Jumat, 17 Agustus 2012

Kisah Klasik dengan Pak Idris


Oleh: Dasnah (SGI III Dompet Dhuafa)

Sepertinya takkan bisa menggambarkan betapa besarnya peranan guru bagi murid-muridnya. Dua hari lalu, penulis membaca sebuah buku karangan Martha Kaufeldt ‘Wahai Guru, Ubahlah Cara Mengajarmu’. Ia mengawali tulisannya dengan membahas bahwa betapa pentingnya memulai segalanya dengan otak.  Seorang guru hebat, akan mempertimbangkan peranan otak dalam menyampaikan ilmu yang hendak ditransfer kepada murid. Kita bisa menamainya dengan pembelajaran berdasarkan otak. Benar, guru punya power bila GURU menyadarinya. Power itulah yang menjadikan murid memiliki power dua kali lipat dibanding guru itu sendiri.
Buku itu mengantarkan penulis pada kenangan masa silam tentang seorang gadis, sewaktu masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri, tepatnya tahun 2003. Gadis beranjak remaja, Ana namanya. Gadis itu bukanlah siswa paling pintar di kelas, namun berkat seorang guru dia memiliki impian untuk menjadi seorang guru pula. Melalui guru pula dia belajar menjadi siswa yang peka dengan sekitar. Sebenarnya ada banyak nama yang tertoreh dalam hatinya jika ditanyakan tentang siapa guru paling berkesan baginya, sebab hampir setiap guru memiliki cara tersendiri menanamkan special moment padanya.
Salah satu gurunya di bangku menengah atas, pernah memantik rasa haru dalam hati kecilnya. Guru hebat itu, Pak Idris, guru pengampuh mata pelajaran Bahasa Arab dan Quran Hadits berhasil memahat special moment amat berharga bagi Ana. Tahukah Anda apa yang dilakukan oleh seorang Pak Idris hingga namanya terpatri dalam sanubari seorang murid yang kini berusaha mengikuti jejaknya? Pak Idris, memang tak bisa bercanda layaknya guru-guru lain, namun sesekali candaan itu terlontar begitu saja darinya hingga membuat seisi kelas tertawa saling pandang.  Sebelum memulai pelajaran, Pak Idris, biasanya bercerita tentang kisah-kisah islami. Pun murid-muridnya terbiasa menghafal hadits dan quran berkat inspirasi darinya. Pak Idris, selain seorang guru, ia juga penghafal quran, tentu tata letak ayat dan terjemahannya, sudah merupakan hal yang biasa-biasa saja baginya. Namun, ternyata bekal itulah yang menjadikan seisi kelas ingin menjadi penghafal sepertinya. Ana contoh konkret, ia berhasil meraih tropi penghargaan sebagai siswa yang memiliki kompeten dalam hafalan quran. Itu bekat inspirasi darinya.
Ternyata, Ana diam-diam menaruh semangat dalam hati ketika guru Quran Hadits itu menyebut namanya, tiap kali ia mengajar di kelas. Bagi sebagian murid, mungkin hal itu adalah sesuatu yang biasa, guru menyebut nama kemudian memberikan instruksi. Sama sekali tak ada yang spesial. Lain halnya dengan Ana, guru menyebut namanya bahkan diinstruksikan apa saja dianggapnya sebagai sebuah penghargaan, dalam ingatannya Pak Idris adalah salah satu sosok guru yang membuatnya bermimpi menjadi guru yang tentunya akan menerapkan metode sang guru menaruh special moment pada muridnya.
Kini, Ana, gadis beranjak remaja itu sudah dewasa. Ia  tengah menjalani profesi yang sama dengan gurunya. Ia selalu memulai pelajaran dengan menghafalkan nama anak-anakanya, bahkan bila ia berkisah atau memberi contoh, nama siswanya kerap diselipkan. Tawa riang tentu terukir pada wajah sang anak yang disebutnya.
Sebutlah Usman, salah seorang anak didiknya. Kehadirannya dapat dihitung jari. Ia juga tak bisa berbahasa Indonesia, menulis dan membaca tak sedikit pun mampu dilaluinya, bahkan abjad masih tak dikenalinya. Padahal, ia sudah duduk di kelas empat. Ia kerap menampakkan wajah malu kepada teman-temannya yang lain saat diminta maju oleh Ana. Hal itu pun disadari betul oleh Ana. Makanya, ia berusaha membuatnya betah berada di kelas. Tak jarang ia menyebutkan nama Usman bila terlontar pertanyaan atau tatkala ia memberikan contoh. Mendengar namanya disebutkan berulang kali oleh gurunya, senyum pun menjadi hiasan indah di wajahnya.
Usman, sepertinya merasakan hal berbeda dari Ana. Bulan-bulan sebelumnya ia memang masih sangat jarang hadir di kelas. Ketika sang guru menanyakan tentang ketidakhadirannya, tak satu pun yang tahu alasannya, meski terkadang beberapa temannya berteriak, “rumahnya jauh, Bu e!” Namun, sudah masuk dua bulan, kehadirannya meningkat sembilan puluh delapan persen.  Ia pun terlihat agak cerah, rapi, dan sudah mulai memoles mukanya dengan senyum. Lagi-lagi, sepertinya karena guru yang kerap mengulang namanya, serta memberinya wejangan dengan pelan. Bahkan, tak jarang Bu Ana meminta maaf dari anak-anaknya tatkala tangannya telah berbalut emosi hingga pukulan setengah keras melayang di pundak mereka.
Ana, yang akrab dipanggil Bu Ana benar-benar menikmati lakonnya, kini. Melihat tawa riang siswanya bila nama mereka disebutkan olehnya, ia seakan kembali mengenang kisah klasik dengan gurunya, Pak Idris. Guru yang telah menancapkan asa hingga mengakar kuat dalam hati kecilnya. Dan kini, asa itu pun berbuah. Buah yang tentu dirasakan oleh anak-anaknya.
Entah sampai kapan kisah klasik bersama gurunya itu akan berujung, yang pasti, ia enggan mengakhirinya. Sebab kisah klasik itu telah menginspirasi dirinya menjadi guru yang kelak akan dijadikan kisah klasik juga oleh anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar