Oleh: Dasnah SGI III
Langit mulai gelap, cahaya merah mulai menjalar menutupi
putihnya awan. Burung-burung yang beterbangan hendak ke sarangnya. Tak bedanya
dengan aktivitas manusia.
Sore menjelang malam itu. Aku yang sedang asyik menikmati
pemandangan cakrawala tiba-tiba terhanyut haru, enah mengapa bola mata ini
berkaca-kaca dan jantung ini berdebar-debar kencang. Air mata hampir menetes di
kedua pipi ini. Tetapi “Naila, waktu maghrib sudah tiba”suara paman
mengagetkanku. Kusapu air bening yang hendak menetes itu itu saat paman
melangkah ke arah tempat aku sedang duduk. “ya, paman”. Balasku seolah tak
terjadi apa-apa denganku.
Perlahan kumeninggalkan tempat duduk itu. Sejuknya air membasahi
pipi serasa menembus ke kalbuku. Mata yang berkaca dan debaran jantung yang
kencang sudah tak tersisa lagi. Segera kuambil mukenah, sarung, dan sejadah
yang terlipat rapi di atas meja mungil dalam kamarku.
Beberapa menit kemudian. Setelah aku selesai menghadap ke sang
pencipta dan setelah kulantunkan ayat-ayat suci-Nya. Isak tangis pun tak dapat
terbendung lagi, kubiarkan diri ini hanyut dalam lara dan duka.
Beribu tanya dalam benak ini, sesaki pikiranku. Sejenak
kurebahkan tubuh yang masih berbalut kain putih ke tempat tidurku. Pikiran ini
melayang ke mana-mana. Ayah…,Ibu…, desahku dengan pelan. Air mata yang sudah
reda kembali bercucuran, terlintas pikiran yang tidak –tidak dalam benak ini.
“Naila…Naila…. Ada telepon untukmu” teriak bibi yang berada
diruang tengah. Suara itupun membayarkan segala pikiranku. Akupun bangun dari
bangun dari pembaringan dan segera berlari ke arah bibi yang sedang berdiri di
sudut ruang tengah dengan gagang telepon di tangan kanannya.
“Assalamu Alaikum”
“Waalaikum salam” Jawabnya
“ini siapa ya? “tanyaku padanya
“Tut… tut….tut… “ teleponnya ditutup.
Belum sempat aku mendengar suaranya untuk yang kedua kalinya,
teleponnya terputus. Entah disengaja atau tidak.
Penarasanku ? Yah… aku amat penasaran. Dari suaranya sish,
kederangan seperti suara laki-laki. Tapi siapa orangnya aku tak tahu. Memoriku
tak dapat memprediksinya.
Jadi aku kembali ke kamar dengan rasa penasaran yang kian
menjadi-jadi. Tiba-tiba secarik kertas bertuliskan ‘apa kabar?’ tertempel pada
dinding kamarku.
Aneh! Tiba-tiba ada bau tak sedap yang aku rasakan. Kucoba
mencari sumber bau itu, tetapi tak ada sesuatu yang kotor dalam kamarku. Namun,
setelah aku periksa dengan cermat ternyata tinta itu, ya… tinta yang dipakai
menulis pada kertas itu, bukanlah tinta biasa. Darah yang bau yang tak sedap
itu adalah bau darah.
“Bi….bibi, paman….” Teriakku dengan kencang dan berlari ke luar
“Ada apa? Tanya paman dan bibi padaku yang sedang ngos-ngosan
dan pucat.
“Darah?” tanya mereka
dengan nada tak percaya.
Segera kutarik tangan paman dan bibi menuju kamarku. Saat tiba,
sesuatu yang aneh terjadi lagi. Kertas itu sudah tidak ada, bekasnya pun tak
ada. Aku mencoba menjelaskanku kepada paman dan bibiku kalau aku terlihat,
bahkan memegang kertas bertuliskan ‘apa kabar?’ dan tintanya dari darah.
Paman dan bibi akhirnya percaya padaku setelah beberapa kali aku
menjelaskan kepada mereka. Meskipun dari raut wajah mereka massih tak
menunjukkn kepercayaan pada apa yang aku katakan.
Waktu telah menunjukkan pukul 22.10 WIB, keheningan malam makin
mencekam, angin bertiup sangat kencang, pohon-pohon yang ada diluar tampak dari
jendela kamarku. Bulu kudukku merinding dan seluruh dan seluruh tubuhku terasa
dingin karena cuaca malam itu. Kuarahkan pandangan pada lemari mungil berwarna
coklat yang terletak di sudut kamarku, pas dekat jendela. Kuberanikan diri
beranjak dari tempat tidurku, saat longlongan anjing makin menjadi, untuk
mengambil selimut.
Tak ada sesuatu yang terjadi, kucoba memejamkan mata ini, namun
tak bisa. Bayangan surat itu masih menghantui ingatanku. “Tok… tok…tok….”
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarku, debar jantung berdebar
dibuatnya. Kucoba untuk tak acuh, tetapi ketukan itu tak jua berhenti.
“Siapa?” teriakku dari dalam kamarku, lama tak ada jawaban.
Badan inipun jadi panas dingin dan bermandi keringat. Selimut yang masih kuat
membalut dan menutupi seluruh tubuhku tak kubiarkan lepas.
Tetapi…, suara ketukan itu tak juga berhenti. “Nada, Nada…”
sampai suara yang kudengar memanggil namaku. Segera kubuka kamarku dan ternyata,
itu adalah pamanku.
“Mengapa paman baru bersuara, pamankan dari tadi mengetuk
pintu?”
“Dari tadi?”
“Iya, pamankan sudah seperempat jam mengetik pintu?”
“Paman baru saja ada di sini.”
“Jadi yang tadi siapa?”
“Kamu pasti ngaco lagi.”
“Ngaco lagi?”
“Maksud paman kamu pasti salah dengar.”
Paman ternya tak percaya dengan ceritaku tadi tentang kertas
berdarah itu dan tentang ceritaku barusan. Sebelum beranjak dari depan kamarku,
paman sempat bertanya padaku mengapa aku belum juga tidur. Aku jawab saja kalau
aku tidak bisa tidur.
Suasana kamarku kembali hening, suara-suara aneh tak jua
berhenti membayangiku. Dari arah jendela kamarku, samar-samar dinding rumah
tetangga depan tersorot oleh mataku. Entah mengapa setiap kali memandang ke
arah rumah tak berpenghuni itu, ada hal
aneh yang menembus relung hatiku. Rasanya diri ini seolah tertarik untuk
memeriksanya. “Apa…kabar?” tiba-tiba suara aneh itu muncul lagi. Dengan gesit
aku berlari ke arah pintu kamarku untuk mengambil parang yang telah aku
persiapkan sebelumnya. Dering ponselku menambah rasa kagetku, sejenak kulirik
nomor yang ada di layar ponselku. Baru…nomor baru. Nomor yang masuk itu tidak
aku kenal.
“Ya halo!”
“Apa kabar…?”
Wajah
ini menjadi pucat pasi, bibir serasa gemetar, tangan tak kuasa menekan
tombol-tombol ponselku dan kaki ini tak kuat untuk melangkah. Suara itu lagi,…
Ya suara itu lagi!
“Kamu siapa?”
“Apa kabar” lagi-lagi jawabannya
membuatku bermandi keringat. Aku berusaha menenangkan pikiranku, membuat
suasana hatiku menjadi lebih rileks dengan beristigfar kepada Sang Penguasa.
Suara aneh itupun bagaikan Bouraq, dalam sekejap tak terdengar lagi di telinga
ini.
“Astagfiorullah Al-adzim”, Kalimat
ini terlantun dari kedua bibirku. Seolah kuasa-Nya memberi mukjizat pada
diriku. Akupun tergerak untuk mengambil air wudhu. Beberapa saat kemudian
mataku pun terlelap.
Allahu Akbar…Allahu Akbar…. Suara
adzan membangungkanku yang sedang tertidur pulas. Kata hati dan kaki ini
tergerak untuk ke rumah-Nya. Akan tetapi, rasa was-was dan takut pasang surut
dalam pikiran ini. Kutepis segala rasa yang mengungkungku dalam bui rasa takut
ini.
“Assalamu alaikum.”
“Waalaikum salam.”
“Kamu keponakannya Pak Gibran kan?”
“Iya….”
“Nama kamu siapa?”
“Naila”
Tiba-tiba lelaki tua itu menghilang
tanpa jejak ketika aku hendak menanyakan sesuatu kepadanya. Lelaki tua itu kuat
juga berjalan, pikirku. Sesaat kemudian bisikan suara seorang lelaki menggema
di telinga ini, “Apa… kabar?” Akupun berbalik ke arah suara itu. Bayangan pun
tak ada.
Selesai shalat di mesjid, aku mampir
di warung untuk membeli kue. Rupanya lelaki tua yang bertanya padaku tadi subuh
adalah pemilik warung kue itu.
“Non Naila tidak takut ya?”
“Takut kenapa pak?”
“Memangnya Non tidak tahu?”
“Tahu apa Pak?”
“Dua hari yang lalu ditemukan mayat
di rumah kosong depan rumah Non.”
“Pak antarkan Naila ke sana ya!” Bibir
seolah ada yang menggerakkan untuk mengatakannya.
“Waduh… Bapak takut Non.”
“Kalau begitu, Naila pergi sendiri
deh.”
“Ya sudah, Bapak temani. Tapi jangan
bilang pada paman dan bibi Naila ya.”
Apa… kabar? Tulisan itu persis
tulisan yang ada di kamarku. Tulisan itu tepat berada di lokasi mayat perempuan
itu ditemukan. Pak tulisan itu seperti tulisan yang ada di kamar Naila, kataku
pada Bapak itu. Tetapi, sedikit pun tak ada jawaban yang aku dengar. Aku
berbalik ke arah tempat Bapak itu berdiri, tidak ada seseorang…? Aku berlari
meninggalkan lokasi kejadian dan segera kembali ke rumah. Dengan penuh peluh di
tubuhku, aku bersandar pada dinding kamarku. Tiba-tiba tubuh ini serasa ada
yang menariknya dari luar kamar. Dadaku terasa sesak, dan rasanya jantungku tak
kuat lagi untuk berdetak. Aku berusaha untuk melepaskan siksaan itu, tetapi tak
bisa. Paman dan Bibiku pun tengah bersimbah darah. Sesosok perempuan tengah
berdiri di hadapanku dengan suaranya bak seorang lelaki. Apa kabar…..?
Pppaaak…. Suara buku yang terjatuh membuatku beribu kaget. Ternyata aku terbawa
oleh mimpi. Ya… mimpi tentang film horror
yang kemarin aku tonton. Judul filmnya persis seperti yang ada dalam mimpiku
“Apa Kabar?”
Pernah dimuat di tabloid pelajar: Tabloid Pena Biru Edisi
28
Niat, Ikhtiar, Do'a 3 pilar sukses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar