Oleh:
Siska Dewi
“Atos nepi neng? Ti mana asalna?”
“Abdi namina siska Ibu, abdi yang mau tinggal di rumah Ibu.” Percakapan awal
ketika tiba disebuah rumah yang dinding dan lantainya masih terbuat dari kayu.
Jawabannya memang kurang sesuai dengan pertanyaan si Ibu, tapi karena bahasa
sunda yang dipelajari baru sebatas itu jadi hanya itu yang bisa disampaikan.
Kesan pertama yang mengundang senyum panjang sampai saat ini.
Kuliah Kerja Nyata (KKN) Sekolah
Guru Indonesia (SGI) angkatan ke 3 yang dilaksanakan di kampung Tambleg-desa
Cidikit-Bayah-Banten memberi catatan terindah bagi 32 orang peserta SGI. Meski tanpa
listrik, signal HP, dan kondisi jalan yang sangat sulit karena berbukit-bukit
dan jalanan yang berbatu, tapi masing-masing
memiliki cerita di sini, tak ada yang tak berkesan, tak ada yang tak indah, dan
tak ada yang tak belajar.
Menetap untuk waktu yang cukup lama,
awalnya. Tapi seperti mimpi berpetualang dan terbangun dengan cepat, setelah
melaluinya. Tinggal dengan kakek-nenek dan satu orang cucunya yang masih duduk
di kelas 5 Sekolah Dasar. Keluarga baruku, semoga bukan untuk sementara tetapi
untuk selamanya. Kakek yang sekarang aku panggil Bapak ini bernama Suparta, ia
adalah imam masjid. Tubuhnya tinggi, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung,
garis alisnya jelas, jenggotnya tipis tanpa kumis, sepertinya Bapak dulunya
adalah pemuda yang tampan. Nenek yang juga sekarang aku panggil Ibu ini bernama
Suhetina, atau lebih sering dipanggil Ibu entin. Tubuhnya mungil, rambutnya
lurus sebahu, hidungnya pun cukup mancung, dan satu lagi, senyumannya manis.
Mungkin senyuman ini yang menarik Bapak sehingga memantapkan hati untuk hidup
bersama Ibu. Bapak dan Ibu memiliki 2 orang anak, anak yang pertama bernama Ali
dan yang kedua bernama Neli. Keduanya sudah menikah dan tinggal di luar kampung
Tambleg. Senyumku pun mengembang mengingat ledekan Bapak, “Ibu ini, cuma Bapak
yang mau.” Ibu memukul pelan bahu Bapak, sambil berkata “Iiish….” Mereka berdua
memang romantis, tak pernah aku mendengar mereka mengeluh.
Yogi prayoga, memiliki tinggi badan
sekitar 120 cm, kulit sawo matang, mata yang agak sayu, dan hidung yang cukup
mancung mirip hidung Ibu. Dia adalah cucu Ibu dan Bapak. Orang tuanya bercerai
ketika umur Yogi masih 6 bulan dikandungan. Ketika sudah lahir dan masih dalam
kondisi bayi Yogi sering sakit-sakitan, Ibu bilang “Yogi itu gak bisa makan,
apa yang dimakan selalu dikeluarin lagi.” Aku coba bertanya, “sudah diperiksa
ke dokter bu?” “sudah teh, tapi bayarnya mahal. Habis 1,5 juta teh, tapi belum
sembuh juga. Akhirnya dibawa ke dukun aja. Kata dukunnya, gara-gara Bapaknya
gak mau ngakuin dia anak. Terus akhirnya pas udah diakuin anak sama Bapaknya,
Yoginya sembuh.” Dalam hati aku cuma berkata, “kayaknya Yogi sembuh gara-gara
udah minum obat dari dokter yang abis 1,5 juta itu deh bu, mungkin reaksi
obatnya aja yang agak lama. Nah, setelah obat-obatan yang diminum terakumulasi
dalam tubuh Yogi, baru deh Yogi sembuh. Kebetulan sembuhnya itu terjadi pas
Yogi berobat ke dukun.” Bibirku pun tertarik ke kanan 1 cm dan ke kiri 1 cm,
senyum lebar setelah analisis yang mungkin cukup ilmiah.
Bukan tidak cerdas, bukan anak
nakal, dan bukan tidak mau belajar. Yogi hanya butuh perhatian lebih, karena
diusianya yang masih kecil ia harus mengetahui bahwa orangtuanya sudah tidak
bersama lagi dan ia harus tinggal bersama kakek dan neneknya. Kakek dan
neneknya yang ia juga panggil Bapak dan Ibu tidak bisa memberikan perhatian
lebih, tidak bisa mengajaknya bermain apalagi mengajarkannya
pelajaran-pelajaran di sekolah yang masih sulit Yogi pahami. Anak yang baru
berusia 10 tahun ini harus berusaha mandiri, tidak ada tempat untuknya
bermanja, tidak ada tempat untuknya bercerita banyak tentang kejadian-kejadian
yang dialaminya setiap hari, tangisnya dianggap akibat kenakalannya sendiri.
Terdiam-sesak-air mataku tiba-tiba jatuh, terbayangkan jika aku diposisi Yogi.
Suatu hari ia berkata, “Teh, liat tu kinciran di pohon itu.” Aku melihat kearah
yang ditunjuk, “Kinciran yang unik, terbuat dari bambu yang diserut dengan diameter
sekitar 5 mm. Ada dua batang bambu disana, satu batang yang panjangnya sekitar
30 cm sebagai tiang dan satu batang lagi sekitar 15 cm yang diserut hingga
tipis sebagai kincir. Ada bendera kecil di salah satu ujung kincir, yang
sepertinya terbuat dari kertas. “Siapa gi yang buat?” Yogi pun hanya menjawab
dengan mengangkat bahunya sebentar dan langsung menurunkannya, menandakan
pernyataan tidak tahu. Beberapa hari setelah kejadian itu, baru aku tahu
ternyata Yogi yang membuat kincir itu, kata temanku yang waktu itu melihatnya
membuat kincir angin itu sendiri. Kagum pada kreativitasnya. Satu lagi yang
membuatku kagum, pagi itu ada seorang Bapak yang memiliki beberapa daging
tumbuh yang cukup besar ditubuhnya seperti tumor,kakinya besar sebelah, Bapak
itu lewat di depan rumah Yogi. Dengan bergegas Yogi mengambil mangga yang
sengaja disimpannya untuk dibawa ke sekolah, “Bapak, mangga.” Hanya itu kata
yang keluar mengiringi mangga yang langsung disodorkan oleh Yogi. Tak banyak
kata, tapi langsung melakukan. Talk less, do more. Kebaikan dan
ketulusan seorang anak yang menyadarkan bahkan mungkin membuat malu orang yang
melihatnya, ketika tidak peka dengan hal-hal kecil yang bisa membahagiakan
orang lain-BERBAGI.
Kamu anak cerdas, kamu anak baik,
kamu anak hebat, kamu anak kuat, Yogi. Aku bangga bisa mengenal dirimu,
pelajaran yang kamu berikan menyadarkan banyak orang, terutama aku. Belajar
untuk lebih kuat, mandiri, dan peka terhadap sekitar untuk berbagi.
“Walau listrik susah, walau signal
susah, walau jalanan pun susah…
Rasa syukur ini karna bersamamu juga
susah dilupakan…
Ooh, ku bahagia…”
(lirik lagu “Ku bahagia”, Sherina
dengan sedikit ubahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar