Jumat, 17 Agustus 2012

Putri Ingin Seperti Ibu


Oleh: Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa)

Jumat menjelang siang, sekolah tempatku mengabdi, SDN 15 Woja, tampak sepi. Tak ada anak yang lalu-lalang sembari meneriakiku. Apalagi panggilan mesra dari bocah kecil yang masih duduk di bangku kelas satu. Bocah-bocah itu biasa memelukku dari belakang atau mengenggam tanganku dengan tiba-tiba, sedari tadi tak tampak di pelupuk mata. Selang beberapa menit, aku baru menyadari, hari ini adalah hari spesial, Jumat, apalagi di bulan Ramadhan. Aku hampir saja lupa akan hari penuh ampunan ini. Pantas saja guru-guru meminta izin pulang lebih awal saat melihatku masih asyik di ruang kelas empat bersama beberapa anak-anakku (kelas enam) yang hendak membuat kreativitas dari kardus bekas.
Beberapa anak-anakku terlihat girang saat memasuki ruang kelas yang beberapa bulan lalu, mungkin enggan mereka masuki. Kini, mereka terlihat amat antusias, bahkan hampir tiap hari mereka ingin memasukinya. Kelas itu memang memiliki tampilan baru, beda dengan konsep kelas yang lain. Maklumlah, kelas itu, ingin aku jadikan kelas percontohan. Dengan hiasan dinding, display, serta dilengkapi dengan perpustakaan mini, pun lengkap dengan karpet. Wajar bila mereka ingin berkunjung, selain bisa membaca buku, mereka pun dapat beristirahat. Namun, sesungguhnya bukan hal itu alasan utama mereka terus berdatangan. Ada keinginan belajar yang tinggi, pun penuh dengan motivasi. Mata mereka memancarkan hal demikian. Mungkin ada rasa bangga yang bertahta dalam sanubari mereka. Aku memang sengaja memantik semangat dan motivasi mereka tiap jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas mereka (kelas enam). Walhasil, mereka pun manggut-manggut, serta larut dalam pembelajaran.
 Aku selalu mengamati laku mereka, Rabi, Era, Eka, dan Putri, serta Ifan, salah seorang kelas empat yang selalu setia menemaniku pulang paling akhir. Usai jam pelajaran terakhir, saat bel pulang berbunyi, mereka pun berlari menuju ke arah kelasku. Ucapan salam pun membahana di ruang kelas,“Boleh, kami masuk, Bu!” pinta mereka saat mendapatiku tengah asyik merapikan kelas, “Boleh, tapi kalau sudah memakai ruangan, dibersihkan, ya!” Mereka pun berteriak kegirangan. Tawa mereka bukan rekayasa. Anak-anak ini betah sekali berlama-lama di sekolah. Padahal, beberapa temannya yang lain, sedari tadi ingin kembali ke rumah mereka. Hati kecilku kerap berbisik pelan, “Apa yang membuat mereka betah?”
Aku memang menjanjikan kepada mereka akan menghias kelas mereka sama seperti kelas yang sekarang aku tempati. Namun, keasyikan yang mereka rasakan seakan-akan membuat lupa akan jam pulang sekolah. Jika sudah berlama-lama di kelas, biasanya aku bergumam, “Ayo, siap-siap pulang, pasti orang tua kalian mencari-cari, nanti!”, “Tidak, Bu e, kami sudah bilang kepada ibu akan pulang terlambat.” Dengan logat Mbojo, mereka tampak membujukku agar mereka masih diberi waktu beberap menit lagi.
Ah, anak-anakku ini, benar-benar sudah menikmati suasana sekolah. Mereka pun menanti-nanti jam pelajaranku. Jika ada jam pelajaran SBK, pasti bukan sekali atau dua kali mereka laporkan padaku. Maksudnya, sih, ingin agar aku masuk mengisinya.
Siang itu, matahari sudah semakin terik, kumandang adzan juga tak lama lagi akan terdengar, mereka yang sedari tadi sibuk membungkus kardus bekas dengan kertas metalik yang kubeli sebulan lalu, di Kota Dompu. Sama sekali tak tampak lelah pada wajah mereka, padahal anak-anakku ini sedang berpuasa. Subhanallah, bisikku dalam hati. Di tengah asyiknya mereka membuat hiasan untuk kelasnya sendiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka, Putri, melontarkan kalimat haru, “Ibu, saya ingin, sih, seperti Ibu!” Entah di mana dan pada bagian mana aku menanamkan special moment padanya. Putri, aku tahu dia anak yang cerdas, cepat tangkap, dia juga pernah mengutarakan cita-citanya saat mentoring di masjid. Seingatku, dia bercita-cita menjadi seorang bidan.
Apa mungkin, cita-cita itu sudah berganti? Saat pertanyaan itu masih berupa lintasan pikiran. Tiba-tiba saja, Era nyeletuk, “Katanya, kamu mau jadi bidan, kok berubah.” Dengan malu-malu, Putri pun mengakui, “Iya, saya bercita-cita menjadi bidan, tapi…”
Aku paham apa yang ada dalam pikiran Putri, meski kepahamanku ini masih sebatas kemungkinan. Menurutku, anak-anakku ini belum pernah mendapatkan special moment dari guru-guru mereka sewaktu masih berada di level bawah. Aku sadar, membangun special moment bagi siswa merupakan langkah yang mesti dilakukan oleh guru sebab aku pun pernah menjadi seperti mereka.
Memang sedari awal kedatanganku di dusun kecil itu,  Putri selalu saja mengikuti ke mana aku pergi, bahkan setiap kegiatan yang aku gelar ia pasti tak ketinggalan. Pernah suatu ketika, aku menulis kaligrafi, tiba-tiba saja terlontar kalimat, “Ibu ini serba bisa, sih!” Dalam hati aku sempat ciut, seakan tak percaya kalau aku dikatakan serba bisa. Bukan sekali itu, ia memujiku. Saat aku membuat gambar dengan aneka hiasan. Kalimat itu pun kembali berulang. Kini, saat melihat kelas yang kutangani dipermak dengan bentuk berbeda dari kelasnya, lengkap dengan kreasi dari tanganku. Tentu saja makin membuatnya berpikir kalau guru yang baru beberapa bulan dikenalnya adalah guru yang serba bisa. Tiba-tiba saja, aku merasa tak pantas mendengar kalimat itu. Kembali kulanjutkan aktivitasku menemani mereka membuat hiasan untuk kelasnya. Hanya tersenyum simpul dan sedikit girang.
Bisa dibayangkan, seorang Putri yang tadinya bercita-cita menjadi seorang bidan, tiba-tiba saja mengalihkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru, hanya karena melihat gurunya serba bisa. Bukankah special moment bagi anak-anak itu bisa bersumber dari laku dan tingkah gurunya?
Mungkinkah yang terbersir dalam hatinya, “Aku ingin menjadi seorang ibu guru, seperti Ibu yang ada di hadapanku.” Kalau demikian adanya, sungguh aku tak sanggup meninggalkan mereka. Mereka yang masih memiliki asa dan cita dalam kerangkeng. Mereka yang masih butuh figur hingga asa itu tertancap kuat dalam dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar