Senin, 20 Agustus 2012

Bapak, Mangga.


Oleh: Siska Dewi

“Atos nepi neng? Ti mana asalna?” “Abdi namina siska Ibu, abdi yang mau tinggal di rumah Ibu.” Percakapan awal ketika tiba disebuah rumah yang dinding dan lantainya masih terbuat dari kayu. Jawabannya memang kurang sesuai dengan pertanyaan si Ibu, tapi karena bahasa sunda yang dipelajari baru sebatas itu jadi hanya itu yang bisa disampaikan. Kesan pertama yang mengundang senyum panjang sampai saat ini.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Sekolah Guru Indonesia (SGI) angkatan ke 3 yang dilaksanakan di kampung Tambleg-desa Cidikit-Bayah-Banten memberi catatan terindah bagi 32 orang peserta SGI. Meski tanpa listrik, signal HP, dan kondisi jalan yang sangat sulit karena berbukit-bukit dan  jalanan yang berbatu, tapi masing-masing memiliki cerita di sini, tak ada yang tak berkesan, tak ada yang tak indah, dan tak ada yang tak belajar.

Menetap untuk waktu yang cukup lama, awalnya. Tapi seperti mimpi berpetualang dan terbangun dengan cepat, setelah melaluinya. Tinggal dengan kakek-nenek dan satu orang cucunya yang masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Keluarga baruku, semoga bukan untuk sementara tetapi untuk selamanya. Kakek yang sekarang aku panggil Bapak ini bernama Suparta, ia adalah imam masjid. Tubuhnya tinggi, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, garis alisnya jelas, jenggotnya tipis tanpa kumis, sepertinya Bapak dulunya adalah pemuda yang tampan. Nenek yang juga sekarang aku panggil Ibu ini bernama Suhetina, atau lebih sering dipanggil Ibu entin. Tubuhnya mungil, rambutnya lurus sebahu, hidungnya pun cukup mancung, dan satu lagi, senyumannya manis. Mungkin senyuman ini yang menarik Bapak sehingga memantapkan hati untuk hidup bersama Ibu. Bapak dan Ibu memiliki 2 orang anak, anak yang pertama bernama Ali dan yang kedua bernama Neli. Keduanya sudah menikah dan tinggal di luar kampung Tambleg. Senyumku pun mengembang mengingat ledekan Bapak, “Ibu ini, cuma Bapak yang mau.” Ibu memukul pelan bahu Bapak, sambil berkata “Iiish….” Mereka berdua memang romantis, tak pernah aku mendengar mereka mengeluh.

Yogi prayoga, memiliki tinggi badan sekitar 120 cm, kulit sawo matang, mata yang agak sayu, dan hidung yang cukup mancung mirip hidung Ibu. Dia adalah cucu Ibu dan Bapak. Orang tuanya bercerai ketika umur Yogi masih 6 bulan dikandungan. Ketika sudah lahir dan masih dalam kondisi bayi Yogi sering sakit-sakitan, Ibu bilang “Yogi itu gak bisa makan, apa yang dimakan selalu dikeluarin lagi.” Aku coba bertanya, “sudah diperiksa ke dokter bu?” “sudah teh, tapi bayarnya mahal. Habis 1,5 juta teh, tapi belum sembuh juga. Akhirnya dibawa ke dukun aja. Kata dukunnya, gara-gara Bapaknya gak mau ngakuin dia anak. Terus akhirnya pas udah diakuin anak sama Bapaknya, Yoginya sembuh.” Dalam hati aku cuma berkata, “kayaknya Yogi sembuh gara-gara udah minum obat dari dokter yang abis 1,5 juta itu deh bu, mungkin reaksi obatnya aja yang agak lama. Nah, setelah obat-obatan yang diminum terakumulasi dalam tubuh Yogi, baru deh Yogi sembuh. Kebetulan sembuhnya itu terjadi pas Yogi berobat ke dukun.” Bibirku pun tertarik ke kanan 1 cm dan ke kiri 1 cm, senyum lebar setelah analisis yang mungkin cukup ilmiah.

Bukan tidak cerdas, bukan anak nakal, dan bukan tidak mau belajar. Yogi hanya butuh perhatian lebih, karena diusianya yang masih kecil ia harus mengetahui bahwa orangtuanya sudah tidak bersama lagi dan ia harus tinggal bersama kakek dan neneknya. Kakek dan neneknya yang ia juga panggil Bapak dan Ibu tidak bisa memberikan perhatian lebih, tidak bisa mengajaknya bermain apalagi mengajarkannya pelajaran-pelajaran di sekolah yang masih sulit Yogi pahami. Anak yang baru berusia 10 tahun ini harus berusaha mandiri, tidak ada tempat untuknya bermanja, tidak ada tempat untuknya bercerita banyak tentang kejadian-kejadian yang dialaminya setiap hari, tangisnya dianggap akibat kenakalannya sendiri. Terdiam-sesak-air mataku tiba-tiba jatuh, terbayangkan jika aku diposisi Yogi. Suatu hari ia berkata, “Teh, liat tu kinciran di pohon itu.” Aku melihat kearah yang ditunjuk, “Kinciran yang unik, terbuat dari bambu yang diserut dengan diameter sekitar 5 mm. Ada dua batang bambu disana, satu batang yang panjangnya sekitar 30 cm sebagai tiang dan satu batang lagi sekitar 15 cm yang diserut hingga tipis sebagai kincir. Ada bendera kecil di salah satu ujung kincir, yang sepertinya terbuat dari kertas. “Siapa gi yang buat?” Yogi pun hanya menjawab dengan mengangkat bahunya sebentar dan langsung menurunkannya, menandakan pernyataan tidak tahu. Beberapa hari setelah kejadian itu, baru aku tahu ternyata Yogi yang membuat kincir itu, kata temanku yang waktu itu melihatnya membuat kincir angin itu sendiri. Kagum pada kreativitasnya. Satu lagi yang membuatku kagum, pagi itu ada seorang Bapak yang memiliki beberapa daging tumbuh yang cukup besar ditubuhnya seperti tumor,kakinya besar sebelah, Bapak itu lewat di depan rumah Yogi. Dengan bergegas Yogi mengambil mangga yang sengaja disimpannya untuk dibawa ke sekolah, “Bapak, mangga.” Hanya itu kata yang keluar mengiringi mangga yang langsung disodorkan oleh Yogi. Tak banyak kata, tapi langsung melakukan. Talk less, do more. Kebaikan dan ketulusan seorang anak yang menyadarkan bahkan mungkin membuat malu orang yang melihatnya, ketika tidak peka dengan hal-hal kecil yang bisa membahagiakan orang lain-BERBAGI.

Kamu anak cerdas, kamu anak baik, kamu anak hebat, kamu anak kuat, Yogi. Aku bangga bisa mengenal dirimu, pelajaran yang kamu berikan menyadarkan banyak orang, terutama aku. Belajar untuk lebih kuat, mandiri, dan peka terhadap sekitar untuk berbagi.

“Walau listrik susah, walau signal susah, walau jalanan pun susah…
Rasa syukur ini karna bersamamu juga susah dilupakan…
Ooh, ku bahagia…”
(lirik lagu “Ku bahagia”, Sherina dengan sedikit ubahan)

Si Tolol Israel

Oleh: Das
Senandung Puisi untuk Palestina
Makassar, 4 Januari 2009


Jantung Palestina tengah berdarah
Si Tolol Israel kembali mengukir sejarah miris bak mengoyak-ngoyak jantung para Syuhada
Menggempur tanpa mengukur
Menyerbu tanpa menyeru
Dasar, Si Tolol tak berkeperimanusiaan lagi terlaknat
Ya, dasar Si Tolol tak tahu adab  
Lihatlah ketololan mereka dengan berlindung di balik teknologi penghancur yang mereka rakit
Dengarlah nada-nada rudal yang didendangkan si tolol Israel itu
Mereka mendendangkan senandung nada seni tolol tanpa penggemar
Dasar seniman tolol tak tahu teori seni

Wahai Si Tolol Israel……
Apa tak malu? Sudah kali ketiga ketololanmu diukir di Gaza
Ke mana sifat smart yang kalian miliki, senjata berpeluru beton, tank-tank sakti yang kalian ciptakan, toh tak mampu merampas Gaza kami
Dan sekarang engkau kembali pada kubangan yang sama
Apa tak takut jatuh ketika peluru beton dan tank-tank yang kalian ciptakan kembali menyerbu ketololan kalian tanpa kompromi?
Hahh…
Tapi buat apa peringatan kami
Toh kalian Si Tolol yang tak mengerti apa itu karma
Si Tolol yang juga punya konco-konco tolol

Hei….tolol,
Apa kamu marah bila dikatai tolol?
Silakan!!!
Bagaiamana kami tak mengataimu tolol kalau perang yang kalian ciptakan tak sesuai dengan teori perang yang sesungguhnya
Bagaimana kami tak mengataimu tolol kalau serdadu yang kalian kirim berada di udara sedang lawanmu tak di sana
Bagaimana kami tak mengataimu tolol kalau rudal yang kalian kirim tak kenal jiwa




Dasar tolol…
Visi-misi kalian pada Gaza hanya obsesi murahan tak berharga meski kelak Gaza kau genggam
Sayang obsesimu kerap jadi mimpi
Meski otak licik dan picik kalian terapkan tak buat gentar
Sebab syuhadah punya pelindung sejati yang selalu buat kalian gentar

Wahai Si Tolol Israel…
Yang selalu berlindung di balik teknologi
Perlu kalian camkan bahwa tiap tetes darah yang kalian karenakan
akan terganti dengan puluhan miliar tetesan darah
bahwa tiap tangis akan menjadi tawa yang akan menertawai kalian
dan tiap-tiap umat akan mengutuk dan berdoa atas kehancuranmu

Dan andai kau tahu pilu yang kurasa
Maka dengan lantang kukatakan bahwa aku adalah saudara Gaza
Siap syahid untuknya
Bahkan lebih lantang kan kukatakan bahwa ribuan “aku” antre tuk syahid untuknya
Dan perlu kau tahu
bahwa aku penyair yang kan selalu mendendangkan ketololanmu di belahan dunia manapun
Kan kuciptakan triliyunan bait puisi laknat untukmu
Dan hari ini dengan bangga kulantunkan puisi dengan tema “Si Tolol Israel tengah menikmati ketololannya”  


Dari Mujahidah Dienul Islam
Untuk Palestina Tercinta

KERUDUNG MERAH JAMBU

Oleh: Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa_DOMPU)

Andai  waktu itu aku tak bertemu dengannya. Mungkin aku sudah jatuh pada kubangan hina. Beruntung juga aku punya banyak kenalan. Sekarang aku bahkan tak mampu mengucap kata selain terima kasih. Dia sosok yang menjadi inspirasiku. Gadis itu adalah dewi fortuna bagiku. Awal perkenalanku dengannya, sungguh tak sedetik pun dapat terlupakan. Aktivis sepertinya masih sempat memperhatikan hal kecil yang sudah dianggap angin lalu bagi kebanyakan orang.
Hembusan angin yang mempertemukan langkahku dengannya. Pembungkus permen yang terbawa sepoi angin saat tenggorokanku gatal ingin mengunyah sebungkus permen. Seolah menjadi penuntun bagiku bersua dengan gadis anggun itu. Pertama memang buatku risih dengaan tingkahnya yang selalu melototi aksiku. Dengan gaya tak bersalah aku pun tak menghiraukannya. Memang tidak ada yang aneh dari diriku, pikirku. Tingkahnya yang membuatku keki  membawa beribu alasan bagiku untuk menebak isi hatinya. Gagah, tampan, atau apalah, mungkin itu yang ada di dalam pikirannya. Tapi, kalau memang dia berpikir demikian, kok tidak memandangku dengan tatapan lembut, malah sinis. Apa karena cara berpakaian atau…? Ah, jadi makin penasaran.
Siapa yang tak penasaran, secara dia adalah gadis anggun yang tak sedikit pun menampakkan auratnya. Tapi memelototiku sesekali. Ah, kutepis rasa yang tak selaras. Kok aku kegeeran begini, ya. Mencoba untuk menepis rasa aneh yang kian menjadi. Segera kutinggalkan halte tempatku berdiri menunggu angkot yang lewat.
Pembungkus permen yang sedari tadi kumainkan, ternyata menjadi jawaban dari ribuan pertanyaan yang bersarang di benak ini. Hanya menghitung detik dari tempatku beranjak. Gadis itu menggantikan posisiku. Lalu diambilnya pembungkus permen yang telah kubuang. Kuperhatikan sekali lagi, entah aksi apa yang akan dilakoninya. Ternyata, ia tak mendapatkan tong sampah, dia lalu memasukkan pembungkus permen itu ke dalam ransel hijau yang dibawanya. Rupanya, dia seorang pecinta lingkungan. Bukan gadis biasa, pikirku. Meski aku sering melihat gadis sepertinya di kampus, namun yang satu ini betul-betul membuatku terkagum-kagum. Teman-temanku memang tak banyak yang bergaya sepertinya.
“Hei, kok bengong saja!” tepukan Heru mengagetkanku.
“Eh, kamu, ada apa?”
“Yeee, bertanya ada apa. Aku menunggu sampai kering kerontang, kamu tidak datang-datang!”
Astaghfirullah…aku lupa kalau ada janji denganmu”.
            Sore itu, aku seolah tersihir oleh gadis berjilbab itu. Janji dengan teman  pun aku lupakan. Cemen banget. Masa sih, jagoan kampus sepertiku memikirkan gadis yang sama sekali tak membuat lelaki berbalik ke arahnya jika berlalu. Jauh dari kata ‘seksi’ dibanding kebanyakan perempuan. Pakaiannya tertutup. Tetapi juga tak membuat orang melihatnya sebagai sosok yang menakutkan. Sederhana dan cantik. Satu kata yang paling cocok untuknya ‘anggun’.
“Pasti, memikirkan pacar-pacar kamu,” Heru kembali menyela.
“Pacar-pacar?” dengan nada keheranan.
“Oh, jadi kamu amnesia juga tentang itu?” tanyanya seakan tak percaya dengan komentarku.
            Heru, memang tak begitu tahu dengan kondisiku yang jomblo. Semua pacarku sudah kuputuskan. Vina, Vivit, dan Sisi. Bagiku mereka tak lebih hanyalah teman biasa. Mereka saja yang kegenitan, mengaku-ngaku sebagai pacarku. Ya, aku iyakan saja. Sekedar mengobati dan membahagiakan kaum Hawa yang tergila-gila kepadaku. Kok, aku narsis gini ya. Ah, sudahlah.
“Kalau kamu tidak percaya, ya sudah!” aku mencoba meyakinkannya.
“Tapi tidak ada target baru, kan?” kembali tak percaya padaku.
“Iya, aku mau serius belajar.”
“Apa? Kamu kena angin apa?”
“Kok, heran begitu. Ini permintaan ibuku. Harus selesai tahun ini,” jelasku.
“Haha…” tawanya membahana.
            Selama ini terlalu sering aku mengacuhkan permintaan ibu. Sudah hampir enam tahun aku bergelut dan melanglang buana di kampus. Namun, hingga kini gelar sarjana tak kunjung kusandang di akhir namaku. Nilai-nilaiku memang bagus, namun banyak juga yang tunda. Harus kurampungkan.
“Aku juga berencana mengundurkan diri dari senat!” tambahku.
“Woi…sadar bung, dari tadi ngelantur terus!” Heru makin berpikir bahwa aku tak serius.
“Iya, keputusan ini sudah melalui proses panjang”
“Panjang bagaimana? Anak-anak belum tahu dan ini sangat sepihak!” mencoba meyakinkanku.
“Aku sudah disidang oleh ayah-ibuku”.
“Aku juga sudah istikhara dan jawaban yang kudapat adalah keputusan ini” terangku.
            Biarpun aktivis dan agak preman, aku tetap menjalankan kewajiban sebagai muslim. Yah, termasuk mengambil keputusan dengan jalan istikhara. Itu cara islami. Kata guru fiqihku waktu masih di pesantren. Masa kepengurusanku di kampus masih lama. Sudah tiga periode aku menjabat sebagai ketua. Bila tak kutanggalkan, maka akan menghambat kuliah dan secara otomatis gelar  sarjana teknik alias S.T. tak bisa kuraih tahun ini.
Sejak pertemuanku dengan gadis itu, hatiku tersentuh. Kebersihan lingkungan menjadi kewajiban bersama. Itu sudah diajarkan sejak aku duduk di  SD kelas 1, tetapi rasanya aku diingatkan beberapa menit yang lalu oleh seorang gadis yang sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku, namun mampu memberi efek seperti ini kepadaku.
Saat keputusan sudah bulat untuk mengundurkan diri. Tiba-tiba, aku teringat dengan sosok gadis yang kutemui beberapa hari lalu. Wajahnya tak asing bagiku. Seperti sudah pernah bertemu, tapi entah di mana.
            Kulihat sosok yang mirip dengannya. Yakin seratus persen, itu dia. Barulah aku sadar ternyata dia adalah Duta Lingkungan Hidup dari kampusku. Pantas saja waktu itu, dia geram menatapku membuang sampah sembarangan. Tatapan sinis gadis manis berkerudung merah jambu itu tak akan terlupakan. Kami dipertemukan dalam sebuah rapat yang diwakili oleh seorang mahasiswa dari tiap jurusan. Memang baru kali pertama ada rapat seperti ini. Rektor yang baru menjabat di kampus kami ingin merangkul semua aktivis kampus dari berbagai jurusan untuk mendukung salah satu programnya menjadikan mahasiswa sebagai social control dalam kampus, bukan sebaliknya. Itu berarti mahasiswa terlibat secara langsung untuk tiap masalah yang ada di kampus. Meski kita tahu, itu memang fungsi mahasiswa. Sekedar memperjelas saja kali ya atau mungkin saja Pak Rektor capek melihat berita di media masa seputar mahasiswa yang sering demo dengan jalan merusak dan merugikan orang lain. Atau bisa saja sekedar cari muka saja. Tetapi, entahlah, semoga semua ini tak sesuai dengan pikiranku.
Usai rapat, masih saja aku memikirkannya. Jadi ingin mengurungkan niat untuk mundur dari jabatan ketua. Tetapi  bagaimana dengan ayah-ibu, pikirku. Tiba-tiba pikiran ini mengawang, teringat dengan gadis anggun yang kerap muncul dalam benak ini. Rapat dengan lintas jurusan beberapa hari lalu membuatku mengenal namanya. Ifa nama gadis itu. Lengkapnya aku tak tahu. Ia bisa sukses di akademik namun kegiatan ekstranya juga jalan terus. Manajemen waktunya pasti bagus.
Kalau Ifa bisa mendapat prestasi dengan puluhan schedule per hari, mengapa aku tidak bisa? Aku makin tertantang untuk membuktikan bahwa aktivis pun bisa berprestasi.
            Kuberanikan diri menghadap ayah-ibu untuk membahas tentang aku yang masih tetap ingin berorganisasi dan akan kubuktikan dengan gelar S.T. predikat cummlaude. Banyak hal yang menjadikan aku tertantang dengan gadis bernama Ifa itu. Dia seorang gadis dan aktivis, tetapi bisa berkeliling Indonesia bahkan ke luar negeri dengan kecerdasannya. Beasiswa yang pernah diraihnya sangat banyak. Aku pun pasti bisa.
Perlahan dan penuh kehati-hatian. Nilai-nilai yang tertunda segera kuselesaikan dalam waktu satu semester. Dosen-dosen pun tercengang melihat aksiku yang begitu sigap. Tak biasanya aku dilirik seperti ini. Dipuji berlebih dan selalu dicari. Yah, karena penemuan robot yang baru saja aku ciptakan. Tak bisa dipungkiri, aku mampu melalui semua ini karena termotivasi dari seorang gadis yang telah membuatku iri dengan segudang prestasi yang diraihnya.
***
Saat duduk menikmati rasa haru yang menyelimutiku karena akhirnya bisa membuktikan kepada ayah-ibu. Tiba-tiba, getar ponsel mengagetkanku.
“Selamat, ya!” sebuah sms melayang ke nomor ponselku.
“Terima kasih, ini siapa?” balasku.
Kuterima balasan:
“Dengan Heru lah, masa nomor teman sendiri sudah lupa!”
“Rupanya kamu”, balasku.
Memang sudah lama tak saling komunikasi dengannya. Sejak aku kehilangan ponsel beberapa minggu yang lalu. Lagi pula dia juga jarang muncul di kampus. Maklum juga sih, sibuk mempersiapkan kebutuhan pernikahannya.
Tiba-tiba ponselku kembali berbunyi, “Memang berharap siapa?”
“Ah, tidak, cuma sekedar ingin tahu” elakku, meski aku berharap itu adalah sms dari Ifa. Aku kan sudah memberinya nomor ponselku, pas acara launching robot. Lagi pula, mana ada perempuan sholeh sepertinya memulai sms kepada lawan jenisnya yang notabene mantan preman kampus.  Sejak rektor berganti, aku tak pernah lagi memotori demo, pasalnya Pak Rektor terpilih ini sangat pro mahasiswa, namun juga tak mengucilkan hal lain. Bahkan para dosen pun banyak yang segan dan kagum dengan kepemimpinannya.
            Akhirnya, enam bula telah kulalui. Besok adalah waktu yang kunanti-nanti. Tinggal menghitung menit, aku menyandang gelar S.T. Namaku akan dihiasi dengan gelar itu, Muh. Miftah, S. T. Orang tuaku sungguh sangat bahagia. Janji yang pernah terucap pun sebentar lagi menjadi kenyataan. Aku akan memberikan kabar bahagia
“Kamu akhirnya membuktikan kepada kami, Nak!” sambil memelukku erat, ibu meneteskan air mata.
“Tetapi satu lagi permintaan kami yang harus kamu kabulkan,” bisik ayah pelan saat menepuk pundakku.
“Apa lagi, Yah?”
“Kamu harus segera menikah!”
“Hah, menikah? Tidak, Yah, aku ini masih muda.”
“Kamu masih muda, tetapi kami semakin tua, Nak.”
Memang betul kata orang. Anak tunggal itu tidak enak. Bukannya aku mau mencela takdir. Tetapi memang repot kalau orang tua tidak mengerti dan selalu mau dituruti. Sampai detik ini pun tak pernah terpikir olehku untuk menikah secepat yang diinginkan oleh ayah dan ibu. Di sisi lain, aku juga kasihan melihat mereka menanti-nanti terus untuk menimang cucu. Sungguh ribet dan membingungkan.
“Belum ada calon, Yah!”
“Ayah sudah menyiapkan calon yang tepat!” seperti ingin membungkam mulutku yang siap mengeluarkan sejuta alasan.
“Iya, Nak. Kamu pasti suka. Dia anak yang cerdas dan cantik,” tambah Ibuku.
“Tapi…,Bu!”
            Bagaimana dengan gadis yang selalu muncul dalam anganku. Padahal aku mengidolakannya. Bahkan, aku mau mencoba mendekatinya. Bukan berarti mengajaknya pacaran. Aku tahu, pasti ia tak mau pacaran. Menyebutnya saja, ia mungkin tak pernah.
“Gadis ini pasti cocok untukmu. Dia juga masih sanak saudara kita” Ayah makin memaksa.
“Coba lihat fotonya!”
“Hah…ini foto siapa, Yah?” tanyaku keheranan.
Tanpa menyambung percakapan lagi, aku meninggalkan ayah dan ibu yang masih berdiri di ruang tamu. Sungguh di luar dugaan. Gadis yang ada di foto itu adalah Ifa. Mana mungkin, ia mau dijodohkan. Aku tak percaya. Aku tahu betul gadis berjilbab sepertinya, pasti juga mau mencari lelaki sholeh. Yah, meski aku akui diriku ini sedikit sholeh sih, tapi tetap saja itu mustahil.
Lepas dari perbincangan jodoh itu. Aku pun sudah resmi menyandang gelar S.T. Toga yang kukenakan kini resmi mengeluarkan aku dari status mahasiswa. Pengganti di senat pun telah ditetapkan. Tinggal satu masalah terbesar, menikah.
Aku mencoba mencari tahu tentang Ifa dari teman terdekatnya. Ia memang sedang dijodohkan. Aku tahu bahwa lelaki itu adalah aku. Tapi bagiku sangat sulit, belum tentu ia mau menerimaku. Sms pun melayang ke ponselnya.
 “Assalamualaikum, maaf mau bertanya. Apa betul ini dengan Ifa?”
“Iya. Mau tanya apa dan ini dari siapa?”
“Kira-kira kriteria yang diinginkan oleh perempuan berjilbab itu seperti apa? by: Miftah”
“Mampu menjadi imam!”
            Aku pernah menghubunginya, namun tidak pernah diangkat. Malah diberikan nomor ponsel dan disuruh menghubungi ke nomor itu. Kuberanikan menghubungi nomor ponsel yang dikirimnya via sms. Rupanya pemiliki nomor itu adalah guru spiritualnya. Ia menyebutnya ustadzah.
Heran pun bertahta. Kok, malah nyuruh hubungi orang lain. Padahal, orang tuanya masih lengkap. Tapi sudahlah, yang penting aku mah menerima segala kegiatan yang dia jalani.
Hmm… aku baru tahu ternyata Ifa mengarahkan ke arah proses ta’aruf. Sebuah proses pengenalan yang dihalalkan dalam Islam. Bagiku itu bukan masalah, yang terpenting memaksimalkan proses ta’aruf. Ternyata, syaratnya tidak berat-berat amat. Aku pun sudah menyanggupi syarat yang diajukan. Salah satunya adalah prosesi nikah dipisah antara tamu laki-laki dan perempuan.  Akhirnya, khitbah dari orang tuaku diterima oleh dia dan keluarganya. Sekarang, aku tinggal mempersiapkan rencana sebulan kedepan.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya bisa mempersunting gadis berkerudung merah jambu yang membuatku termotivasi dalam segala hal.



kesehatan mental

1.    Definisi Sehat
*     Definisi sehat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Sehat adalah dalam keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiaannya.
*     Definisi sehat menurut WHO :
Yaitu suatu keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan (Smet, 1994).
*     Definisi sehat menurut Freud (1991) dalam The International Dictionary of Medicine and Biology :
              Yaitu suatu kondisi yang dalam keadaan baik dari suatu organisme atau bagaimana yang dicirikan oleh fungsi yang normal dan tidak adanya penyakit.
*     Definisi sehat menurut UU Kesehatan RI nomor 23 Tahun 1992 :
Sehat adalah keadaan sejahtera (well being) dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang (individu) hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Atas dasar definisi tersebut tersirat bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari ”kesehatan” seseorang secara keseluruhannya dari merupakan salah satu unsur dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang optimal.

2.    Definisi Mental
*      Definisi mental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Berasal dari kata Latin mens, mentis artinya adalah jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat.
*      Definisi mental menurut Kamus Psikologi :
Menunjuk pada pikiran atau pikiran dalam artinya semula, ini  dipandang sebagai pikiran, namun sekarang digunakan sehubungan dengan penyesuaian yang melibatkan fungsi-fungsi simbolik dan yang individu sadar akan hal itu.

3.   Definisi Kesehatan Mental
*      Definisi Kesehatan Mental menurut Kamus Psikologi :
Usaha memelihara kesehatan mental, terutama ditekankan pada pendidikan dimasa kanak-kanak dan pendidikan yang berhubungan dengan metode-metode penyesuaian normal.
*      Definisi Kesehatan Mental menurut Dr. Zakiah Daradjat :
Terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta mencapai keharmonisan jiwa dalam hidup.
*      Definisi Kesehatan Mental menurut psikiater Karl Menniger :
”Kesehatan mental adalah penyesuaian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum; kesehatan ini bukan hanya berupa efisiensi atau hanya perasaan puas, atau keluwesan dalam mematuhi berbagai aturan permainan dengan riang hati. Kesehatan mental mencakup itu semua. Kesehatan mental meliputi kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan orang lain, dan sikap hidup yang bahagia. Itulah jiwa yang sehat”.

*      Definisi Kesehatan Mental menurut pandangan pekerja sosial W.W. Boehm :
”Kesehatan mental meliputi suatu keadaan dan taraf keterlibatan sosial yang diterima oleh orang lain dan memberikan kepuasan bagi orang-orang yang bersangkutan”.
*      Definisi Kesehatan Mental menurut psikolog H.B. English :
”Kesehatan mental adalah keadaan yang relatif tetap dimana sang pribadi menunjukkan penyesuaian atau mengalami aktualisasi diri atau realisasi diri. Kesehatan mental merupakan keadaan positif, bukan sekedar berupa tidak adanya gangguan mental”.

4.    Komponen – komponen Mental ialah
*     Emosi
*     Pengendalian pikiran
*     Konsentrasi
*     Motivasi

5.    Perbedaan dan Persamaan Mental dan Kepribadian
*     Perbedaan Mental dan Kepribadian :
*     Mental lebih menekankan kepada bagaimana (kemampuan) individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan menggunakan segala potensi yang dimilikinya. Mental merupakan bagian dari kepribadian seseorang.
*     Kepribadian merupakan suatu inti dari manusia itu sendiri yang menjadi ciri khas yang merupakan suatu kesatuan bagi individu itu dalam menyesuaikan diri terhadap rangsangan baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya yang menggambarkan individu tersebut secara konsisten.
*    Persamaan Mental dan Kepribadian :
*     Sama-sama merupakan bagian dari diri seorang individu yang melekat pada dirinya dan menggambarkan diri individu tersebut.

6.    Perbedaan Mental dengan Jiwa
Mental memubuhkan proses adaptasi seorang individu terhadap lingkungannya, yang nanti akan membentuk pribadinya. Sedangkan jiwa ada semenjak individu itu lahir dan berkembang seiring usia individu tersebut.

7.    Perbedaan Kesehatan Mental dengan Kesehatan Jiwa
*      Kesehatan Mental terbentuk dari proses adaptasi seorang individu terhadap lingkungannya serta berkaitan dengan kehidupan kerohaniahan.
*      Kesehatan Jiwa terbentuk dari kesatuan dan keutuhan organ-organ penting dari seorang individu seperti otak yang merupakan alat yang paling vital menetukan kesehatan jiwa seseorang.

8.    Ciri-ciri mental yang Sehat  
*     Menurut Maslow and Mittelmann dalam bukunya ”Principles of Abnormal Psychology”, antara lain:
*     Memiliki rasa aman (sense of secirity) yang tepat,
*     Memiliki penilaian diri/ self-evaluation dan wawasan diri yang rasional, dengan rasa harga diri yang sedang, cukup, dan tidak berlebihan,
*     Punya spontanitas dan emosionalitas yang tepat,
*     Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan,
*     Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat, namun dia tetap tidak bisa diperbudak oleh nafsunya sendiri,
*     Mempunyai pengetahuan diri yang cukup dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi,
*     Memiliki tujuan hidup yang tepat yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis,
*     Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman-pengalaman hidupnya yaitu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes,
*     Ada kesanggupan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya sebab dia konform dengan yang lain (tidak terlalu berbeda, dan tidak menyimpang),
*     Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan namun dia tetap memiliki originalitas dan individualitas yang khas sebab dia mampu membedakan yang baik dari yang buruk,
*     Ada integritas dalam kepribadiannya yaitu kebulatan unsur jasmaniah dan rohaniahnya.

*     Menurut Oldewelt (dalam Kartono, 1979 : 143)
*      Memiliki perasaan yang harmonis dan seimbang
*      Selalu merasa aman dan terjamin
*      Memiliki kepercayaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
*      Punya kemampuan untuk memahami dan mengontrol diri sendiri
*      Memiliki kepribadian yang matang dan terintegrasi secara utuh
*      Punya relasi social yang memuaskan
*      Mempunyai struktur system syaraf yang sehat, dan memiliki kekenyalan untuk beradaptasi
*      Bahagia, bebas / merdeka jiwanya, dan memiliki kesusilaan dan memeluk agama
*      Tidak sakit supaya ia dapat produktif

9.    Ciri-ciri mental yang Sakit
*     Menurut buku Hygiene Mental ialah :
*      Secara relatif mereka itu jauh daripada status integrasi
*      Tidak mampu/ sengaja tidak mau menikul tanggungjawab kedewasaan
*      Tidak dapat mengadakan penyesuaian diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma sosial yang ada.

10.        Macam-macam Gangguan Mental
*      Gangguan Mental Organik : Mengacu pada kegagalan dalam melakukan penyesuain yang jelas disebabkan oleh luka pada bagian otak atau mungkin karena tidak berfungsinya substansi-subtansi biokimia yang bekerja pada bagian-bagian tersebut (neotransmitter). Jadi gangguan mental dikelompokkan ke dalam gangguan mental organik bila jelas dietemukan sebab-sebab organik dari ganggguan tersebut. Adapun kerusakan pada otak atau neurotransmitter yang menyebabkan gangguan mental bisa terjadi karena luka (kecelakaan), infeksi (bakteri, virus), alkohol, racun, usia lanjut, dan keturunan.
*      Gangguan Mental Fungsional : Terjadi karena kesalahan / kegagalan dalam belajar/ kegagalan dalam mendapatkan pola-pola yang memadai untuk menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan kehidupan. Oleh karena itu suatu gangguan mental digolongkan ke dalam gangguan mental fungsional bila ganguan tersebut tidak dapat dilacak sebab-sebab organiknya seperti adanya kerusakan pada bagian otak tertentu misalnya.
*      Macam-macam Gangguan Mental (Siti Sundari, 2005), antara lain, Gangguan Mental (Psikoneurosa/neurosis) :
a.  Histeria, penderita merasa sakit kadang-kadang dapat berupa kelumpuhan dan juga terdapat perasaan tertekan, gelisah, cemas, dsb. Gejala yang berhubungan dengan fisik, antara lain:
ä  Lumpuh histeria
ä  Kram histeria
ä  Kejang histeria
ä  Mutism (kesanggupan berbicara hilang)
b.  Bentuk-bentuk dissosiasi kepribadian (fugue, somnabulisme, multiple personality)
c.  Psikastenia, yang sering dibarengi simptom-simptom fobia, obsessi, kompulsi
d.  Tics atau gangguan gerak-gerak fasial
e.  Hipokondira
f.   Neurastenia
g.  Anxiety neurosia
h.  Psikosomatisme (hypertension dan effort syndrome, peptic ulcer). Bentuk pola simptom psikosomatik klasik, antara lain:
o   Tukak lambung (adanya luka pada lambung)
o   Anorexia nervosa (adanya gangguan makan)
o   Migrain (pusing kepala yang sangat nyeri)

Gejala yang berhubungan dengan mental, antara lain:
ä  Amnesia (hilang ingatan)
ä  Fugue (berkelana secara tidak sadar)
ä  Kepribadian ganda
ä  Kepribadian sosiopatik
ä  Depersonalisasi
ä  Somnabulisme (tanpa sadar melakukan sesuatu dalam keadaan tidur)
i.    Kelainan seksual, antara lain:
*     Otcerotisisme (perangsangan sendiri pada alat kelamin)
*     Homoseksual/ lesbian
*     Sadisme
*     Fetishima (pemuasan seksual jika melihat/ tersentuh barang/ benda dari lawan jenis)
*     Paedofilia
*     Transvetisisme (pemuasan seksual yang diperoleh dengan berpakaian dan menyamar sebagai jenis kelamin lain)
*     Exhibisionisme (pemuasan seksual yang diperoleh dengan menunjukkan alat kelamin kepada jenis kelamin lain)
*     Voyeuresma/inspeksionalisme (pemuasan seksual dengan mengintip pasangan yang sedang berhubungan seks, juga pemuda yang mengintip lawan jenisnya sedang melepas pakaian)
*     Masochinisme (mengasosiasikan rasa sakit dengan kenikmatan seksual)
*     Insest (hubungan seksual antara anggota keluarga)
*     Perkosaan.

11.        Sumber-sumber Gangguan Mental
*      Presisposisi strukur biologis/ jasmani yang “minder”, mental kepribadian yang lemah atau kombinasi dari keduanya bisa menimbulkan gangguan mental.
*      Faktor Psikososial berupa pemaksaan batin yang keliru dari pengalaman yang dapat berupa kejadian yang traumatik atau pencernaan pengalaman dalam diri subyek dengan cara yang salah yang biasanya berbentuk konflik batin yang tajam dan sangat mendalam yang tidak bisa diselesaikan dengan cara yang wajar.
*      Faktor sosio-kultural atau faktor eksternal, berupa ketegangan-ketegangan pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan rivalitas dan persaingan yang kemudian akan menimbulkan ketakutan, kecemasan dan kebingungan yang dapat menjadi persemaian yang paling subur bagi timbulnya berbagai gangguan mental.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani.
Baihaqi, MIF. dkk. 2005. Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan. Bandung :
Refika Aditama.
Kartono, Kartini dan Dali Gulu. 1987. Kamus Psikologi. Bandung : Pionir Jaya.
Setiawan, Theodorus I. Materi kuliah Psikologi Kepribadian.
Siswanto. 2007.  Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan dan Perkembangan. Yogyakarta 
: Andi Yogya.
Sitanggang, A.H. Henry. 1994. Kamus Psikologi. Bandung : C.V. Armico.
Sundari,Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta : Rineka Cipta.
Kartono, K & Andari, J. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam. Bandung : Penerbit CV Mandar Maju.
www.Google.com