Oleh: Dasnah SGI III
Sore
itu, aku seperti malas melangkahkan kaki menuju surau. Entahlah, tiba-tiba saja
kaki ini terasa berat untuk melangkah, ditambah dengan jalanku yang kini
tergopoh-gopoh bak nenek tua yang sudah tak sanggup berjalan lagi. Barangkali,
akibat berjalan dua belas kilo bersama anak-anakku. Yah, tadi pagi aku bersama
dengan seorang guru muda yang energik membawa anak-anak mengenal alam lebih
jauh. Tepatnya tafakkur alam melalui Out
Bond. Meski Out Bond yang kami lakukan tak seperti konsep out bond
sekolah-sekolah elit, namun semangat kami sepertinya melebihi mereka. Bisa
dibayangkan, beberapa bocah semestinya tak ikut dalam kegiatan itu (masih kelas
2 SD), namun karena keinginan mereka untuk merasakan perjalanan sepanjang dua
belas kilo. Mereka sampai rela kehilangan aktivitas dan lakon pagi yang biasa
mereka lakukan, ikut ke ladang bersama orang tua mereka atau turut membantu
pekerjaan rumah ibunya.
The real Out Bond, bagiku ini adalah out bond yang
sesungguhnya. Dulu, sebelum memilih mengabdikan diri untuk masyarakat
terpencil. Beberapa kali aku mengikuti out
bond dan mendampingi siswa, tak
pernah aku merasa seletih sekarang. Sebab segalanya sudah lengkap. Tinggal
dijalani, maklum sekolah elit. Namun, nikmat yang kurasa pun sungguh berbeda
dengan sekarang.
Kali
ini, out bond pertama yang kukonsep
dengan amat minimalis, hanya berbekal tekad dan keinginan melihat senyum lebar
para siswaku. Aku pun melaksanakannya. Kalau out bond identik dengan spider
web, flying fox, meniti tali, tabung bocor, dan berbagai permainan menarik
lainnya, namun kali ini, hal itu amat
jauh. Sepanjang perjalanan, anak-anakku kuarahkan untuk mengingat dan mencatat
nama benda, tumbuhan, dan ciptaan Allah yang dilaluinya. Sesampainya di lokasi out bond,
mereka pun harus menampilkan yel-yel mereka. Berbicara tentang yel-yel, aku
punya sebait cerita bersama anak-anakku.
Ah,
yel-yel, baru kali ini mereka (anak-anakku) mendengar yel-yel. Dua hari sebelum
rencana out bond, mereka kuarahkan untuk membuat yel-yel. Dengan sangat
girangnya, aku mengatakan kepada mereka, “nanti, ada pos khusus untuk yel-yel
terbaik, tahu yel-yel, kan?” Sontak anak-anakku menjawab, “Tidak, Bu!”
Sedih
rasanya melihat mereka dengan wajah bingung, mereka seakan-akan mencoba
memahami ‘istilah baru’ yang kulontarkan. Aku lupa, kalau aku sedang tidak
berhadapan dengan siswa-siswaku di kota. Aku sedikit pikun kalau anak-anakku,
kini, jauh dari teknologi dan informasi. Namun, sedih ini kembali berganti tawa
saat kumencoba menjelaskan sembari memberikan contoh. “Owhh…yang itu, namanya
yel-yel!” mereka pun serempak menjawab.
Out bond
kami benar-benar sederhana, setelah pos yel-yel, beralih ke pos dua, permainan kotak bom, dan
terakhir membawa kelereng dengan sendok di mulut. Usai permainan, siswa
diarahkan untuk memungut sampah plastik yang bertebaran di bibir pantai.
Setelah itu, bermain air dan santap siang. Terakhir, mengungkap hikmah dan
bersiap untuk kembali. Sangat sederhana bukan out bond yang kami gelar?
Bagi
anak-anakku, perjalanan dua belas kilo bukan masalah. Meski aku sendiri sudah
merasakan perih pada kaki, tetap saja aku melangkah tegak dan tak
memperlihatkan keluh pada mereka. Sebab mereka begitu antusias. Saat kutawarkan
kepada mereka untuk menaiki tumpangan jikalau sewaktu-waktu ada truk atau mobil
open cup yang lalu, mereka malah menolak, dengan lantang mereka
menjawab, “Tidak, Bu. Kami tidak mau naik kalau ibu tidak ikut naik”. Terhitung
beberapa kali kami mampir mencari buah dari tumbuhan liar yang berjejer di
pinggir jalan.
Saat
mataku mulai memandangi pohon bidara, buah berbentuk bulat kecil dengan rasa
nano-nano yang berjejer di sepanjang jalan yang kami lalui, anak-anakku pun
berseru, “Ibu, mau kami ambilkan buah rangga (sebutan khas bidara di Dompu)?”
Kaki pun mulai mencari tempat teduh di bawah pohon itu. Mereka berebut
mengambilkan untukku. Saat asyik menikmati istirahat yang hanya sejenak, rasa
haru menyergap saat terlontar kalimat dari salah seorang anakku, “kami senang
sekali, Ibu datang ke sini. Baru kali ini, kami out bond.”
Tanpa terasa perjalanan dua belas
kilo pun dapat kami lalui. Haru itu makin bertahta saat kaki mereka
mengantarkanku ke depan rumah, padahal rumah anak-anakku berlawanan arah dengan
rumah dinas yang kutemapti, kini. Dalam hati kuberbisik pelan, “Out bond sederhana ini bukan yang
terakhir, Nak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar