Minggu, 19 Agustus 2012

Apa kabar ?

                                                                                           Oleh: Dasnah SGI III

Langit mulai gelap, cahaya merah mulai menjalar menutupi putihnya awan. Burung-burung yang beterbangan hendak ke sarangnya. Tak bedanya dengan aktivitas manusia.
Sore menjelang malam itu. Aku yang sedang asyik menikmati pemandangan cakrawala tiba-tiba terhanyut haru, enah mengapa bola mata ini berkaca-kaca dan jantung ini berdebar-debar kencang. Air mata hampir menetes di kedua pipi ini. Tetapi “Naila, waktu maghrib sudah tiba”suara paman mengagetkanku. Kusapu air bening yang hendak menetes itu itu saat paman melangkah ke arah tempat aku sedang duduk. “ya, paman”. Balasku seolah tak terjadi apa-apa denganku.
Perlahan kumeninggalkan tempat duduk itu. Sejuknya air membasahi pipi serasa menembus ke kalbuku. Mata yang berkaca dan debaran jantung yang kencang sudah tak tersisa lagi. Segera kuambil mukenah, sarung, dan sejadah yang terlipat rapi di atas meja mungil dalam kamarku.
Beberapa menit kemudian. Setelah aku selesai menghadap ke sang pencipta dan setelah kulantunkan ayat-ayat suci-Nya. Isak tangis pun tak dapat terbendung lagi, kubiarkan diri ini hanyut dalam lara dan duka.
Beribu tanya dalam benak ini, sesaki pikiranku. Sejenak kurebahkan tubuh yang masih berbalut kain putih ke tempat tidurku. Pikiran ini melayang ke mana-mana. Ayah…,Ibu…, desahku dengan pelan. Air mata yang sudah reda kembali bercucuran, terlintas pikiran yang tidak –tidak dalam benak ini.
“Naila…Naila…. Ada telepon untukmu” teriak bibi yang berada diruang tengah. Suara itupun membayarkan segala pikiranku. Akupun bangun dari bangun dari pembaringan dan segera berlari ke arah bibi yang sedang berdiri di sudut ruang tengah dengan gagang telepon di tangan kanannya.
“Assalamu Alaikum”   
“Waalaikum salam” Jawabnya
“ini siapa ya? “tanyaku padanya
“Tut… tut….tut… “ teleponnya ditutup.
Belum sempat aku mendengar suaranya untuk yang kedua kalinya, teleponnya terputus. Entah disengaja atau tidak.
Penarasanku ? Yah… aku amat penasaran. Dari suaranya sish, kederangan seperti suara laki-laki. Tapi siapa orangnya aku tak tahu. Memoriku tak dapat memprediksinya.
Jadi aku kembali ke kamar dengan rasa penasaran yang kian menjadi-jadi. Tiba-tiba secarik kertas bertuliskan ‘apa kabar?’ tertempel pada dinding kamarku.
Aneh! Tiba-tiba ada bau tak sedap yang aku rasakan. Kucoba mencari sumber bau itu, tetapi tak ada sesuatu yang kotor dalam kamarku. Namun, setelah aku periksa dengan cermat ternyata tinta itu, ya… tinta yang dipakai menulis pada kertas itu, bukanlah tinta biasa. Darah yang bau yang tak sedap itu adalah bau darah.
“Bi….bibi, paman….” Teriakku dengan kencang dan berlari ke luar
“Ada apa? Tanya paman dan bibi padaku yang sedang ngos-ngosan dan pucat.
 “Darah?” tanya mereka dengan nada tak percaya.
Segera kutarik tangan paman dan bibi menuju kamarku. Saat tiba, sesuatu yang aneh terjadi lagi. Kertas itu sudah tidak ada, bekasnya pun tak ada. Aku mencoba menjelaskanku kepada paman dan bibiku kalau aku terlihat, bahkan memegang kertas bertuliskan ‘apa kabar?’ dan tintanya dari darah.
Paman dan bibi akhirnya percaya padaku setelah beberapa kali aku menjelaskan kepada mereka. Meskipun dari raut wajah mereka massih tak menunjukkn kepercayaan pada apa yang aku katakan.
Waktu telah menunjukkan pukul 22.10 WIB, keheningan malam makin mencekam, angin bertiup sangat kencang, pohon-pohon yang ada diluar tampak dari jendela kamarku. Bulu kudukku merinding dan seluruh dan seluruh tubuhku terasa dingin karena cuaca malam itu. Kuarahkan pandangan pada lemari mungil berwarna coklat yang terletak di sudut kamarku, pas dekat jendela. Kuberanikan diri beranjak dari tempat tidurku, saat longlongan anjing makin menjadi, untuk mengambil selimut.
Tak ada sesuatu yang terjadi, kucoba memejamkan mata ini, namun tak bisa. Bayangan surat itu masih menghantui ingatanku. “Tok… tok…tok….” Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarku, debar jantung berdebar dibuatnya. Kucoba untuk tak acuh, tetapi ketukan itu tak jua berhenti.
“Siapa?” teriakku dari dalam kamarku, lama tak ada jawaban. Badan inipun jadi panas dingin dan bermandi keringat. Selimut yang masih kuat membalut dan menutupi seluruh tubuhku tak kubiarkan lepas.
Tetapi…, suara ketukan itu tak juga berhenti. “Nada, Nada…” sampai suara yang kudengar memanggil namaku. Segera kubuka kamarku dan ternyata, itu adalah pamanku.
“Mengapa paman baru bersuara, pamankan dari tadi mengetuk pintu?”
“Dari tadi?”
“Iya, pamankan sudah seperempat jam mengetik pintu?”
“Paman baru saja ada di sini.”
“Jadi yang tadi siapa?”
“Kamu pasti ngaco lagi.”
“Ngaco lagi?”
“Maksud paman kamu pasti salah dengar.”
Paman ternya tak percaya dengan ceritaku tadi tentang kertas berdarah itu dan tentang ceritaku barusan. Sebelum beranjak dari depan kamarku, paman sempat bertanya padaku mengapa aku belum juga tidur. Aku jawab saja kalau aku tidak bisa tidur.
Suasana kamarku kembali hening, suara-suara aneh tak jua berhenti membayangiku. Dari arah jendela kamarku, samar-samar dinding rumah tetangga depan tersorot oleh mataku. Entah mengapa setiap kali memandang ke arah rumah tak berpenghuni itu,  ada hal aneh yang menembus relung hatiku. Rasanya diri ini seolah tertarik untuk memeriksanya. “Apa…kabar?” tiba-tiba suara aneh itu muncul lagi. Dengan gesit aku berlari ke arah pintu kamarku untuk mengambil parang yang telah aku persiapkan sebelumnya. Dering ponselku menambah rasa kagetku, sejenak kulirik nomor yang ada di layar ponselku. Baru…nomor baru. Nomor yang masuk itu tidak aku kenal.
“Ya halo!”
“Apa kabar…?”
Wajah ini menjadi pucat pasi, bibir serasa gemetar, tangan tak kuasa menekan tombol-tombol ponselku dan kaki ini tak kuat untuk melangkah. Suara itu lagi,… Ya suara itu lagi!
            “Kamu siapa?”
            “Apa kabar” lagi-lagi jawabannya membuatku bermandi keringat. Aku berusaha menenangkan pikiranku, membuat suasana hatiku menjadi lebih rileks dengan beristigfar kepada Sang Penguasa. Suara aneh itupun bagaikan Bouraq, dalam sekejap tak terdengar lagi di telinga ini.
            “Astagfiorullah Al-adzim”, Kalimat ini terlantun dari kedua bibirku. Seolah kuasa-Nya memberi mukjizat pada diriku. Akupun tergerak untuk mengambil air wudhu. Beberapa saat kemudian mataku pun terlelap.
            Allahu Akbar…Allahu Akbar…. Suara adzan membangungkanku yang sedang tertidur pulas. Kata hati dan kaki ini tergerak untuk ke rumah-Nya. Akan tetapi, rasa was-was dan takut pasang surut dalam pikiran ini. Kutepis segala rasa yang mengungkungku dalam bui rasa takut ini.
            “Assalamu alaikum.”
            “Waalaikum salam.”
            “Kamu keponakannya Pak Gibran kan?”
            “Iya….”
            “Nama kamu siapa?”
            “Naila”
            Tiba-tiba lelaki tua itu menghilang tanpa jejak ketika aku hendak menanyakan sesuatu kepadanya. Lelaki tua itu kuat juga berjalan, pikirku. Sesaat kemudian bisikan suara seorang lelaki menggema di telinga ini, “Apa… kabar?” Akupun berbalik ke arah suara itu. Bayangan pun tak ada.
            Selesai shalat di mesjid, aku mampir di warung untuk membeli kue. Rupanya lelaki tua yang bertanya padaku tadi subuh adalah pemilik warung kue itu.
            “Non Naila tidak takut ya?”
            “Takut kenapa pak?”
            “Memangnya Non tidak tahu?”
            “Tahu apa Pak?”
            “Dua hari yang lalu ditemukan mayat di rumah kosong depan rumah Non.”
            “Pak antarkan Naila ke sana ya!” Bibir seolah ada yang menggerakkan untuk mengatakannya.
            “Waduh… Bapak takut Non.”
            “Kalau begitu, Naila pergi sendiri deh.”
            “Ya sudah, Bapak temani. Tapi jangan bilang pada paman dan bibi Naila ya.”
            Apa… kabar? Tulisan itu persis tulisan yang ada di kamarku. Tulisan itu tepat berada di lokasi mayat perempuan itu ditemukan. Pak tulisan itu seperti tulisan yang ada di kamar Naila, kataku pada Bapak itu. Tetapi, sedikit pun tak ada jawaban yang aku dengar. Aku berbalik ke arah tempat Bapak itu berdiri, tidak ada seseorang…? Aku berlari meninggalkan lokasi kejadian dan segera kembali ke rumah. Dengan penuh peluh di tubuhku, aku bersandar pada dinding kamarku. Tiba-tiba tubuh ini serasa ada yang menariknya dari luar kamar. Dadaku terasa sesak, dan rasanya jantungku tak kuat lagi untuk berdetak. Aku berusaha untuk melepaskan siksaan itu, tetapi tak bisa. Paman dan Bibiku pun tengah bersimbah darah. Sesosok perempuan tengah berdiri di hadapanku dengan suaranya bak seorang lelaki. Apa kabar…..? Pppaaak…. Suara buku yang terjatuh membuatku beribu kaget. Ternyata aku terbawa oleh mimpi. Ya… mimpi tentang film horror yang kemarin aku tonton. Judul filmnya persis seperti yang ada dalam mimpiku “Apa Kabar?” 


Pernah dimuat di tabloid pelajar: Tabloid Pena Biru Edisi 28 
Niat, Ikhtiar, Do'a 3 pilar sukses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar