Jumat, 17 Agustus 2012

Sinta Si Pedagang Cilik


Oleh: Dasnah (SGI III – Dompet Dhuafa)


Terhitung setengah bulan, Bu Ana tidak menampakkan muka dan mengajar  alif, ba, ta, tsa kepada bocah-bocah Fo’o Rombo. Maklum bulan Ramadhan ini, mereka diliburkan dari kegiatan TPA. Bu Ana berganti tempat ibadah, kini, ia lebih sering menginjakkan kaki di masjid dusun Woja Bawah. Di sana juga banyak anak-anak yang kerap memanggil namanya serta meraih tangannya seraya berkata, “Ibu, sholat di sini, ya?” bahkan mereka kerap berteriak, “Hore, Ibu Ana maina sembeyang!” ‘Hore, Bu Ana, datang ke sini untuk sholat!”  Sesekali, ia medudukkan anak-anak itu, melingkar, kemudian mengajarkan do’a sehari-sehari kepada mereka. Itulah lakon yang ia nikmati, kini. Namun, sudah beberapa hari juga ia terlihat jarang melangkahkan kaki ke masjid itu. Maklumlah, banyak aral. Entah itu karena ia memang berhalangan datang ke masjid karena sedang tak puasa, atau kah karena agenda Ramadhan ini sarat akan kegiatan tambahan hingga ia sering pulang menjelang isya, bolak-balik ke kota.
Kemarin, tiba-tiba saja, ia terlihat bergegas menuju masjid. Sepertinya, ia ingin ke masjid Fo’o Rombo. Beberapa menit kemudian, ia pun pamit pada ayah dan ibu semangnya. “Bu, saya ke masjid atas, dulu, hari ini ada lomba untuk anak-anak!”
Seperti biasa, ia berjalan kaki menuju surau. Masjid masih terlihat sepi, namun dari luar, sudah terdengar seperti ada suara bocah yang sedang belajar ngaji. Samar-samar, ia pun seakan mengenali suara bocah itu. Benar, apa yang ada dalam  pikirannya. Bocah itu, Sinta, salah seorang siswa kelas II di SDN 15 Woja, tempatnya mengabdi. Rupanya, Sinta belajar ngaji bersama kakaknya, Sulaiman. Sepertinya, bocah-bocah itu sangat menikmati bacaan buku iqra-nya, sampai-sampai salam dari Bu Ana tidak mereka dengarkan.
Ah, rupanya masjid masih sepi. Sepertinya tak ada tanda-tanda lomba akan dimulai malam ini, sebagaimana yang dia usulkan kepada pengurus Majlis Ta’lim desa Riwo. Sejenak, ia mulai dalam lamunan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Teriakan seorang bocah yang rupanya merindukannya, tiba-tiba saja membuyarkan pikirannya. Ia pun tersenyum simpul sembari menatap sang bocah. Bocah itu tampak girang melihatnya di masjid Az-zukhruf, setelah setengah bulan tak muncul-muncul. Percakapan singkat pun terjadi antara Bu Ana dengan sang bocah.
“Ibu, dari mana, sih? Kenapa baru datang?” sambil memeluk Bu Ana.
“Ibu, kan, shalat di masjid bawah. Karena ada lomba yang akan diadakan di masjid sini, makanya ibu datang!” terang Bu Ana kepada sang bocah.
“Kata orang, Ibu sudah mau pulang, ya, Bu?” sang bocah kembali bertanya.
“Iya, sayang!” jawabnya singkat.
“Jangan pulang, ya, Bu. Kalau ibu pulang, kami bagaimana?”
Sejenak, ia tampak tertegun mendengar sang bocah berceloteh. Bocah itu memang agak cerewet, tetapi semua yang dikatakannya, benar. Bukan kali pertama ia mendapati bocah itu berkata demikian. Bocah yang menurutnya sangat tegar dan terlalu cepat menangani urusan rumah tangga di usianya yang masih amat dini. Mencuci, memasak, mengambil air, dan menyiapkan seragam sekolahnya sendiri. Semua itu, sudah amat enteng bagi sang bocah. Sinta, ya, bocah yang baru saja membawa pikirannya berkelana sepertinya telah menyita perhatiannya.
Usai percakapan singkat itu, Bu Ana kembali merenung. Ia teringat awal perkenalannya dengan Sinta. Waktu itu, sang bocah tak begitu memberi warna hingga tak mudah untuk mengingatnya. Hanya saja, saat sang bocah berbicara, suaranya menggelegar. Bahkan Bu Ana kerap menutup kuping bila berdekatan dengannya atau menempelkan telunjuk pada bibirnya, kemudian berdesis, “Sssttt…!” pertanda bahwa si bocah diminta untuk memelankan suaranya. Itulah Sinta. Satu lagi yang membuatnya tak bisa lupa dengan Sinta. Pernah suatu ketika, ia mengajarkan iqra kepadanya, namun sang bocah malah balik mengguruinya. Meski apa yang diucapkannya salah, ia tetap kekeh dengan apa yang telah dia pelajari sebelumnya. Perlahan Bu Ana menjelaskan kepadanya, ia pun mulai mengikuti.
Baginya, Sinta adalah bocah yang sangat ulet. Bocah itu pun banyak menorehkan inspirasi kepadanya. Satu di antara sekian inspirasi itu adalah semangatnya dalam berdagang.
Saat sang bocah masih duduk di kelas satu, ia sudah belajar berdagang. Bahkan, ia seperti tak punya hari libur. Sinta, menjajakan sayur dengan menggunakan baskom yang dijunjung di kepalanya, sembari berteriak, “welli, uta mbeca!” ‘beli, sayur!” seperti tak ada sore buat dia, sebab waktunya dipakai untuk berkeliling dusun dengan sayurnya. Sepulang dari menjajakan sayur, sang bocah beralih ke pekerjaannya yang lain. Memasak nasi dan ikan, layaknya ibu rumah tangga, ia juga mengangkat air seperti pekerjaan kakaknya, Sulaiman. Namun, sedikit pun tak tampak lara di wajahnya. Ia menikmati pekerjaannya.
Sama persis saat Bu Ana memandang wajahnya malam ini, seperti tak ada sedih yang menghiasi wajahnya. Rupanya, sang bocah asyik bercerita tentang aktivitasnya. Terkadang ia menutup mulut secara refleks saat keluar kata-kata yang salah. Maklumlah, bocah-bocah di tempatnya masih kurang fasih berbahasa Indonesia, bahkan banyak yang tak bisa berbahasa Indonesia. Senyum simpul Bu Ana pun menambah semangatnya untuk terus berkisah. Tentu kisah tentang dirinya (Sinta) yang sebentar lagi kedatangan ayahnya. Ayah yang selalu dinanti-nantinya setelah sekian lama pergi ke Negara lain untuk merantau.
Kali ini bocah itu berkisah tentang Ayahnya yang akan membawanya pergi ke Malaisya. Penuh semangat, ia menjelaskan kepada Bu Ana. Percakapan pun terjadi di antara mereka.
“Sinta mau ikut ayah?”
“Iya, Bu e, ayah mau bawa saya ke Malaisya.” Terangnya dengan struktur kalimat yang agak kacau.
“Yah, Sinta tidak usah pergi, ya, nanti masjid sepi!” pinta gurunya seakan berat kehilangannya. Meski raut wajah tawa tetap ia perlihatkan.
“Ya, Bu e, saya kasihan sih, sama nenek saya, tidak ada yang bantu masak dan menjual.” Kembali ia melontarkan jawaban yang membuat sang guru ciut.
            Subhanallah, sekecil itu, tetapi sudah berpikir ke arah sana. Belum tentu orang dewasa mengeluarkan kalimat yang demikian. Bu Ana terlihat membatin.
Sinta memang memiliki seorang nenek yang selalu melindunginya. Sang nenek pula yang membiayai kehidupan sehari-hari Sinta. Makan, minum, jajan, pakaian, dan kebutuhan sekolah, semua merek nenek. Mungkin itu yang membuatnya berat meninggalkan neneknya.
Ah, kekaguman sang ibu guru membumbung. Bocah itu memberikan pelajaran berharga untuknya. Ia kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat Bu Ana baru tiba di sekolah, pas di depan pintu kelasnya. Bocah-bocah sudah ramai mengerumuninya, termasuk Sinta. Sang bocah menegurnya, “Ibu, ibu dari mana, kenapa baru saya lihat?” Hanya senyum yang menjawab pertanyaan sang bocah.
Sesaat, pikirannya berkelana. Perasaan ia tak ke mana-mana. Atau mungkin saja karena ketidakhadirannya hari Senin kemarin. Tapi, ah, perasaan ia pun masuk sekolah. Memang tak lama sebab ia harus ke kota, ada urusan di dinas.
Pikirannya kembali buyar tatkala seorang bocah lagi, menyebut namanya. Bu Ana melirik Sinta. Anting emas yang melekat di kedua telinganya, kembali menyita perhatiannya.
“Wah, Sinta pakai anting baru, ya?”
“Iya, Bu e, hasil tabungan saya Bu.” Lagi-lagi, bocah ini membuatnya sontak.
Sedikit percaya, namun tak bisa diabaikan juga. Ia mulai bertanya seakan tak percaya pada Sinta. Dalam hati, ia berpikir, mana mungkin bocah sepertinya mampu menabung seharga sepasang anting emas. Tetapi, ia kan berdagang tiap hari. Pun sering memperlihatkan uang yang akan ditabungnya kepada sang guru, atau ia kerap bercerita tentang tabungannya yang sudah banyak. Mungkin juga, anting itu hasil tabungannya. Ia berusaha menepis pikiran yang berusaha menyangsikan keuletan sang bocah. Ulet, benar-benar bocah yang ulet dengan segala keceriaannya. Sinta, si pedagang cilik, diam-diam telah menjadi album inspirasi baginya.
Malam itu, kedatangannya di masjid az-zukhruf ternyata memberi pelajaran berharga. Matanya mulai berkaca-kaca, haru kembali bertahta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar