Oleh:
Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa_DOMPU)
Andai waktu itu aku tak bertemu dengannya. Mungkin
aku sudah jatuh pada kubangan hina. Beruntung juga aku punya banyak kenalan.
Sekarang aku bahkan tak mampu mengucap kata selain terima kasih. Dia sosok yang
menjadi inspirasiku. Gadis itu adalah dewi fortuna bagiku. Awal perkenalanku
dengannya, sungguh tak sedetik pun dapat terlupakan. Aktivis sepertinya masih
sempat memperhatikan hal kecil yang sudah dianggap angin lalu bagi kebanyakan
orang.
Hembusan
angin yang mempertemukan langkahku dengannya. Pembungkus permen yang terbawa
sepoi angin saat tenggorokanku gatal ingin mengunyah sebungkus permen. Seolah
menjadi penuntun bagiku bersua dengan gadis anggun itu. Pertama memang buatku
risih dengaan tingkahnya yang selalu melototi aksiku. Dengan gaya tak bersalah
aku pun tak menghiraukannya. Memang tidak ada yang aneh dari diriku, pikirku.
Tingkahnya yang membuatku keki membawa
beribu alasan bagiku untuk menebak isi hatinya. Gagah, tampan, atau apalah,
mungkin itu yang ada di dalam pikirannya. Tapi, kalau memang dia berpikir
demikian, kok tidak memandangku dengan tatapan lembut, malah sinis. Apa karena
cara berpakaian atau…? Ah, jadi makin penasaran.
Siapa
yang tak penasaran, secara dia adalah gadis anggun yang tak sedikit pun
menampakkan auratnya. Tapi memelototiku sesekali. Ah, kutepis rasa yang tak
selaras. Kok aku kegeeran begini, ya. Mencoba untuk menepis rasa aneh yang kian
menjadi. Segera kutinggalkan halte tempatku berdiri menunggu angkot yang lewat.
Pembungkus
permen yang sedari tadi kumainkan, ternyata menjadi jawaban dari ribuan
pertanyaan yang bersarang di benak ini. Hanya menghitung detik dari tempatku
beranjak. Gadis itu menggantikan posisiku. Lalu diambilnya pembungkus permen
yang telah kubuang. Kuperhatikan sekali lagi, entah aksi apa yang akan
dilakoninya. Ternyata, ia tak mendapatkan tong sampah, dia lalu memasukkan
pembungkus permen itu ke dalam ransel hijau yang dibawanya. Rupanya, dia seorang
pecinta lingkungan. Bukan gadis biasa, pikirku. Meski aku sering melihat gadis sepertinya
di kampus, namun yang satu ini betul-betul membuatku terkagum-kagum.
Teman-temanku memang tak banyak yang bergaya sepertinya.
“Hei,
kok bengong saja!” tepukan Heru mengagetkanku.
“Eh,
kamu, ada apa?”
“Yeee,
bertanya ada apa. Aku menunggu sampai kering kerontang, kamu tidak
datang-datang!”
“Astaghfirullah…aku lupa kalau ada janji
denganmu”.
Sore
itu, aku seolah tersihir oleh gadis berjilbab itu. Janji dengan teman pun aku lupakan. Cemen banget. Masa sih,
jagoan kampus sepertiku memikirkan gadis yang sama sekali tak membuat lelaki
berbalik ke arahnya jika berlalu. Jauh dari kata ‘seksi’ dibanding kebanyakan
perempuan. Pakaiannya tertutup. Tetapi juga tak membuat orang melihatnya
sebagai sosok yang menakutkan. Sederhana dan cantik. Satu kata yang paling
cocok untuknya ‘anggun’.
“Pasti,
memikirkan pacar-pacar kamu,” Heru kembali menyela.
“Pacar-pacar?”
dengan nada keheranan.
“Oh,
jadi kamu amnesia juga tentang itu?” tanyanya seakan tak percaya dengan
komentarku.
Heru, memang tak begitu tahu dengan kondisiku
yang jomblo. Semua pacarku sudah kuputuskan. Vina, Vivit, dan Sisi. Bagiku
mereka tak lebih hanyalah teman biasa. Mereka saja yang kegenitan,
mengaku-ngaku sebagai pacarku. Ya, aku iyakan saja. Sekedar mengobati dan
membahagiakan kaum Hawa yang tergila-gila kepadaku. Kok, aku narsis gini ya.
Ah, sudahlah.
“Kalau
kamu tidak percaya, ya sudah!” aku mencoba meyakinkannya.
“Tapi
tidak ada target baru, kan?” kembali tak percaya padaku.
“Iya,
aku mau serius belajar.”
“Apa?
Kamu kena angin apa?”
“Kok, heran
begitu. Ini permintaan ibuku. Harus selesai tahun ini,” jelasku.
“Haha…”
tawanya membahana.
Selama ini terlalu sering aku
mengacuhkan permintaan ibu. Sudah hampir enam tahun aku bergelut dan melanglang
buana di kampus. Namun, hingga kini gelar sarjana tak kunjung kusandang di
akhir namaku. Nilai-nilaiku memang bagus, namun banyak juga yang tunda. Harus
kurampungkan.
“Aku
juga berencana mengundurkan diri dari senat!” tambahku.
“Woi…sadar
bung, dari tadi ngelantur terus!” Heru makin berpikir bahwa aku tak serius.
“Iya,
keputusan ini sudah melalui proses panjang”
“Panjang
bagaimana? Anak-anak belum tahu dan ini sangat sepihak!” mencoba meyakinkanku.
“Aku
sudah disidang oleh ayah-ibuku”.
“Aku
juga sudah istikhara dan jawaban yang kudapat adalah keputusan ini” terangku.
Biarpun aktivis dan agak preman, aku
tetap menjalankan kewajiban sebagai muslim. Yah, termasuk mengambil keputusan
dengan jalan istikhara. Itu cara islami. Kata guru fiqihku waktu masih di
pesantren. Masa kepengurusanku di kampus masih lama. Sudah tiga periode aku
menjabat sebagai ketua. Bila tak kutanggalkan, maka akan menghambat kuliah dan
secara otomatis gelar sarjana teknik
alias S.T. tak bisa kuraih tahun ini.
Sejak
pertemuanku dengan gadis itu, hatiku tersentuh. Kebersihan lingkungan menjadi
kewajiban bersama. Itu sudah diajarkan sejak aku duduk di SD kelas 1, tetapi rasanya aku diingatkan beberapa
menit yang lalu oleh seorang gadis yang sama sekali tak mengucapkan sepatah
kata pun kepadaku, namun mampu memberi efek seperti ini kepadaku.
Saat
keputusan sudah bulat untuk mengundurkan diri. Tiba-tiba, aku teringat dengan
sosok gadis yang kutemui beberapa hari lalu. Wajahnya tak asing bagiku. Seperti
sudah pernah bertemu, tapi entah di mana.
Kulihat sosok yang mirip dengannya.
Yakin seratus persen, itu dia. Barulah aku sadar ternyata dia adalah Duta Lingkungan
Hidup dari kampusku. Pantas saja waktu itu, dia geram menatapku membuang sampah
sembarangan. Tatapan sinis gadis manis berkerudung merah jambu itu tak akan
terlupakan. Kami dipertemukan dalam sebuah rapat yang diwakili oleh seorang
mahasiswa dari tiap jurusan. Memang baru kali pertama ada rapat seperti ini.
Rektor yang baru menjabat di kampus kami ingin merangkul semua aktivis kampus
dari berbagai jurusan untuk mendukung salah satu programnya menjadikan
mahasiswa sebagai social control dalam kampus, bukan sebaliknya. Itu
berarti mahasiswa terlibat secara langsung untuk tiap masalah yang ada di
kampus. Meski kita tahu, itu memang fungsi mahasiswa. Sekedar memperjelas saja
kali ya atau mungkin saja Pak Rektor capek melihat berita di media masa seputar
mahasiswa yang sering demo dengan jalan merusak dan merugikan orang lain. Atau
bisa saja sekedar cari muka saja. Tetapi, entahlah, semoga semua ini tak sesuai
dengan pikiranku.
Usai
rapat, masih saja aku memikirkannya. Jadi ingin mengurungkan niat untuk mundur
dari jabatan ketua. Tetapi bagaimana
dengan ayah-ibu, pikirku. Tiba-tiba pikiran ini mengawang, teringat dengan
gadis anggun yang kerap muncul dalam benak ini. Rapat dengan lintas jurusan beberapa
hari lalu membuatku mengenal namanya. Ifa nama gadis itu. Lengkapnya aku tak
tahu. Ia bisa sukses di akademik namun kegiatan ekstranya juga jalan terus.
Manajemen waktunya pasti bagus.
Kalau
Ifa bisa
mendapat prestasi dengan puluhan schedule
per hari, mengapa aku tidak bisa? Aku makin tertantang untuk membuktikan bahwa
aktivis pun bisa berprestasi.
Kuberanikan diri menghadap ayah-ibu
untuk membahas tentang aku yang masih tetap ingin berorganisasi dan akan
kubuktikan dengan gelar S.T. predikat cummlaude.
Banyak hal yang menjadikan aku tertantang dengan gadis bernama Ifa itu. Dia
seorang gadis dan aktivis, tetapi bisa berkeliling Indonesia bahkan ke luar
negeri dengan kecerdasannya. Beasiswa yang pernah diraihnya sangat banyak. Aku
pun pasti bisa.
Perlahan
dan penuh kehati-hatian. Nilai-nilai yang tertunda segera kuselesaikan dalam
waktu satu semester. Dosen-dosen pun tercengang melihat aksiku yang begitu
sigap. Tak biasanya aku dilirik seperti ini. Dipuji berlebih dan selalu dicari.
Yah, karena penemuan robot yang baru saja aku ciptakan. Tak bisa dipungkiri,
aku mampu melalui semua ini karena termotivasi dari seorang gadis yang telah membuatku
iri dengan segudang prestasi yang diraihnya.
***
Saat
duduk menikmati rasa haru yang menyelimutiku karena akhirnya bisa membuktikan
kepada ayah-ibu. Tiba-tiba, getar ponsel mengagetkanku.
“Selamat, ya!” sebuah
sms melayang ke nomor ponselku.
“Terima kasih, ini siapa?” balasku.
Kuterima
balasan:
“Dengan Heru lah, masa nomor teman sendiri
sudah lupa!”
“Rupanya kamu”, balasku.
Memang
sudah lama tak saling komunikasi dengannya. Sejak aku kehilangan ponsel
beberapa minggu yang lalu. Lagi pula dia juga jarang muncul di kampus. Maklum
juga sih, sibuk mempersiapkan kebutuhan pernikahannya.
Tiba-tiba
ponselku kembali berbunyi, “Memang
berharap siapa?”
“Ah, tidak, cuma sekedar ingin tahu” elakku,
meski aku berharap itu adalah sms dari Ifa. Aku kan sudah memberinya nomor
ponselku, pas acara launching robot.
Lagi pula, mana ada perempuan sholeh sepertinya memulai sms kepada lawan
jenisnya yang notabene mantan preman kampus. Sejak rektor berganti, aku tak pernah lagi
memotori demo, pasalnya Pak Rektor terpilih ini sangat pro mahasiswa, namun
juga tak mengucilkan hal lain. Bahkan para dosen pun banyak yang segan dan kagum
dengan kepemimpinannya.
Akhirnya, enam bula telah kulalui.
Besok adalah waktu yang kunanti-nanti. Tinggal menghitung menit, aku menyandang
gelar S.T. Namaku akan dihiasi dengan gelar itu, Muh. Miftah, S. T. Orang tuaku
sungguh sangat bahagia. Janji yang pernah terucap pun sebentar lagi menjadi
kenyataan. Aku akan memberikan kabar bahagia
“Kamu
akhirnya membuktikan kepada kami, Nak!” sambil memelukku erat, ibu meneteskan
air mata.
“Tetapi
satu lagi permintaan kami yang harus kamu kabulkan,” bisik ayah pelan saat
menepuk pundakku.
“Apa
lagi, Yah?”
“Kamu
harus segera menikah!”
“Hah,
menikah? Tidak, Yah, aku ini masih muda.”
“Kamu
masih muda, tetapi kami semakin tua, Nak.”
Memang
betul kata orang. Anak tunggal itu tidak enak. Bukannya aku mau mencela takdir.
Tetapi memang repot kalau orang tua tidak mengerti dan selalu mau dituruti.
Sampai detik ini pun tak pernah terpikir olehku untuk menikah secepat yang
diinginkan oleh ayah dan ibu. Di sisi lain, aku juga kasihan melihat mereka
menanti-nanti terus untuk menimang cucu. Sungguh ribet dan membingungkan.
“Belum
ada calon, Yah!”
“Ayah
sudah menyiapkan calon yang tepat!” seperti ingin membungkam mulutku yang siap
mengeluarkan sejuta alasan.
“Iya,
Nak. Kamu pasti suka. Dia anak yang cerdas dan cantik,” tambah Ibuku.
“Tapi…,Bu!”
Bagaimana dengan gadis yang selalu
muncul dalam anganku. Padahal aku mengidolakannya. Bahkan, aku mau mencoba
mendekatinya. Bukan berarti mengajaknya pacaran. Aku tahu, pasti ia tak mau
pacaran. Menyebutnya saja, ia mungkin tak pernah.
“Gadis
ini pasti cocok untukmu. Dia juga masih sanak saudara kita” Ayah makin memaksa.
“Coba
lihat fotonya!”
“Hah…ini
foto siapa, Yah?” tanyaku keheranan.
Tanpa
menyambung percakapan lagi, aku meninggalkan ayah dan ibu yang masih berdiri di
ruang tamu. Sungguh di luar dugaan. Gadis yang ada di foto itu adalah Ifa. Mana
mungkin, ia mau dijodohkan. Aku tak percaya. Aku tahu betul gadis berjilbab
sepertinya, pasti juga mau mencari lelaki sholeh. Yah, meski aku akui diriku
ini sedikit sholeh sih, tapi tetap saja itu mustahil.
Lepas
dari perbincangan jodoh itu. Aku pun sudah resmi menyandang gelar S.T. Toga
yang kukenakan kini resmi mengeluarkan aku dari status mahasiswa. Pengganti di
senat pun telah ditetapkan. Tinggal satu masalah terbesar, menikah.
Aku
mencoba mencari tahu tentang Ifa dari teman terdekatnya. Ia memang sedang
dijodohkan. Aku tahu bahwa lelaki itu adalah aku. Tapi bagiku sangat sulit,
belum tentu ia mau menerimaku. Sms pun melayang ke ponselnya.
“Assalamualaikum, maaf mau bertanya. Apa betul
ini dengan Ifa?”
“Iya. Mau tanya apa dan ini dari siapa?”
“Kira-kira kriteria yang diinginkan oleh
perempuan berjilbab itu seperti apa? by: Miftah”
“Mampu menjadi imam!”
Aku pernah menghubunginya, namun
tidak pernah diangkat. Malah diberikan nomor ponsel dan disuruh menghubungi ke
nomor itu. Kuberanikan menghubungi nomor ponsel yang dikirimnya via sms.
Rupanya pemiliki nomor itu adalah guru spiritualnya. Ia menyebutnya ustadzah.
Heran
pun bertahta. Kok, malah nyuruh
hubungi orang lain. Padahal, orang tuanya masih lengkap. Tapi sudahlah, yang
penting aku mah menerima segala kegiatan yang dia jalani.
Hmm…
aku baru tahu ternyata Ifa mengarahkan ke arah proses ta’aruf. Sebuah proses pengenalan yang dihalalkan dalam Islam.
Bagiku itu bukan masalah, yang terpenting memaksimalkan proses ta’aruf. Ternyata, syaratnya tidak
berat-berat amat. Aku pun sudah menyanggupi syarat yang diajukan. Salah satunya
adalah prosesi nikah dipisah antara tamu laki-laki dan perempuan. Akhirnya, khitbah dari orang tuaku diterima
oleh dia dan keluarganya. Sekarang, aku tinggal mempersiapkan rencana sebulan
kedepan.
Tak
pernah terpikirkan sebelumnya bisa mempersunting gadis berkerudung merah jambu
yang membuatku termotivasi dalam segala hal.