Jumat, 17 Agustus 2012

Out Bond Seru Versi Sederhana


Oleh: Dasnah SGI III

Sore itu, aku seperti malas melangkahkan kaki menuju surau. Entahlah, tiba-tiba saja kaki ini terasa berat untuk melangkah, ditambah dengan jalanku yang kini tergopoh-gopoh bak nenek tua yang sudah tak sanggup berjalan lagi. Barangkali, akibat berjalan dua belas kilo bersama anak-anakku. Yah, tadi pagi aku bersama dengan seorang guru muda yang energik membawa anak-anak mengenal alam lebih jauh. Tepatnya tafakkur alam melalui Out Bond. Meski Out Bond yang kami lakukan tak seperti konsep out bond sekolah-sekolah elit, namun semangat kami sepertinya melebihi mereka. Bisa dibayangkan, beberapa bocah semestinya tak ikut dalam kegiatan itu (masih kelas 2 SD), namun karena keinginan mereka untuk merasakan perjalanan sepanjang dua belas kilo. Mereka sampai rela kehilangan aktivitas dan lakon pagi yang biasa mereka lakukan, ikut ke ladang bersama orang tua mereka atau turut membantu pekerjaan rumah ibunya.
            The real Out Bond,  bagiku ini adalah out bond yang sesungguhnya. Dulu, sebelum memilih mengabdikan diri untuk masyarakat terpencil. Beberapa kali aku mengikuti out bond dan mendampingi siswa, tak pernah aku merasa seletih sekarang. Sebab segalanya sudah lengkap. Tinggal dijalani, maklum sekolah elit. Namun, nikmat yang kurasa pun sungguh berbeda dengan sekarang.
Kali ini, out bond pertama yang kukonsep dengan amat minimalis, hanya berbekal tekad dan keinginan melihat senyum lebar para siswaku. Aku pun melaksanakannya. Kalau out bond identik dengan spider web, flying fox, meniti tali, tabung bocor, dan berbagai permainan menarik lainnya, namun  kali ini, hal itu amat jauh. Sepanjang perjalanan, anak-anakku kuarahkan untuk mengingat dan mencatat nama benda, tumbuhan, dan ciptaan Allah yang dilaluinya. Sesampainya di lokasi out bond, mereka pun harus menampilkan yel-yel mereka. Berbicara tentang yel-yel, aku punya sebait cerita bersama anak-anakku.
Ah, yel-yel, baru kali ini mereka (anak-anakku) mendengar yel-yel. Dua hari sebelum rencana out bond, mereka kuarahkan untuk membuat yel-yel. Dengan sangat girangnya, aku mengatakan kepada mereka, “nanti, ada pos khusus untuk yel-yel terbaik, tahu yel-yel, kan?” Sontak anak-anakku menjawab, “Tidak, Bu!”
Sedih rasanya melihat mereka dengan wajah bingung, mereka seakan-akan mencoba memahami ‘istilah baru’ yang kulontarkan. Aku lupa, kalau aku sedang tidak berhadapan dengan siswa-siswaku di kota. Aku sedikit pikun kalau anak-anakku, kini, jauh dari teknologi dan informasi. Namun, sedih ini kembali berganti tawa saat kumencoba menjelaskan sembari memberikan contoh. “Owhh…yang itu, namanya yel-yel!” mereka pun serempak menjawab.
Out bond kami benar-benar sederhana, setelah pos yel-yel,  beralih ke pos dua, permainan kotak bom, dan terakhir membawa kelereng dengan sendok di mulut. Usai permainan, siswa diarahkan untuk memungut sampah plastik yang bertebaran di bibir pantai. Setelah itu, bermain air dan santap siang. Terakhir, mengungkap hikmah dan bersiap untuk kembali. Sangat sederhana bukan out bond yang kami gelar?
Bagi anak-anakku, perjalanan dua belas kilo bukan masalah. Meski aku sendiri sudah merasakan perih pada kaki, tetap saja aku melangkah tegak dan tak memperlihatkan keluh pada mereka. Sebab mereka begitu antusias. Saat kutawarkan kepada mereka untuk menaiki tumpangan jikalau sewaktu-waktu ada truk atau mobil open cup yang lalu, mereka malah menolak, dengan lantang mereka menjawab, “Tidak, Bu. Kami tidak mau naik kalau ibu tidak ikut naik”. Terhitung beberapa kali kami mampir mencari buah dari tumbuhan liar yang berjejer di pinggir jalan.
Saat mataku mulai memandangi pohon bidara, buah berbentuk bulat kecil dengan rasa nano-nano yang berjejer di sepanjang jalan yang kami lalui, anak-anakku pun berseru, “Ibu, mau kami ambilkan buah rangga (sebutan khas bidara di Dompu)?” Kaki pun mulai mencari tempat teduh di bawah pohon itu. Mereka berebut mengambilkan untukku. Saat asyik menikmati istirahat yang hanya sejenak, rasa haru menyergap saat terlontar kalimat dari salah seorang anakku, “kami senang sekali, Ibu datang ke sini. Baru kali ini, kami out bond.”
Tanpa terasa perjalanan dua belas kilo pun dapat kami lalui. Haru itu makin bertahta saat kaki mereka mengantarkanku ke depan rumah, padahal rumah anak-anakku berlawanan arah dengan rumah dinas yang kutemapti, kini. Dalam hati kuberbisik pelan, “Out bond sederhana ini bukan yang terakhir, Nak!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar