PUDARNYA CAHAYA ILAHI PADA WAJAH KAMI
Oleh: Dasnah (SGI III_Dompu)
Malam
itu, ketika usai berselisih paham dengan Rina, aku melangkah masuk ke kamarku.
Bola mata ini serasa berkaca-kaca. Kuarahkan pandanganku ke jendela kamarku.
Perlahan kudekati, bermaksud untuk membukanya.Tangan ini belum sempat menyentuh
daun jendela. Namun, jemari sang angin lebih dahulu ingin menyambutku. Jendela
itu terkibas. Dari luar tampak dedaunan menari dengan indah. Tarian itu seolah
isyarat bahwa Sang Pencipta pun mampu mengangkat nilai seni pada benda mati
seperti daun dan pada sesuatu yang gaib seperti angin. Sungguh merupakan
kolaborasi yang amat indah. Suasana itu sedikit menghibur kegalauan,
kegelisahan, dan kesedihan yang menyelimuti seluruh persendian dan nadiku
akhir-akhir ini.
Ibu menyerangku
dengan ratusan pertanyaan yang tiada berkesudahan. Ayah bahkan hendak menerobos
benteng keimananku dengan mengujiku melalui logika-logikanya yang tidak masuk
dalam akal sehatku. Begitulah yang kualami saat komitmen untuk mengenakan
jilbab terpatri dan terbangun dalam dadaku. Tiba-tiba adikku Rina turut
menghardik dan merendahkan pakaian agung yang melekat pada tubuhku, saat
teguran halus terlontar dari kedua bibirku. Kata-kata itu masih membekas dalam
ingatanku
” Kak...udah deh,
nggak usah sok-sok alim segala!” bentaknya padaku saat kumencoba memberi
nasihat padanya.
” Rin, bukannya
kakak...”
” Stop-stop”
teriaknya amat kencang memotong pembicaraanku.
Aku
terdiam sejenak. Luapan emosi yang menguasai dirinya sungguh amat kuat. Entah iblis apa yang merasuki pikirannya.
Dengan penuh pertimbangan yang matang, sekali lagi kulontarkan nasihat
padanya.
” Rin, kalau
ingin syuting kamu jangan mau disuruh memakai pakaian yang seksi, ketat, dan
kecil” ujarku pada Rina yang saat itu bergegas ke lokasi syuting.
”Ini adalah
pilihan hidup dan karir Rina ” tegasnya padaku.
Rina
melangkah ke luar rumah dengan rok mini di atas lutut serta baju yang super
ketat dan terbuka. Dipadukan dengan high
heelsnya. Rina melaju dengan Mercy merahnya tanpa pamit dan berkata sepatah
kata pun.
Aku heran pada
ayah dan ibu, mengapa tidak menegur Rina dengan penampilan seperti itu. Padahal
ayah dan ibu adalah keluaran pesantren. Apa karena lingkungan? Entahlah...
semua perubahan itu amat cepat bagiku. Tak terasa sudah hampir setengah malam
saya mengurung diri di dalam kamar. Aku
masih saja memikirkan keluargaku yang sedang berada di ambang pintu kehancuran.
Kecintaanku pada mereka memang tidak melebihi kecintaanku kepada Sang Pemberi cinta
hingga naluri seorang anak dan seorang saudara begitu kuat dalam diriku untuk
membuat suatu perubahan yang lebih indah. Mungkin karena itu pula aku berani
menentang mereka. Tiba-tiba....cahaya kilat dan suara petir datang silih
berganti seolah membenarkan pikiranku. Aku tersentak kaget seraya berucap
istighfar. Seketika aku teringat Rina yang masih ada di luar sana. Rina yang
masih sibuk dengan syutingnya. Rina yang tidak pernah ingin mendengar dan
menurut nasihat.
” Bi, apa Rina
sudah pulang? ” tanyaku sambil bergegas turun dari tangga.
” Bibi, tidak
tahu, Non”
”
Kalau Ibu ?” tanyaku kembali
”Belum
pulang dari kantor, Non”
Seisi rumah masih
berada di luar sana. Padahal, sudah hampir pukul 01.00 dini hari inikah yang
dimaksud dengan dunia modern. Tiba-tiba “pip...pip...pip” suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Aku
pikir itu Rina, tetapi ternyata itu mobil ayah dan ibu. Kekhawatiranku mulai
mengikis dengan kedatangan ayah dan ibuku. Kututup kembali jendela kamarku. Dua
jam kemudian, sedikit pun tak ada tanda-tanda akan kedatangan Rina. Petir yang
memekakkan telinga juga belum reda, ditambah dengan turunnya hujan yang amat
lebat. Semua itu membuat pendengaran seolah tak berfungsi.
“Kring...kring...kring...”
suara telepon itu sedikit memulihkan pendengaranku. Dengan langkah tergopoh dan
menggigil kudekati gagang telepon itu.
“Halo...”
“ Ya halo”
“ Apa ini betul rumah saudara Rina”
“ Ya betul, kalau
boleh tahu ini dengan siapa ya?”
“ Ini dari dokter
Budi, beberapa menit yang lalu pasien ditemukan sedang tergeletak dan terluka
parah di pinggir jalan”
“ Apa...dok innalillah wainnailaihirajiun”
Segera
kukabarkan berita ini kepada ayah dan ibu, rasa panik dan peduli baru terlihat
pada kedua wajah itu. Setelah sekian lama tenggelam seolah ditelan oleh bumi.
Aku berharap dengan kejadian itu ayah dan ibu bisa kembali sepeti dulu, ketika
kami masih hidup dalam kesederhanaan yang penuh dengan canda dan tawa.
Namun,
ternyata harapanku sia-sia belaka. Ayah bukannya mendukungku untuk
aktif dalam organisasi Islam, melainkan mencela dan mnghinanya. Dan ibu bukannya
menyuruhku menutup rapat auratku, tetapi malah menyuruhku menjadi seperti Rina.
Super model dan terkenal, serta berpenghasilan. Perubahan yang terjadi padaku
dianggap sebagai suatu pembawa sial dan malapetaka. Katanya gara-gara aku adu
mulut dengan Rina, kecelakaan itu terjadi. Adikku satu-satunya sedang dalam
keadaan koma. Dan semua itu adalah kesalahanku?
Aktivitasku
dibatasi sejak kejadian itu. Semua pakaian muslimahku dirobek dan dijadikan lap
oleh ibu. Untunglah aku masih menyimpan tiga pasang yang masih baru.
Teman-teman sepejuanganku dalam organisasi dicegat dan dilarang untuk
menemuiku. Jadwal kuliahku dikontrol, kecuali jadwal mengajarku yang sama
sekali tidak diketahui oleh ibu. Jadwal mengajar ngagji di TPA Nurul
Hikmah serta jadwal mengajarku sebagai asisten dosen di Universitas, baik itu
di Universitas negeri maupun di Universitas swasta. Untuk memperoleh izin ayah
dan ibu, aku harus meminta surat keterangan mengajar di Universitas, kecuali di
TPA, sebab pasti tidak diizinkan.
Gejolak
yang begitu kuat dalam dadaku sekarang adalah pertanyaan yang sampai kini belum
memiliki jawaban. Mengapa ayah dan ibuku amat membenci ajaran yang aku anut?
Berbagai cara telah kutempuh untuk mencari tahu hal tersebut, tetapi hasilnya
masih nihil. Sampai suatu ketika saya menemukan buku diari ibu di gudang.
Isinya tidak lain adalah kisah ayah dan ibu sejak masih di pesantren. Air mata
ini... menetes tiada henti ketika membaca diari itu. Ternyata ayah dan ibu
diusir dari pesantren karena ibu sedang mengandung lima bulan. Bayi yang ada
dalam kandungan ibu itu, tidak lain adalah aku...adalah aku. Kristal bening
membasuh pipiku. Itulah sebabnya ayah dan ibu begitu membenciku. Ada kisah
begitu memilukan yang tak mampu diselesaikan dengan pembelaan diri. Menyangkal
bukanlah cara yang tepat untuk tetap mempertahankan eksistensi ibu di dalam
pesantren, terlebih ketika ada bukti surat keterangan dari dokter bahwa ibuku
sedang mengandung. Tragis dan ironis saat ayah membela ibu di depan para
pembina pesantren. Seketika itu, kecurigaan dan tuduhan langsung terlontar pada
ayah.
”Masalah ini
harus diselesaikan dengan bijak” pembelaan ayah.
”Bijak seperti
apa? Ketus dari salah seorang santriawati
”Bijak seperti
apa? Ketus dari salah seorang santri
”Iya, bijak mana
yang cocok untuk perempuan yang tak mampu menyandang kata bijak” salah satu
santriwati menambah ketersudutan itu.
Nada ketus santri
dan santriwati itu membuat seluruh pembina pondok pesantren hanya terfokus pada
nadsa sindiran itu.
”Atau
jangan-jangan Fahri yang menghamili Mira” sekali lagi sindiran santriwati itu
membuat Mira yang tak lain adalah ibuku memancarkan raut wajah yang begitu
pedih.
”Jaga mulutmu
baik-baik, Mira tak sekotor yang kau kira.”
”Kalau Mira tidak
kotor lantas siapa yang kotor, kamu?” santri yang dari tadi menyudutkan ayah.
Dan pihak
pesantren mengira kalau ibu hamil di luar nikah. Padahal, sebelum masuk
pesantren ayah dan ibu sudah dinikahkan secara sah, tetapi karena ingin
memperdalam ilmu agama, status suami-istri itu harus dihilangkan, karena
seperti itulah ketentuan jika ingin masuk pesantren di kotaku. Belum sempat ibu
membela diri di hadapan para ustadzah, tapi ibu sudah diusir karena pada waktu
itu salah seorang santriawati mengadu yang tidak-tidak tentang hubungan ayah
dan ibu. Santriawati yang sejak tadi menyudutkan ibu. Ternyata ia menaruh hati
pada ayah, namun tidak pernah dihiraukan. Selain itu, ia juga iri dengan
prestasi yang diraih oleh ibu, sejak masuk di pesantren.Begitu pula dengan
ayah. Belum sempat memprtanggungjawabkan tuduhan yang beredar di dalam
pesantren, namun sudah diusir secara tidak sopan dari pesantren. Kasusnya sama
persis dengan yang dialami oleh ibu. Seorang santri suka pada ibu, tetapi tidak pernah diberi
respon. Malah respon itu selalu tertuju pada Fahri yang tak lain adalah ayahku.
Rupanya nada ketus yang mereka lontarkan adalah luapan kekecewaan atas cinta
yang berbalas.
Terjawablah
semua uneg-uneg yang mengganjal dalam langkah muliaku. Sekarang yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana mengembalikan keyakinan ayah dan ibu tentang
Islam seperti pemahamannya pada waktu silam. Sebulan kemudian, aku bekerja sama
dengan salah satu percetakan buku untuk memuat sebuah kisah nyata yang
berbentuk kisah pesantren tersebut sampai pada kisahnya yang sekarang, termasuk
masalah anak-anaknya yaitu Zahra (aku) dan Rina. Akhirnya, pihak penerbit itu
langsung menghubungiku untuk membicarakan penerbitan buku tersebut. Respon yang
ditunjukkan oleh penerbitu begitu gesit. Aku sendiri tak menyangka akan secepat
ini mendapat balasannya.
Setengah
bulan kemudian, buku itu pun telah terbit. Ternyata novel itu berhasil menembus
dunia internasional dan menjadi salah satu buku best seller yang banyak diminati oleh berbagai kalangan. Ayah dan
ibu merasa penasaran dengan cerita yang dikisahkan dalam novel tersebut,
akhirnya ayah memesan buku tersebut. Dari dalam kamar aku mengintip ayah ketika
tengah membaca buku terserbut, aku lihat ayah meneteskan air mata seraya
beristigfar. Ibu yang berada di samping ayah tak hentinya memandang fotoku.
Tanpa sengaja, keesokan
harinya aku membaca koran langganan ayah dan ibu, satu halaman penuh ucapan
permohonan maaf dari pihak pesantren terbaca olehku.
By: D@snah
Makassar 2006
Edisi revisinya:
Makassar, 14 Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar