Oleh: Dasnah
Ribuan
angan sesaki pikiranku. Entah mana yang akan dilirik oleh sang pengabul do’a.
Hari berlalu bagai bui diterjang angin. Terasa singkat, padahal berbulan-bulan
telah meninggalkan ibu. Senyum, tawa, dan amarahnya tak bisa terhapus dari
benak ini. Baru tahun ini aku jauh dari orang tua. Benar-benar jauh, harus
melintasi lautan jika ingin melihat senyumnya lagi. Harus mengawang dengan
merpati jika hendak membuatnya mengernyitkan kening, seraya menyebut namaku
dengan keras, pertanda amarahnya mulai tampak. Ah, jadi rindu suasana rumah.
Ibu, dia pahlawan nomor
satu dalam hidupku. Ibu memang tak terlalu bisa bercanda.
Sama sepertiku. Tapi dalam segala hal, ibuku bisa dan terampil. Malah melebihi
ayah. Ibuku pandai memperbaiki kabel listrik yang rusak. Bila ada kabel putus,
ibu ahlinya. Seperti anak teknik elektro saja.
Pun jago dalam memasak, makanya ibu selalu mencoba resep baru. Dulu saja
sempat berpikir memasukkanku di tata boga. Apalagi, ya? Kalau soal
jahit-menjahit, ibuku tersohor dengan keahlian itu. Sampai-sampai orang-orang
dari lintas kecamatan berdatangan di rumah untuk merasakan hasil jahitan ibu.
Hasilnya tak pernah mengecewakan, itu kata orang.
Aku
juga sempat ingin mengikuti jejaknya untuk terampil menjahit. Maksudnya sih
untuk dijadikan keterampilan eksklusif (khusus untuk suami dan anak-anakku
kelak). Tapi, kata ibu, bila aku ingin pandai menjahit, butuh keahlian
analitis. Ah, macam peneliti saja, pikirku. Ukuran badan seseorang punya rumus.
Ada teknik tersendiri bila ingin menghasilkan jahitan yang sempurna. Wah, repot
juga, aku kan tidak suka berhubungan dengan angka. Aku lebih suka menulis.
Lebih suka berbicara.
Ibu, dia adalah
pahlawan nomor satu dalam hidupku. Masih ada banyak hal
yang membuatku kagum padanya. Kreatif, yah, ibuku kreatif. Kain-kain perca bisa
disulap jadi barang yang bermanfaat. Bila Anda salah seorang pelanggan jahitan
ibu, maka kain sisa Anda takkan terbuang begitu saja. Apalagi bila Anda punya
anak kecil. Kain sisa itu akan dibuatkan baju serupa untuk anak kecil Anda.
Atau malah akan dibuat dompet imut dari kain perca itu. Maaf, bukan promosi
tetapi memang kenyataan. Dulu, aku juga pernah merasakan bagaimana kreatifnya
ibu memodifikasi jilbabku yang bolong tak karuan gara-gara tikus. Ibu
menempelkan kain yang serupa dan menambahkan dengan variasi lebih menarik dari
sebelumnya. Walhasil, jilbab itu menjadi serasi denga bajuku yang kebetulan
memiliki variasi yang sama. Ketika aku
mengenakannya, teman-temanku pasti berkata, “cantik sekali bajumu, serasi
dengan jilbab, beli di mana?” “Ah, ini jahitan ibuku”, jawabku. Saking kreatifnya
ibu menekuni bidangnya itu, ibu pernah menjahit celana tidur, baju potongan
untukku dari kain sisa dengan menggunakan tangan, tanpa mesin jahit. Tadinya
aku tak percaya kalau jahitan itu manual. Habis, hasilnya rapi, tak terlihat
kalau itu jahitan tangan.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu
dalam hidupku. Aha, ibuku punya minat bisnis yang bagus. Dia pernah
mengelilingi papua untuk berbisnis. Tentu saja, ibu berbisnis tak jauh dari keahliannya,
memasak dan menjahit. Emang, sampai di Irian dan Papua pun banyak yang menyukai
hasil jahitannya. Kalau ibu punya jiwa petualang dan pantang menyerah. Maka,
aku yakin kedua hal itu menurun padaku. Aku selalu siap menerima tantangan. Tak
mudah menyerah, sebab tekad selalu aku tanamkan sebelum bertindak. Jika aku pun
dijuluki kreatif dan serba bisa oleh anak-anakku di pelosok, maka aku pun
percaya kalau bakat itu turunan ibu. Tapi, bagiku tentu ibuku lebih kreatif.
Ibu, dia adalah
pahlawan nomor satu dalam hidupku. Anda tahu? Berkat
ibuku aku bisa melewati segala rintangan. Kelu-kesah selalu kusambut dengan
baik, semua terinspirasi dari ibu. Ibu pernah sukses dalam bisnis dagang,
kemudian ia jatuh dan terpuruk. Tetapi, ia bisa bangkit. Saat itulah aku merasa
sangat kecil di matanya.
Dulu,
waktu masih mengenyam bangku kuliah, aku amat berat untuk mengatakan ini dan
itu pada ibu. Sebab aku tahu, masa-masa itu sangat sulit baginya. Makanya, aku
berusaha mengejar berbagai beasiswa untuk tetap survive dalam kuliah. Tiga kategori beasiswa pun kuraih. Yah,
pandangan orang mungkin berbeda, menganggap keluargaku mampu, tetapi ibuku
benar-benar jatuh. Bisnis tak berjalan lancar, modal pun habis. Aku bahkan
sering meneteskan air mata sembari membayangakan wajahnya. Makanya, aku
bertekad menjadi yang terbaik di setiap kesempatan untuk membuktikan pada ibu
bahwa anaknya juga bisa diandalkan.
Tentu
tak mudah untuk menjadi yang terbaik, kualitas diri menentukan predikat itu.
Tetapi untuk mewujudkan hal itu, aku cukup membayangkan ibu, meminta do’a dan
restunya, maka aral terasa ringan untuk dilalui. Aku pernah merasakan sia-sia
saja menjadi yang terbaik sebab ibuku takkan mungkin melirik hal itu. Ibuku tak
mengerti akan hal itu, ia bukan seorang yang berpendidikan tinggi. Kompetisi
dan prestasi baginya tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah bekal
keterampilan yang mumpuni. Ah, rasanya aku ingin mengenang masa bangku sekolah
dan kuliah. Aku pernah mendapat dua sertikat penghargaan dari sekolah (MAN),
juga pernah meraih juara 1 pidato bahasa Arab, pun terpilih sebagai moderator
dengan 3 bahasa bersama dua rekanku yang lain. Di perguruan tinggi aku menjadi
yang terbaik, tetapi ibu tak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar
biasa. Dari pengalaman itu, aku belajar memahami bahwa yang diinginkan ibuku
bukanlah prestasi yang cemerlang, melainkan bukti real di lapangan. Dari hal itu, aku juga belajar mengerjakan segala
hal tanpa mengejar apa pun.
Kini,
Ramadhan pertama tanpa ibu. Aku tengah menempuh pendidikan di kampus alam,
kampus tempat orang-orang ditempa dengan pelajaran hidup di lingkungan sekitar.
Di sampingku tak ada ibu yang jago teknik elektro, yang apabila lampu dan kabel
listrikku rusak akan diperbaikinya. Tak
ada ibu yang jago masak, yang bila aku lapar akan memasakkan makanan
kesukaanku, tak ada ibu yang pandai jahit, yang bila pakaianku robek akan
dipermak olehnya. Namun, satu yang tak lekang dan akan terus menemaniku, inspirasi darinya. Aku pun yakin,
do’a-do’anya terus mengalir untukku sebab aku bisa merasakannya. Terasa ringan
beban ini bila telah membayangkan wajahnya. Ibu, kau pahlawan nomor satu bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar