Oleh:
Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa)
Jumat
menjelang siang, sekolah tempatku mengabdi, SDN 15 Woja, tampak sepi. Tak ada
anak yang lalu-lalang sembari meneriakiku. Apalagi panggilan mesra dari bocah
kecil yang masih duduk di bangku kelas satu. Bocah-bocah itu biasa memelukku
dari belakang atau mengenggam tanganku dengan tiba-tiba, sedari tadi tak tampak
di pelupuk mata. Selang beberapa menit, aku baru menyadari, hari ini adalah
hari spesial, Jumat, apalagi di bulan Ramadhan. Aku hampir saja lupa akan hari
penuh ampunan ini. Pantas saja guru-guru meminta izin pulang lebih awal saat
melihatku masih asyik di ruang kelas empat bersama beberapa anak-anakku (kelas
enam) yang hendak membuat kreativitas dari kardus bekas.
Beberapa
anak-anakku terlihat girang saat memasuki ruang kelas yang beberapa bulan lalu,
mungkin enggan mereka masuki. Kini, mereka terlihat amat antusias, bahkan
hampir tiap hari mereka ingin memasukinya. Kelas itu memang memiliki tampilan
baru, beda dengan konsep kelas yang lain. Maklumlah, kelas itu, ingin aku
jadikan kelas percontohan. Dengan hiasan dinding, display, serta dilengkapi
dengan perpustakaan mini, pun lengkap dengan karpet. Wajar bila mereka ingin
berkunjung, selain bisa membaca buku, mereka pun dapat beristirahat. Namun,
sesungguhnya bukan hal itu alasan utama mereka terus berdatangan. Ada keinginan
belajar yang tinggi, pun penuh dengan motivasi. Mata mereka memancarkan hal
demikian. Mungkin ada rasa bangga yang bertahta dalam sanubari mereka. Aku
memang sengaja memantik semangat dan motivasi mereka tiap jam pelajaran bahasa
Indonesia di kelas mereka (kelas enam). Walhasil, mereka pun manggut-manggut, serta larut dalam
pembelajaran.
Aku selalu mengamati laku mereka, Rabi, Era,
Eka, dan Putri, serta Ifan, salah seorang kelas empat yang selalu setia
menemaniku pulang paling akhir. Usai jam pelajaran terakhir, saat bel pulang
berbunyi, mereka pun berlari menuju ke arah kelasku. Ucapan salam pun membahana
di ruang kelas,“Boleh, kami masuk, Bu!” pinta mereka saat mendapatiku tengah
asyik merapikan kelas, “Boleh, tapi kalau sudah memakai ruangan, dibersihkan,
ya!” Mereka pun berteriak kegirangan. Tawa mereka bukan rekayasa. Anak-anak ini
betah sekali berlama-lama di sekolah. Padahal, beberapa temannya yang lain,
sedari tadi ingin kembali ke rumah mereka. Hati kecilku kerap berbisik pelan,
“Apa yang membuat mereka betah?”
Aku
memang menjanjikan kepada mereka akan menghias kelas mereka sama seperti kelas
yang sekarang aku tempati. Namun, keasyikan yang mereka rasakan seakan-akan
membuat lupa akan jam pulang sekolah. Jika sudah berlama-lama di kelas,
biasanya aku bergumam, “Ayo, siap-siap pulang, pasti orang tua kalian
mencari-cari, nanti!”, “Tidak, Bu e, kami sudah bilang kepada ibu akan pulang
terlambat.” Dengan logat Mbojo, mereka tampak membujukku agar mereka masih
diberi waktu beberap menit lagi.
Ah,
anak-anakku ini, benar-benar sudah menikmati suasana sekolah. Mereka pun
menanti-nanti jam pelajaranku. Jika ada jam pelajaran SBK, pasti bukan sekali
atau dua kali mereka laporkan padaku. Maksudnya, sih, ingin agar aku masuk
mengisinya.
Siang
itu, matahari sudah semakin terik, kumandang adzan juga tak lama lagi akan
terdengar, mereka yang sedari tadi sibuk membungkus kardus bekas dengan kertas
metalik yang kubeli sebulan lalu, di Kota Dompu. Sama sekali tak tampak lelah
pada wajah mereka, padahal anak-anakku ini sedang berpuasa. Subhanallah, bisikku dalam hati. Di
tengah asyiknya mereka membuat hiasan untuk kelasnya sendiri, tiba-tiba salah
seorang dari mereka, Putri, melontarkan kalimat haru, “Ibu, saya ingin, sih,
seperti Ibu!” Entah di mana dan pada bagian mana aku menanamkan special moment padanya. Putri, aku tahu dia anak yang cerdas, cepat
tangkap, dia juga pernah mengutarakan cita-citanya saat mentoring di masjid. Seingatku, dia bercita-cita menjadi seorang
bidan.
Apa
mungkin, cita-cita itu sudah berganti? Saat pertanyaan itu masih berupa
lintasan pikiran. Tiba-tiba saja, Era nyeletuk,
“Katanya, kamu mau jadi bidan, kok berubah.” Dengan malu-malu, Putri pun
mengakui, “Iya, saya bercita-cita menjadi bidan, tapi…”
Aku
paham apa yang ada dalam pikiran Putri, meski kepahamanku ini masih sebatas
kemungkinan. Menurutku, anak-anakku ini belum pernah mendapatkan special moment dari guru-guru mereka
sewaktu masih berada di level bawah. Aku sadar, membangun special moment bagi siswa merupakan langkah yang mesti dilakukan
oleh guru sebab aku pun pernah menjadi seperti mereka.
Memang
sedari awal kedatanganku di dusun kecil itu,
Putri selalu saja mengikuti ke mana aku pergi, bahkan setiap kegiatan
yang aku gelar ia pasti tak ketinggalan. Pernah suatu ketika, aku menulis
kaligrafi, tiba-tiba saja terlontar kalimat, “Ibu ini serba bisa, sih!” Dalam
hati aku sempat ciut, seakan tak percaya kalau aku dikatakan serba bisa. Bukan
sekali itu, ia memujiku. Saat aku membuat gambar dengan aneka hiasan. Kalimat
itu pun kembali berulang. Kini, saat melihat kelas yang kutangani dipermak
dengan bentuk berbeda dari kelasnya, lengkap dengan kreasi dari tanganku. Tentu
saja makin membuatnya berpikir kalau guru yang baru beberapa bulan dikenalnya adalah
guru yang serba bisa. Tiba-tiba saja, aku merasa tak pantas mendengar kalimat
itu. Kembali kulanjutkan aktivitasku menemani mereka membuat hiasan untuk
kelasnya. Hanya tersenyum simpul dan sedikit girang.
Bisa
dibayangkan, seorang Putri yang tadinya bercita-cita menjadi seorang bidan,
tiba-tiba saja mengalihkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru, hanya
karena melihat gurunya serba bisa. Bukankah special
moment bagi anak-anak itu bisa
bersumber dari laku dan tingkah gurunya?
Mungkinkah
yang terbersir dalam hatinya, “Aku ingin menjadi seorang ibu guru, seperti Ibu
yang ada di hadapanku.” Kalau demikian adanya, sungguh aku tak sanggup
meninggalkan mereka. Mereka yang masih memiliki asa dan cita dalam kerangkeng.
Mereka yang masih butuh figur hingga asa itu tertancap kuat dalam dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar