Senin, 20 Agustus 2012

PUDARNYA CAHAYA ILAHI PADA WAJAH KAMI

PUDARNYA CAHAYA ILAHI PADA WAJAH KAMI
Oleh: Dasnah (SGI III_Dompu)

Malam itu, ketika usai berselisih paham dengan Rina, aku melangkah masuk ke kamarku. Bola mata ini serasa berkaca-kaca. Kuarahkan pandanganku ke jendela kamarku. Perlahan kudekati, bermaksud untuk membukanya.Tangan ini belum sempat menyentuh daun jendela. Namun, jemari sang angin lebih dahulu ingin menyambutku. Jendela itu terkibas. Dari luar tampak dedaunan menari dengan indah. Tarian itu seolah isyarat bahwa Sang Pencipta pun mampu mengangkat nilai seni pada benda mati seperti daun dan pada sesuatu yang gaib seperti angin. Sungguh merupakan kolaborasi yang amat indah. Suasana itu sedikit menghibur kegalauan, kegelisahan, dan kesedihan yang menyelimuti seluruh persendian dan nadiku akhir-akhir ini.
Ibu menyerangku dengan ratusan pertanyaan yang tiada berkesudahan. Ayah bahkan hendak menerobos benteng keimananku dengan mengujiku melalui logika-logikanya yang tidak masuk dalam akal sehatku. Begitulah yang kualami saat komitmen untuk mengenakan jilbab terpatri dan terbangun dalam dadaku. Tiba-tiba adikku Rina turut menghardik dan merendahkan pakaian agung yang melekat pada tubuhku, saat teguran halus terlontar dari kedua bibirku. Kata-kata itu masih membekas dalam ingatanku
” Kak...udah deh, nggak usah sok-sok alim segala!” bentaknya padaku saat kumencoba memberi nasihat padanya.
” Rin, bukannya kakak...”
” Stop-stop” teriaknya amat kencang memotong pembicaraanku.
Aku terdiam sejenak. Luapan emosi yang menguasai dirinya sungguh amat  kuat. Entah iblis apa yang merasuki pikirannya. Dengan  penuh pertimbangan  yang matang, sekali lagi kulontarkan nasihat padanya.
” Rin, kalau ingin syuting kamu jangan mau disuruh memakai pakaian yang seksi, ketat, dan kecil” ujarku pada Rina yang saat itu bergegas ke lokasi syuting.
”Ini adalah pilihan hidup dan karir Rina ” tegasnya padaku.
Rina melangkah ke luar rumah dengan rok mini di atas lutut serta baju yang super ketat dan terbuka. Dipadukan dengan high heelsnya. Rina melaju dengan Mercy merahnya tanpa pamit dan berkata sepatah kata pun.
Aku heran pada ayah dan ibu, mengapa tidak menegur Rina dengan penampilan seperti itu. Padahal ayah dan ibu adalah keluaran pesantren. Apa karena lingkungan? Entahlah... semua perubahan itu amat cepat bagiku. Tak terasa sudah hampir setengah malam saya  mengurung diri di dalam kamar. Aku masih saja memikirkan keluargaku yang sedang berada di ambang pintu kehancuran. Kecintaanku pada mereka memang tidak melebihi kecintaanku kepada Sang Pemberi cinta hingga naluri seorang anak dan seorang saudara begitu kuat dalam diriku untuk membuat suatu perubahan yang lebih indah. Mungkin karena itu pula aku berani menentang mereka. Tiba-tiba....cahaya kilat dan suara petir datang silih berganti seolah membenarkan pikiranku. Aku tersentak kaget seraya berucap istighfar. Seketika aku teringat Rina yang masih ada di luar sana. Rina yang masih sibuk dengan syutingnya. Rina yang tidak pernah ingin mendengar dan menurut nasihat.
” Bi, apa Rina sudah pulang? ” tanyaku sambil bergegas turun dari tangga.
” Bibi, tidak tahu, Non”
” Kalau Ibu ?” tanyaku kembali
”Belum pulang dari kantor, Non”
Seisi rumah masih berada di luar sana. Padahal, sudah hampir pukul 01.00 dini hari inikah yang dimaksud dengan dunia modern. Tiba-tiba “pip...pip...pip” suara  klakson mobil terdengar dari luar rumah. Aku pikir itu Rina, tetapi ternyata itu mobil ayah dan ibu. Kekhawatiranku mulai mengikis dengan kedatangan ayah dan ibuku. Kututup kembali jendela kamarku. Dua jam kemudian, sedikit pun tak ada tanda-tanda akan kedatangan Rina. Petir yang memekakkan telinga juga belum reda, ditambah dengan turunnya hujan yang amat lebat. Semua itu membuat pendengaran seolah tak berfungsi.
“Kring...kring...kring...” suara telepon itu sedikit memulihkan pendengaranku. Dengan langkah tergopoh dan menggigil kudekati gagang telepon itu.
“Halo...”
“ Ya halo”                                                                                                                                           “ Apa ini betul rumah saudara Rina”
“ Ya betul, kalau boleh tahu ini dengan siapa ya?”
“ Ini dari dokter Budi, beberapa menit yang lalu pasien ditemukan sedang tergeletak dan terluka parah di pinggir jalan”
“ Apa...dok innalillah wainnailaihirajiun”
 Segera kukabarkan berita ini kepada ayah dan ibu, rasa panik dan peduli baru terlihat pada kedua wajah itu. Setelah sekian lama tenggelam seolah ditelan oleh bumi. Aku berharap dengan kejadian itu ayah dan ibu bisa kembali sepeti dulu, ketika kami masih hidup dalam kesederhanaan yang penuh dengan canda dan tawa.
Namun, ternyata harapanku sia-sia belaka. Ayah bukannya mendukungku untuk aktif dalam organisasi Islam, melainkan mencela dan mnghinanya. Dan ibu bukannya menyuruhku menutup rapat auratku, tetapi malah menyuruhku menjadi seperti Rina. Super model dan terkenal, serta berpenghasilan. Perubahan yang terjadi padaku dianggap sebagai suatu pembawa sial dan malapetaka. Katanya gara-gara aku adu mulut dengan Rina, kecelakaan itu terjadi. Adikku satu-satunya sedang dalam keadaan koma. Dan semua itu adalah kesalahanku?
Aktivitasku dibatasi sejak kejadian itu. Semua pakaian muslimahku dirobek dan dijadikan lap oleh ibu. Untunglah aku masih menyimpan tiga pasang yang masih baru. Teman-teman sepejuanganku dalam organisasi dicegat dan dilarang untuk menemuiku. Jadwal kuliahku dikontrol, kecuali jadwal mengajarku yang sama sekali tidak diketahui oleh ibu. Jadwal mengajar ngagji di TPA Nurul Hikmah serta jadwal mengajarku sebagai asisten dosen di Universitas, baik itu di Universitas negeri maupun di Universitas swasta. Untuk memperoleh izin ayah dan ibu, aku harus meminta surat keterangan mengajar di Universitas, kecuali di TPA, sebab pasti tidak diizinkan.
Gejolak yang begitu kuat dalam dadaku sekarang adalah pertanyaan yang sampai kini belum memiliki jawaban. Mengapa ayah dan ibuku amat membenci ajaran yang aku anut? Berbagai cara telah kutempuh untuk mencari tahu hal tersebut, tetapi hasilnya masih nihil. Sampai suatu ketika saya menemukan buku diari ibu di gudang. Isinya tidak lain adalah kisah ayah dan ibu sejak masih di pesantren. Air mata ini... menetes tiada henti ketika membaca diari itu. Ternyata ayah dan ibu diusir dari pesantren karena ibu sedang mengandung lima bulan. Bayi yang ada dalam kandungan ibu itu, tidak lain adalah aku...adalah aku. Kristal bening membasuh pipiku. Itulah sebabnya ayah dan ibu begitu membenciku. Ada kisah begitu memilukan yang tak mampu diselesaikan dengan pembelaan diri. Menyangkal bukanlah cara yang tepat untuk tetap mempertahankan eksistensi ibu di dalam pesantren, terlebih ketika ada bukti surat keterangan dari dokter bahwa ibuku sedang mengandung. Tragis dan ironis saat ayah membela ibu di depan para pembina pesantren. Seketika itu, kecurigaan dan tuduhan langsung terlontar pada ayah.
”Masalah ini harus diselesaikan dengan bijak” pembelaan ayah.
”Bijak seperti apa? Ketus dari salah seorang santriawati
”Bijak seperti apa? Ketus dari salah seorang santri
”Iya, bijak mana yang cocok untuk perempuan yang tak mampu menyandang kata bijak” salah satu santriwati menambah ketersudutan itu.
Nada ketus santri dan santriwati itu membuat seluruh pembina pondok pesantren hanya terfokus pada nadsa sindiran itu.
”Atau jangan-jangan Fahri yang menghamili Mira” sekali lagi sindiran santriwati itu membuat Mira yang tak lain adalah ibuku memancarkan raut wajah yang begitu pedih.
”Jaga mulutmu baik-baik, Mira tak sekotor yang kau kira.”
”Kalau Mira tidak kotor lantas siapa yang kotor, kamu?” santri yang dari tadi menyudutkan ayah.  
Dan pihak pesantren mengira kalau ibu hamil di luar nikah. Padahal, sebelum masuk pesantren ayah dan ibu sudah dinikahkan secara sah, tetapi karena ingin memperdalam ilmu agama, status suami-istri itu harus dihilangkan, karena seperti itulah ketentuan jika ingin masuk pesantren di kotaku. Belum sempat ibu membela diri di hadapan para ustadzah, tapi ibu sudah diusir karena pada waktu itu salah seorang santriawati mengadu yang tidak-tidak tentang hubungan ayah dan ibu. Santriawati yang sejak tadi menyudutkan ibu. Ternyata ia menaruh hati pada ayah, namun tidak pernah dihiraukan. Selain itu, ia juga iri dengan prestasi yang diraih oleh ibu, sejak masuk di pesantren.Begitu pula dengan ayah. Belum sempat memprtanggungjawabkan tuduhan yang beredar di dalam pesantren, namun sudah diusir secara tidak sopan dari pesantren. Kasusnya sama persis dengan yang dialami oleh ibu. Seorang santri  suka pada ibu, tetapi tidak pernah diberi respon. Malah respon itu selalu tertuju pada Fahri yang tak lain adalah ayahku. Rupanya nada ketus yang mereka lontarkan adalah luapan kekecewaan atas cinta yang berbalas.
Terjawablah semua uneg-uneg yang mengganjal dalam langkah muliaku. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengembalikan keyakinan ayah dan ibu tentang Islam seperti pemahamannya pada waktu silam. Sebulan kemudian, aku bekerja sama dengan salah satu percetakan buku untuk memuat sebuah kisah nyata yang berbentuk kisah pesantren tersebut sampai pada kisahnya yang sekarang, termasuk masalah anak-anaknya yaitu Zahra (aku) dan Rina. Akhirnya, pihak penerbit itu langsung menghubungiku untuk membicarakan penerbitan buku tersebut. Respon yang ditunjukkan oleh penerbitu begitu gesit. Aku sendiri tak menyangka akan secepat ini mendapat balasannya.
Setengah bulan kemudian, buku itu pun telah terbit. Ternyata novel itu berhasil menembus dunia internasional dan menjadi salah satu buku best seller yang banyak diminati oleh berbagai kalangan. Ayah dan ibu merasa penasaran dengan cerita yang dikisahkan dalam novel tersebut, akhirnya ayah memesan buku tersebut. Dari dalam kamar aku mengintip ayah ketika tengah membaca buku terserbut, aku lihat ayah meneteskan air mata seraya beristigfar. Ibu yang berada di samping ayah tak hentinya memandang fotoku.
Tanpa sengaja, keesokan harinya aku membaca koran langganan ayah dan ibu, satu halaman penuh ucapan permohonan maaf dari pihak pesantren terbaca olehku.
By: D@snah
Makassar 2006
Edisi revisinya: Makassar, 14 Mei 2007 
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar