberi pelajaran berharga. Matanya mulai berkaca-kaca, haru kembali
bertahta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar