Oleh: Dasnah
Kalau
saja ada penghargaan untuk wanita tak takut pertu
alias perawan tua di dusun itu, tak akan ada yang mengelak bahwa gadis bertubuh
tinggi semampai dengan balutan kerudung bak mencekik leher itulah jawaban
paling tepat. Seisi dusun heran melihatnya tak kunjung menerima jejeran
pinangan lelaki yang antre untuk menjadi pasangan hidupnya. Ibu-ibu serta
gadis-gadis di tempatnya bahkan sudah heboh membicarakannya. Padahal usianya
tak lama lagi genap tiga puluh. Sepertinya penting untuk mengungkap mengapa ia
pantas dijuluki wanita tak takut pertu.
Seperti
cerita di awal, ada banyak lelaki hendak menyuntingnya. Ia memang kembang desa
yang selalu jadi buah bibir bagi lelaki. Tere, pernah dilamar oleh duda terkaya
di dusunnya. Kalau saja ia memutuskan menerima pinangan duda itu, tak akan ada
yang menandingi starata sosialnya. Sayang, Juraidin bukan tipe yang dicari oleh
Tere. Apalagi dia sudah berekor lima. Tentu ia tak ingin menghabiskan hidupnya
mengasuh bocah yang tidak brojol dari rahimnya sendiri. Lelaki pertama
ditolaknya. Lantas bagaimana dengan lelaki kedua? Delo seorang sarjana sosial,
lelaki tertampan di dusunnya. Puluhan gadis pernah ditolaknya hanya untuk
mendapatkan hati Tere. Setelah lulus dari kuliah, ia nekat bertandang ke rumah
Tere dengan modal sarjana tanpa pekerjaan bermaksud meminangnya. Terang saja ia
ditolak mentah-mentah. Meskipun sudah sarjana, tetapi bila tak juga punya
kerjaan belum pantas dikatakan mapan. Lagi-lagi, ia membuang kesempatan kedua.
Ketiga, Mejo pemuda dengan julukan tuan tanah. Tak ada yang menandingi luas
tanahnya. Sekali pun ada Juraidin duda terkaya, namun tanahnya tak sebanyak
Mejo. Malang nian nasibnya, ditolak lantaran warna kulitnya yang hampir
menyamai kopi tubruk. Lelaki keempat yang hendak mempersuntingnya adalah Badar,
seorang anggota POLRI dari dusun tetangga. Apes, Tere paling benci dengan
pemuda yang berprofesi POLRI, lantaran ia pernah kena tilang dan digombal abis.
Sejak saat itu ia bersumpah tak akan mau berurusan dengan anggota POLRI. Meski
tak semua anggota POLRI demikian, namun ibarat pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Masih ada enam lelaki
lagi yang sepertinya tak perlu disebutkan, yang pasti mereka itu belum sempat
menginjak pekarangan rumah Tere, kemudian mengurungkan niat lantaran mendengar
cerita dari warga bahwa sudah banyak lelaki yang datang padanya, namun tak satu
pun diterimanya. Entah lelaki macam apa yang ada dalam benaknya. Semua jenis
lelaki terkesima padanya. Namun, tak sedikit pun ia berikan harapan.
Hanya
ada satu lelaki yang tak pernah berani mengarahkan pandangan bila Tere lalu di
hadapannya. Lelaki itu bernama Fadli, tetangga dekat Tere. Tak ada rumah yang
mengapit di antara rumah mereka. Pemuda itu sarjana agama, sehari-hari ia
mengajar anak-anak ngaji. Bahkan ia
sering jadi imam di masjid. Memang, dia agak pendiam. Apalagi dengan wanita, ia
mana mau menatapnya. Bukan muhrim katanya. Itu pendapatnya saat ditanyai oleh
salah seorang warga yang selalu memperhatikan lakonnya bila berpapasan dengan
lawan jenisnya. Pasti ia menunduk.
***
Memang,
Tere gadis dengan gengsi tinggi, sarjana akuntansi, pun bekerja di kantor
pajak. Ia juga dari keluarga yang mumpuni. Empat saudara laki-lakinya bekerja
di tempat yang cukup membuat prestise keluarganya mengawang. Dua saudaranya dosen, seorang guru, dan
seorang lagi dokter gigi. Apalagi yang membuatnya susah. Tak ada. Mungkin itu
pula sebabnya ia tak takut menjadi pertu. Namun, di usianya yang
mendekati ambang warning. Tentu
membuat keluarganya risih, apalagi nenek
yang mengasuhnya sejak kecil. Seribu kali lebih cerewet dalam menghadapinya.
Suatu
ketika sepulang dari kantor, saat ia
tengah bersantai di teras rumahnya, tiba-tiba saja neneknya (Rakiba)
melontarkan perkataan yang membuatnya naik pitam.
“Nenek akan menjodohkanmu dengan seorang
pemuda berpendidikan lulusan Al-Azhar Kairo!”
Sedari
dulu nenek Rakiba memang sudah kepincut dengan anak Rukaya, ponakannya sendiri.
Apalagi, Rukaya sendiri yang datang menghampiri nenek Rakiba dan menyatakan
niatnya untuk menjodohkan Fahmi dengan Tere.
Namun, karena dulu Fahmi masih menempuh S2 di Kairo, yah diundurlah
perjodohan itu hingga kuliah S2 Fahmi selesai. Kini, Fahmi telah meraih gelar
S2. Tentu saja, nenek Rakiba tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu untuk
cucunya.
“Ini
bukan zaman Siti Nurbaya, Nek!”
“Lantas
sampai kapan kamu akan menolak setiap lelaki yang berniat baik padamu?”
“Sampai
ada yang srek di hatiku, Nek!”
“Bukan
kali pertama kaumengucapkan itu, Tere.”
“Kali
ini, kauharus menurut!” tegas neneknya yang terlihat kesal.
“Nanti
juga akan ada yang datang,” ucapnya amat yakin.
“Akan
ada yang datang? Setelah kaumenolak sepuluh lelaki tak akan ada lagi yang
berani menghampirimu” terang nenek Rakiba sembari menatap tajam pada cucunya.
“Apa
kautidak malu dengan usiamu yang sebentar lagi genap tiga puluh tahun?” tambah
neneknya makin kesal.
Ia menyembur habis neneknya dengan kata-kata
kasar. Nenek Rakibah bungkam dengan
ocehan cucunya. Jantungnya bak tertusuk-tusuk hingga hampir membuatnya sesak
dan tersungkur. Baru kali ini ia terlihat amat kesal dengan permintaan
neneknya. Apa karena ia memang khawatir dengan usianya yang hampir tiga puluh
tahun? Entahlah. Atau bisa saja karena perjodohan yang tak diinginkannya.
“Aku
tak mau dijodohkan!” kalimat terakhir yang dilontarkannya sembari berlari
meninggalkan teras rumah menuju kamarnya.
Cukup
berani baginya menolak perjodohan itu di usianya yang sudah terbilang telat
untuk menikah. Padahal, lelaki yang ditunjuk oleh neneknya sudah sangat bagus.
Kuliah di Al-Azhar, Kairo, S2 pula.
Benar-benar
tak akan ada yang mau lagi padanya, bila ia menolak perjodohan itu. Bila saja
warga dusun mendengar kabar ini, maka dalam waktu sehari saja sudah akan
tersebar. Tahu sendirilah, bagaimana gosip di kampung-kampung cepat tersebar
luas. Angin ghibah sangat tajam mengintai.
***
Masih
ingatkah dengan pemuda yang tak lain tetangga Tere sendiri? Fadli, lelaki yang
tak berani menatap wanita bila ia menjumpainya. Rupanya, usai adu pendapat
dengan sang nenek, dalam tangisnya, ia
mengelukan lelaki seperti Fadli. Lelaki yang tak membelalak hanya karena paras
cantik. Yang tak tergoda dengan tubuh semampai. Tak lena dengan materi. Semua
ciri-ciri itu ada pada pemuda yang bersebelahan rumah dengannya. Mungkinkah, ia
berharap pemuda itu berani mendatangi halaman rumahnya, sama seperti keempat
lelaki yang ditolaknya? Tiba-tiba, ia dikatetgkan dengan suara nenek Rakiba
yang ternyata menyusulnya ke kamar.
“Ini,
pakaian yang nenek pilihkan untukmu!” diletakkannya kotak berisi pakaian yang
baru saja nenek Rakiba pilihkan untuk cucunya.
“Apa
maksud Nenek memberikanku ini?” sisa-sisa tangis yang membuat lajur di pipinya
seakan membuat lajur baru. Sepertinya, ia tahu maksud nenek Rakiba
membelikannya baju.
“Besok,
keluarga bibimu, Rukaya dan anaknya akan datang ke rumah, nenek harap kamu
memakai pakaian itu!”
Pakaian
yang biasa membalut tubuhnya memang agak kecil. Bahkan ia masih megenakan jeans sesekali. Sementara, calon yang dipilihkan oleh
neneknya adalah lulusan Kairo. Tentunya harus lebih islami. Pintar juga nenek
Rakiba, memilihkan baju agak longgar dan kerudung yang tak lagi melilit
lehernya.
“Tidak
mau, Nek!” sambil membuang baju pemberian neneknya.
“Tak
usah lagi kaumembantah, jangan mempermalukan nenek di hadapan bibimu!”
Kali
ini nenek Rakiba amat serius dengan tindakannya. Wajar bila ia sangat
menghawatirkan cucu perempuan satu-satunya. Sebab Tere juga punya keturunan
bibi yang jadi perawan tua seumur hidup karena menolak banyak lelaki. Nenek
Rakiba pun sering mengingatkannya akan hal itu. Bagi Nenek Rakiba hal itu
adalah cela yang akan menurun pada
keluarga yang ada anak gadisnya.
“Tak
ada lelaki dalam hidupmu, apa kaumau jadi wanita perawan tua seumur hidup.
Jangan tunggu nenek ditimbun tanah baru kaumenyesali diri!”
Kali
ini, ia bungkam dengan kalimat yang barusan terlontar dari neneknya. Sesaat ia
tak bergeming. Air matanya mengalir deras. Baju yang dibuangnya tadi, kembali
diambil dengan pelan. Bagaimana ia bisa amat yakin kalau masih ada lelaki yang
akan datang setelah penolakannya pada lelaki yang sudah tergolong pemecah
rekor. Apatah lagi ia sempat mengingat perkataan neneknya bahwa ia punya
keturunan perawan tua. Kali ini, ia benar-benar harus menelan liur untuk
berharap pada tetangga yang diam-diam diidolakannya. Jodoh di tangan nenek.
Bukan karena otoriter, melainkan kekhawatiran pada cucu satu-satunya.
(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar