Jumat, 17 Agustus 2012

Jodoh di Ambang Tiga Puluh


Oleh:  Dasnah
Kalau saja ada penghargaan untuk wanita tak takut pertu alias perawan tua di dusun itu, tak akan ada yang mengelak bahwa gadis bertubuh tinggi semampai dengan balutan kerudung bak mencekik leher itulah jawaban paling tepat. Seisi dusun heran melihatnya tak kunjung menerima jejeran pinangan lelaki yang antre untuk menjadi pasangan hidupnya. Ibu-ibu serta gadis-gadis di tempatnya bahkan sudah heboh membicarakannya. Padahal usianya tak lama lagi genap tiga puluh. Sepertinya penting untuk mengungkap mengapa ia pantas dijuluki wanita tak takut pertu.
Seperti cerita di awal, ada banyak lelaki hendak menyuntingnya. Ia memang kembang desa yang selalu jadi buah bibir bagi lelaki. Tere, pernah dilamar oleh duda terkaya di dusunnya. Kalau saja ia memutuskan menerima pinangan duda itu, tak akan ada yang menandingi starata sosialnya. Sayang, Juraidin bukan tipe yang dicari oleh Tere. Apalagi dia sudah berekor lima. Tentu ia tak ingin menghabiskan hidupnya mengasuh bocah yang tidak brojol dari rahimnya sendiri. Lelaki pertama ditolaknya. Lantas bagaimana dengan lelaki kedua? Delo seorang sarjana sosial, lelaki tertampan di dusunnya. Puluhan gadis pernah ditolaknya hanya untuk mendapatkan hati Tere. Setelah lulus dari kuliah, ia nekat bertandang ke rumah Tere dengan modal sarjana tanpa pekerjaan bermaksud meminangnya. Terang saja ia ditolak mentah-mentah. Meskipun sudah sarjana, tetapi bila tak juga punya kerjaan belum pantas dikatakan mapan. Lagi-lagi, ia membuang kesempatan kedua. Ketiga, Mejo pemuda dengan julukan tuan tanah. Tak ada yang menandingi luas tanahnya. Sekali pun ada Juraidin duda terkaya, namun tanahnya tak sebanyak Mejo. Malang nian nasibnya, ditolak lantaran warna kulitnya yang hampir menyamai kopi tubruk. Lelaki keempat yang hendak mempersuntingnya adalah Badar, seorang anggota POLRI dari dusun tetangga. Apes, Tere paling benci dengan pemuda yang berprofesi POLRI, lantaran ia pernah kena tilang dan digombal abis. Sejak saat itu ia bersumpah tak akan mau berurusan dengan anggota POLRI. Meski tak semua anggota POLRI demikian, namun ibarat pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Masih ada enam lelaki lagi yang sepertinya tak perlu disebutkan, yang pasti mereka itu belum sempat menginjak pekarangan rumah Tere, kemudian mengurungkan niat lantaran mendengar cerita dari warga bahwa sudah banyak lelaki yang datang padanya, namun tak satu pun diterimanya. Entah lelaki macam apa yang ada dalam benaknya. Semua jenis lelaki terkesima padanya. Namun, tak sedikit pun ia berikan harapan.
Hanya ada satu lelaki yang tak pernah berani mengarahkan pandangan bila Tere lalu di hadapannya. Lelaki itu bernama Fadli, tetangga dekat Tere. Tak ada rumah yang mengapit di antara rumah mereka. Pemuda itu sarjana agama, sehari-hari ia mengajar anak-anak ngaji. Bahkan ia sering jadi imam di masjid. Memang, dia agak pendiam. Apalagi dengan wanita, ia mana mau menatapnya. Bukan muhrim katanya. Itu pendapatnya saat ditanyai oleh salah seorang warga yang selalu memperhatikan lakonnya bila berpapasan dengan lawan jenisnya. Pasti ia menunduk.
***
Memang, Tere gadis dengan gengsi tinggi, sarjana akuntansi, pun bekerja di kantor pajak. Ia juga dari keluarga yang mumpuni. Empat saudara laki-lakinya bekerja di tempat yang cukup membuat prestise keluarganya mengawang.  Dua saudaranya dosen, seorang guru, dan seorang lagi dokter gigi. Apalagi yang membuatnya susah. Tak ada. Mungkin itu pula sebabnya ia tak takut menjadi pertu. Namun, di usianya yang mendekati ambang warning. Tentu membuat keluarganya risih, apalagi  nenek yang mengasuhnya sejak kecil. Seribu kali lebih cerewet dalam menghadapinya.
Suatu ketika sepulang  dari kantor, saat ia tengah bersantai di teras rumahnya, tiba-tiba saja neneknya (Rakiba) melontarkan perkataan yang membuatnya naik pitam.
 “Nenek akan menjodohkanmu dengan seorang pemuda berpendidikan lulusan Al-Azhar Kairo!”
Sedari dulu nenek Rakiba memang sudah kepincut dengan anak Rukaya, ponakannya sendiri. Apalagi, Rukaya sendiri yang datang menghampiri nenek Rakiba dan menyatakan niatnya untuk menjodohkan Fahmi dengan Tere.  Namun, karena dulu Fahmi masih menempuh S2 di Kairo, yah diundurlah perjodohan itu hingga kuliah S2 Fahmi selesai. Kini, Fahmi telah meraih gelar S2. Tentu saja, nenek Rakiba tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu untuk cucunya.
“Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Nek!”
“Lantas sampai kapan kamu akan menolak setiap lelaki yang berniat baik padamu?”
“Sampai ada yang srek di hatiku, Nek!”
“Bukan kali pertama kaumengucapkan itu, Tere.”
“Kali ini, kauharus menurut!” tegas neneknya yang terlihat kesal.
“Nanti juga akan ada yang datang,” ucapnya amat yakin.
“Akan ada yang datang? Setelah kaumenolak sepuluh lelaki tak akan ada lagi yang berani menghampirimu” terang nenek Rakiba sembari menatap tajam pada cucunya.
“Apa kautidak malu dengan usiamu yang sebentar lagi genap tiga puluh tahun?” tambah neneknya makin kesal.
 Ia menyembur habis neneknya dengan kata-kata kasar. Nenek Rakibah bungkam dengan ocehan cucunya. Jantungnya bak tertusuk-tusuk hingga hampir membuatnya sesak dan tersungkur. Baru kali ini ia terlihat amat kesal dengan permintaan neneknya. Apa karena ia memang khawatir dengan usianya yang hampir tiga puluh tahun? Entahlah. Atau bisa saja karena perjodohan yang tak diinginkannya.
“Aku tak mau dijodohkan!” kalimat terakhir yang dilontarkannya sembari berlari meninggalkan teras rumah menuju kamarnya.
Cukup berani baginya menolak perjodohan itu di usianya yang sudah terbilang telat untuk menikah. Padahal, lelaki yang ditunjuk oleh neneknya sudah sangat bagus. Kuliah di Al-Azhar, Kairo, S2 pula.
Benar-benar tak akan ada yang mau lagi padanya, bila ia menolak perjodohan itu. Bila saja warga dusun mendengar kabar ini, maka dalam waktu sehari saja sudah akan tersebar. Tahu sendirilah, bagaimana gosip di kampung-kampung cepat tersebar luas. Angin ghibah sangat tajam mengintai.
***
Masih ingatkah dengan pemuda yang tak lain tetangga Tere sendiri? Fadli, lelaki yang tak berani menatap wanita bila ia menjumpainya. Rupanya, usai adu pendapat dengan sang nenek,  dalam tangisnya, ia mengelukan lelaki seperti Fadli. Lelaki yang tak membelalak hanya karena paras cantik. Yang tak tergoda dengan tubuh semampai. Tak lena dengan materi. Semua ciri-ciri itu ada pada pemuda yang bersebelahan rumah dengannya. Mungkinkah, ia berharap pemuda itu berani mendatangi halaman rumahnya, sama seperti keempat lelaki yang ditolaknya? Tiba-tiba, ia dikatetgkan dengan suara nenek Rakiba yang ternyata menyusulnya ke kamar.
“Ini, pakaian yang nenek pilihkan untukmu!” diletakkannya kotak berisi pakaian yang baru saja nenek Rakiba pilihkan untuk cucunya.
“Apa maksud Nenek memberikanku ini?” sisa-sisa tangis yang membuat lajur di pipinya seakan membuat lajur baru. Sepertinya, ia tahu maksud nenek Rakiba membelikannya baju.
“Besok, keluarga bibimu, Rukaya dan anaknya akan datang ke rumah, nenek harap kamu memakai pakaian itu!”
Pakaian yang biasa membalut tubuhnya memang agak kecil. Bahkan ia masih megenakan jeans sesekali.  Sementara, calon yang dipilihkan oleh neneknya adalah lulusan Kairo. Tentunya harus lebih islami. Pintar juga nenek Rakiba, memilihkan baju agak longgar dan kerudung yang tak lagi melilit lehernya.
“Tidak mau, Nek!” sambil membuang baju pemberian neneknya.
“Tak usah lagi kaumembantah, jangan mempermalukan nenek di hadapan bibimu!”
Kali ini nenek Rakiba amat serius dengan tindakannya. Wajar bila ia sangat menghawatirkan cucu perempuan satu-satunya. Sebab Tere juga punya keturunan bibi yang jadi perawan tua seumur hidup karena menolak banyak lelaki. Nenek Rakiba pun sering mengingatkannya akan hal itu. Bagi Nenek Rakiba hal itu adalah cela yang akan menurun  pada keluarga yang ada anak gadisnya.
“Tak ada lelaki dalam hidupmu, apa kaumau jadi wanita perawan tua seumur hidup. Jangan tunggu nenek ditimbun tanah baru kaumenyesali diri!”
Kali ini, ia bungkam dengan kalimat yang barusan terlontar dari neneknya. Sesaat ia tak bergeming. Air matanya mengalir deras. Baju yang dibuangnya tadi, kembali diambil dengan pelan. Bagaimana ia bisa amat yakin kalau masih ada lelaki yang akan datang setelah penolakannya pada lelaki yang sudah tergolong pemecah rekor. Apatah lagi ia sempat mengingat perkataan neneknya bahwa ia punya keturunan perawan tua. Kali ini, ia benar-benar harus menelan liur untuk berharap pada tetangga yang diam-diam diidolakannya. Jodoh di tangan nenek. Bukan karena otoriter, melainkan kekhawatiran pada cucu satu-satunya.
(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar