Oleh: Dasnah (SGI III Dompet
Dhuafa)
Sepertinya
takkan bisa menggambarkan betapa besarnya peranan guru bagi murid-muridnya. Dua
hari lalu, penulis membaca sebuah buku karangan Martha Kaufeldt ‘Wahai Guru,
Ubahlah Cara Mengajarmu’. Ia mengawali tulisannya dengan membahas bahwa betapa
pentingnya memulai segalanya dengan otak.
Seorang guru hebat, akan mempertimbangkan peranan otak dalam
menyampaikan ilmu yang hendak ditransfer kepada murid. Kita bisa menamainya
dengan pembelajaran berdasarkan otak. Benar, guru punya power bila GURU menyadarinya. Power
itulah yang menjadikan murid memiliki power
dua kali lipat dibanding guru itu sendiri.
Buku
itu mengantarkan penulis pada kenangan masa silam tentang seorang gadis,
sewaktu masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri, tepatnya tahun 2003.
Gadis beranjak remaja, Ana namanya. Gadis itu bukanlah siswa paling pintar di
kelas, namun berkat seorang guru dia memiliki impian untuk menjadi seorang guru
pula. Melalui guru pula dia belajar menjadi siswa yang peka dengan sekitar.
Sebenarnya ada banyak nama yang tertoreh dalam hatinya jika ditanyakan tentang
siapa guru paling berkesan baginya, sebab hampir setiap guru memiliki cara
tersendiri menanamkan special moment
padanya.
Salah
satu gurunya di bangku menengah atas, pernah memantik rasa haru dalam hati
kecilnya. Guru hebat itu, Pak Idris, guru pengampuh mata pelajaran Bahasa Arab dan
Quran Hadits berhasil memahat special
moment amat berharga bagi Ana. Tahukah Anda apa yang dilakukan oleh seorang
Pak Idris hingga namanya terpatri dalam sanubari seorang murid yang kini
berusaha mengikuti jejaknya? Pak Idris, memang tak bisa bercanda layaknya
guru-guru lain, namun sesekali candaan itu terlontar begitu saja darinya hingga
membuat seisi kelas tertawa saling pandang.
Sebelum memulai pelajaran, Pak Idris, biasanya bercerita tentang
kisah-kisah islami. Pun murid-muridnya terbiasa menghafal hadits dan quran
berkat inspirasi darinya. Pak Idris, selain seorang guru, ia juga penghafal
quran, tentu tata letak ayat dan terjemahannya, sudah merupakan hal yang
biasa-biasa saja baginya. Namun, ternyata bekal itulah yang menjadikan seisi
kelas ingin menjadi penghafal sepertinya. Ana contoh konkret, ia berhasil
meraih tropi penghargaan sebagai siswa yang memiliki kompeten dalam hafalan
quran. Itu bekat inspirasi darinya.
Ternyata,
Ana diam-diam menaruh semangat dalam hati ketika guru Quran Hadits itu menyebut
namanya, tiap kali ia mengajar di kelas. Bagi sebagian murid, mungkin hal itu
adalah sesuatu yang biasa, guru menyebut nama kemudian memberikan instruksi.
Sama sekali tak ada yang spesial. Lain halnya dengan Ana, guru menyebut namanya
bahkan diinstruksikan apa saja dianggapnya sebagai sebuah penghargaan, dalam
ingatannya Pak Idris adalah salah satu sosok guru yang membuatnya bermimpi
menjadi guru yang tentunya akan menerapkan metode sang guru menaruh special moment pada muridnya.
Kini,
Ana, gadis beranjak remaja itu sudah dewasa. Ia
tengah menjalani profesi yang sama dengan gurunya. Ia selalu memulai
pelajaran dengan menghafalkan nama anak-anakanya, bahkan bila ia berkisah atau
memberi contoh, nama siswanya kerap diselipkan. Tawa riang tentu terukir pada
wajah sang anak yang disebutnya.
Sebutlah
Usman, salah seorang anak didiknya. Kehadirannya dapat dihitung jari. Ia juga
tak bisa berbahasa Indonesia, menulis dan membaca tak sedikit pun mampu
dilaluinya, bahkan abjad masih tak dikenalinya. Padahal, ia sudah duduk di
kelas empat. Ia kerap menampakkan wajah malu kepada teman-temannya yang lain
saat diminta maju oleh Ana. Hal itu pun disadari betul oleh Ana. Makanya, ia
berusaha membuatnya betah berada di kelas. Tak jarang ia menyebutkan nama Usman
bila terlontar pertanyaan atau tatkala ia memberikan contoh. Mendengar namanya
disebutkan berulang kali oleh gurunya, senyum pun menjadi hiasan indah di
wajahnya.
Usman,
sepertinya merasakan hal berbeda dari Ana. Bulan-bulan sebelumnya ia memang
masih sangat jarang hadir di kelas. Ketika sang guru menanyakan tentang
ketidakhadirannya, tak satu pun yang tahu alasannya, meski terkadang beberapa
temannya berteriak, “rumahnya jauh, Bu e!” Namun, sudah masuk dua bulan,
kehadirannya meningkat sembilan puluh delapan persen. Ia pun terlihat agak cerah, rapi, dan sudah
mulai memoles mukanya dengan senyum. Lagi-lagi, sepertinya karena guru yang
kerap mengulang namanya, serta memberinya wejangan dengan pelan. Bahkan, tak
jarang Bu Ana meminta maaf dari anak-anaknya tatkala tangannya telah berbalut
emosi hingga pukulan setengah keras melayang di pundak mereka.
Ana,
yang akrab dipanggil Bu Ana benar-benar menikmati lakonnya, kini. Melihat tawa
riang siswanya bila nama mereka disebutkan olehnya, ia seakan kembali mengenang
kisah klasik dengan gurunya, Pak Idris. Guru yang telah menancapkan asa hingga
mengakar kuat dalam hati kecilnya. Dan kini, asa itu pun berbuah. Buah yang
tentu dirasakan oleh anak-anaknya.
Entah
sampai kapan kisah klasik bersama gurunya itu akan berujung, yang pasti, ia
enggan mengakhirinya. Sebab kisah klasik itu telah menginspirasi dirinya
menjadi guru yang kelak akan dijadikan kisah klasik juga oleh anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar