Senin, 20 Agustus 2012

KERUDUNG MERAH JAMBU

Oleh: Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa_DOMPU)

Andai  waktu itu aku tak bertemu dengannya. Mungkin aku sudah jatuh pada kubangan hina. Beruntung juga aku punya banyak kenalan. Sekarang aku bahkan tak mampu mengucap kata selain terima kasih. Dia sosok yang menjadi inspirasiku. Gadis itu adalah dewi fortuna bagiku. Awal perkenalanku dengannya, sungguh tak sedetik pun dapat terlupakan. Aktivis sepertinya masih sempat memperhatikan hal kecil yang sudah dianggap angin lalu bagi kebanyakan orang.
Hembusan angin yang mempertemukan langkahku dengannya. Pembungkus permen yang terbawa sepoi angin saat tenggorokanku gatal ingin mengunyah sebungkus permen. Seolah menjadi penuntun bagiku bersua dengan gadis anggun itu. Pertama memang buatku risih dengaan tingkahnya yang selalu melototi aksiku. Dengan gaya tak bersalah aku pun tak menghiraukannya. Memang tidak ada yang aneh dari diriku, pikirku. Tingkahnya yang membuatku keki  membawa beribu alasan bagiku untuk menebak isi hatinya. Gagah, tampan, atau apalah, mungkin itu yang ada di dalam pikirannya. Tapi, kalau memang dia berpikir demikian, kok tidak memandangku dengan tatapan lembut, malah sinis. Apa karena cara berpakaian atau…? Ah, jadi makin penasaran.
Siapa yang tak penasaran, secara dia adalah gadis anggun yang tak sedikit pun menampakkan auratnya. Tapi memelototiku sesekali. Ah, kutepis rasa yang tak selaras. Kok aku kegeeran begini, ya. Mencoba untuk menepis rasa aneh yang kian menjadi. Segera kutinggalkan halte tempatku berdiri menunggu angkot yang lewat.
Pembungkus permen yang sedari tadi kumainkan, ternyata menjadi jawaban dari ribuan pertanyaan yang bersarang di benak ini. Hanya menghitung detik dari tempatku beranjak. Gadis itu menggantikan posisiku. Lalu diambilnya pembungkus permen yang telah kubuang. Kuperhatikan sekali lagi, entah aksi apa yang akan dilakoninya. Ternyata, ia tak mendapatkan tong sampah, dia lalu memasukkan pembungkus permen itu ke dalam ransel hijau yang dibawanya. Rupanya, dia seorang pecinta lingkungan. Bukan gadis biasa, pikirku. Meski aku sering melihat gadis sepertinya di kampus, namun yang satu ini betul-betul membuatku terkagum-kagum. Teman-temanku memang tak banyak yang bergaya sepertinya.
“Hei, kok bengong saja!” tepukan Heru mengagetkanku.
“Eh, kamu, ada apa?”
“Yeee, bertanya ada apa. Aku menunggu sampai kering kerontang, kamu tidak datang-datang!”
Astaghfirullah…aku lupa kalau ada janji denganmu”.
            Sore itu, aku seolah tersihir oleh gadis berjilbab itu. Janji dengan teman  pun aku lupakan. Cemen banget. Masa sih, jagoan kampus sepertiku memikirkan gadis yang sama sekali tak membuat lelaki berbalik ke arahnya jika berlalu. Jauh dari kata ‘seksi’ dibanding kebanyakan perempuan. Pakaiannya tertutup. Tetapi juga tak membuat orang melihatnya sebagai sosok yang menakutkan. Sederhana dan cantik. Satu kata yang paling cocok untuknya ‘anggun’.
“Pasti, memikirkan pacar-pacar kamu,” Heru kembali menyela.
“Pacar-pacar?” dengan nada keheranan.
“Oh, jadi kamu amnesia juga tentang itu?” tanyanya seakan tak percaya dengan komentarku.
            Heru, memang tak begitu tahu dengan kondisiku yang jomblo. Semua pacarku sudah kuputuskan. Vina, Vivit, dan Sisi. Bagiku mereka tak lebih hanyalah teman biasa. Mereka saja yang kegenitan, mengaku-ngaku sebagai pacarku. Ya, aku iyakan saja. Sekedar mengobati dan membahagiakan kaum Hawa yang tergila-gila kepadaku. Kok, aku narsis gini ya. Ah, sudahlah.
“Kalau kamu tidak percaya, ya sudah!” aku mencoba meyakinkannya.
“Tapi tidak ada target baru, kan?” kembali tak percaya padaku.
“Iya, aku mau serius belajar.”
“Apa? Kamu kena angin apa?”
“Kok, heran begitu. Ini permintaan ibuku. Harus selesai tahun ini,” jelasku.
“Haha…” tawanya membahana.
            Selama ini terlalu sering aku mengacuhkan permintaan ibu. Sudah hampir enam tahun aku bergelut dan melanglang buana di kampus. Namun, hingga kini gelar sarjana tak kunjung kusandang di akhir namaku. Nilai-nilaiku memang bagus, namun banyak juga yang tunda. Harus kurampungkan.
“Aku juga berencana mengundurkan diri dari senat!” tambahku.
“Woi…sadar bung, dari tadi ngelantur terus!” Heru makin berpikir bahwa aku tak serius.
“Iya, keputusan ini sudah melalui proses panjang”
“Panjang bagaimana? Anak-anak belum tahu dan ini sangat sepihak!” mencoba meyakinkanku.
“Aku sudah disidang oleh ayah-ibuku”.
“Aku juga sudah istikhara dan jawaban yang kudapat adalah keputusan ini” terangku.
            Biarpun aktivis dan agak preman, aku tetap menjalankan kewajiban sebagai muslim. Yah, termasuk mengambil keputusan dengan jalan istikhara. Itu cara islami. Kata guru fiqihku waktu masih di pesantren. Masa kepengurusanku di kampus masih lama. Sudah tiga periode aku menjabat sebagai ketua. Bila tak kutanggalkan, maka akan menghambat kuliah dan secara otomatis gelar  sarjana teknik alias S.T. tak bisa kuraih tahun ini.
Sejak pertemuanku dengan gadis itu, hatiku tersentuh. Kebersihan lingkungan menjadi kewajiban bersama. Itu sudah diajarkan sejak aku duduk di  SD kelas 1, tetapi rasanya aku diingatkan beberapa menit yang lalu oleh seorang gadis yang sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku, namun mampu memberi efek seperti ini kepadaku.
Saat keputusan sudah bulat untuk mengundurkan diri. Tiba-tiba, aku teringat dengan sosok gadis yang kutemui beberapa hari lalu. Wajahnya tak asing bagiku. Seperti sudah pernah bertemu, tapi entah di mana.
            Kulihat sosok yang mirip dengannya. Yakin seratus persen, itu dia. Barulah aku sadar ternyata dia adalah Duta Lingkungan Hidup dari kampusku. Pantas saja waktu itu, dia geram menatapku membuang sampah sembarangan. Tatapan sinis gadis manis berkerudung merah jambu itu tak akan terlupakan. Kami dipertemukan dalam sebuah rapat yang diwakili oleh seorang mahasiswa dari tiap jurusan. Memang baru kali pertama ada rapat seperti ini. Rektor yang baru menjabat di kampus kami ingin merangkul semua aktivis kampus dari berbagai jurusan untuk mendukung salah satu programnya menjadikan mahasiswa sebagai social control dalam kampus, bukan sebaliknya. Itu berarti mahasiswa terlibat secara langsung untuk tiap masalah yang ada di kampus. Meski kita tahu, itu memang fungsi mahasiswa. Sekedar memperjelas saja kali ya atau mungkin saja Pak Rektor capek melihat berita di media masa seputar mahasiswa yang sering demo dengan jalan merusak dan merugikan orang lain. Atau bisa saja sekedar cari muka saja. Tetapi, entahlah, semoga semua ini tak sesuai dengan pikiranku.
Usai rapat, masih saja aku memikirkannya. Jadi ingin mengurungkan niat untuk mundur dari jabatan ketua. Tetapi  bagaimana dengan ayah-ibu, pikirku. Tiba-tiba pikiran ini mengawang, teringat dengan gadis anggun yang kerap muncul dalam benak ini. Rapat dengan lintas jurusan beberapa hari lalu membuatku mengenal namanya. Ifa nama gadis itu. Lengkapnya aku tak tahu. Ia bisa sukses di akademik namun kegiatan ekstranya juga jalan terus. Manajemen waktunya pasti bagus.
Kalau Ifa bisa mendapat prestasi dengan puluhan schedule per hari, mengapa aku tidak bisa? Aku makin tertantang untuk membuktikan bahwa aktivis pun bisa berprestasi.
            Kuberanikan diri menghadap ayah-ibu untuk membahas tentang aku yang masih tetap ingin berorganisasi dan akan kubuktikan dengan gelar S.T. predikat cummlaude. Banyak hal yang menjadikan aku tertantang dengan gadis bernama Ifa itu. Dia seorang gadis dan aktivis, tetapi bisa berkeliling Indonesia bahkan ke luar negeri dengan kecerdasannya. Beasiswa yang pernah diraihnya sangat banyak. Aku pun pasti bisa.
Perlahan dan penuh kehati-hatian. Nilai-nilai yang tertunda segera kuselesaikan dalam waktu satu semester. Dosen-dosen pun tercengang melihat aksiku yang begitu sigap. Tak biasanya aku dilirik seperti ini. Dipuji berlebih dan selalu dicari. Yah, karena penemuan robot yang baru saja aku ciptakan. Tak bisa dipungkiri, aku mampu melalui semua ini karena termotivasi dari seorang gadis yang telah membuatku iri dengan segudang prestasi yang diraihnya.
***
Saat duduk menikmati rasa haru yang menyelimutiku karena akhirnya bisa membuktikan kepada ayah-ibu. Tiba-tiba, getar ponsel mengagetkanku.
“Selamat, ya!” sebuah sms melayang ke nomor ponselku.
“Terima kasih, ini siapa?” balasku.
Kuterima balasan:
“Dengan Heru lah, masa nomor teman sendiri sudah lupa!”
“Rupanya kamu”, balasku.
Memang sudah lama tak saling komunikasi dengannya. Sejak aku kehilangan ponsel beberapa minggu yang lalu. Lagi pula dia juga jarang muncul di kampus. Maklum juga sih, sibuk mempersiapkan kebutuhan pernikahannya.
Tiba-tiba ponselku kembali berbunyi, “Memang berharap siapa?”
“Ah, tidak, cuma sekedar ingin tahu” elakku, meski aku berharap itu adalah sms dari Ifa. Aku kan sudah memberinya nomor ponselku, pas acara launching robot. Lagi pula, mana ada perempuan sholeh sepertinya memulai sms kepada lawan jenisnya yang notabene mantan preman kampus.  Sejak rektor berganti, aku tak pernah lagi memotori demo, pasalnya Pak Rektor terpilih ini sangat pro mahasiswa, namun juga tak mengucilkan hal lain. Bahkan para dosen pun banyak yang segan dan kagum dengan kepemimpinannya.
            Akhirnya, enam bula telah kulalui. Besok adalah waktu yang kunanti-nanti. Tinggal menghitung menit, aku menyandang gelar S.T. Namaku akan dihiasi dengan gelar itu, Muh. Miftah, S. T. Orang tuaku sungguh sangat bahagia. Janji yang pernah terucap pun sebentar lagi menjadi kenyataan. Aku akan memberikan kabar bahagia
“Kamu akhirnya membuktikan kepada kami, Nak!” sambil memelukku erat, ibu meneteskan air mata.
“Tetapi satu lagi permintaan kami yang harus kamu kabulkan,” bisik ayah pelan saat menepuk pundakku.
“Apa lagi, Yah?”
“Kamu harus segera menikah!”
“Hah, menikah? Tidak, Yah, aku ini masih muda.”
“Kamu masih muda, tetapi kami semakin tua, Nak.”
Memang betul kata orang. Anak tunggal itu tidak enak. Bukannya aku mau mencela takdir. Tetapi memang repot kalau orang tua tidak mengerti dan selalu mau dituruti. Sampai detik ini pun tak pernah terpikir olehku untuk menikah secepat yang diinginkan oleh ayah dan ibu. Di sisi lain, aku juga kasihan melihat mereka menanti-nanti terus untuk menimang cucu. Sungguh ribet dan membingungkan.
“Belum ada calon, Yah!”
“Ayah sudah menyiapkan calon yang tepat!” seperti ingin membungkam mulutku yang siap mengeluarkan sejuta alasan.
“Iya, Nak. Kamu pasti suka. Dia anak yang cerdas dan cantik,” tambah Ibuku.
“Tapi…,Bu!”
            Bagaimana dengan gadis yang selalu muncul dalam anganku. Padahal aku mengidolakannya. Bahkan, aku mau mencoba mendekatinya. Bukan berarti mengajaknya pacaran. Aku tahu, pasti ia tak mau pacaran. Menyebutnya saja, ia mungkin tak pernah.
“Gadis ini pasti cocok untukmu. Dia juga masih sanak saudara kita” Ayah makin memaksa.
“Coba lihat fotonya!”
“Hah…ini foto siapa, Yah?” tanyaku keheranan.
Tanpa menyambung percakapan lagi, aku meninggalkan ayah dan ibu yang masih berdiri di ruang tamu. Sungguh di luar dugaan. Gadis yang ada di foto itu adalah Ifa. Mana mungkin, ia mau dijodohkan. Aku tak percaya. Aku tahu betul gadis berjilbab sepertinya, pasti juga mau mencari lelaki sholeh. Yah, meski aku akui diriku ini sedikit sholeh sih, tapi tetap saja itu mustahil.
Lepas dari perbincangan jodoh itu. Aku pun sudah resmi menyandang gelar S.T. Toga yang kukenakan kini resmi mengeluarkan aku dari status mahasiswa. Pengganti di senat pun telah ditetapkan. Tinggal satu masalah terbesar, menikah.
Aku mencoba mencari tahu tentang Ifa dari teman terdekatnya. Ia memang sedang dijodohkan. Aku tahu bahwa lelaki itu adalah aku. Tapi bagiku sangat sulit, belum tentu ia mau menerimaku. Sms pun melayang ke ponselnya.
 “Assalamualaikum, maaf mau bertanya. Apa betul ini dengan Ifa?”
“Iya. Mau tanya apa dan ini dari siapa?”
“Kira-kira kriteria yang diinginkan oleh perempuan berjilbab itu seperti apa? by: Miftah”
“Mampu menjadi imam!”
            Aku pernah menghubunginya, namun tidak pernah diangkat. Malah diberikan nomor ponsel dan disuruh menghubungi ke nomor itu. Kuberanikan menghubungi nomor ponsel yang dikirimnya via sms. Rupanya pemiliki nomor itu adalah guru spiritualnya. Ia menyebutnya ustadzah.
Heran pun bertahta. Kok, malah nyuruh hubungi orang lain. Padahal, orang tuanya masih lengkap. Tapi sudahlah, yang penting aku mah menerima segala kegiatan yang dia jalani.
Hmm… aku baru tahu ternyata Ifa mengarahkan ke arah proses ta’aruf. Sebuah proses pengenalan yang dihalalkan dalam Islam. Bagiku itu bukan masalah, yang terpenting memaksimalkan proses ta’aruf. Ternyata, syaratnya tidak berat-berat amat. Aku pun sudah menyanggupi syarat yang diajukan. Salah satunya adalah prosesi nikah dipisah antara tamu laki-laki dan perempuan.  Akhirnya, khitbah dari orang tuaku diterima oleh dia dan keluarganya. Sekarang, aku tinggal mempersiapkan rencana sebulan kedepan.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya bisa mempersunting gadis berkerudung merah jambu yang membuatku termotivasi dalam segala hal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar