Senin, 20 Agustus 2012

Bapak, Mangga.


Oleh: Siska Dewi

“Atos nepi neng? Ti mana asalna?” “Abdi namina siska Ibu, abdi yang mau tinggal di rumah Ibu.” Percakapan awal ketika tiba disebuah rumah yang dinding dan lantainya masih terbuat dari kayu. Jawabannya memang kurang sesuai dengan pertanyaan si Ibu, tapi karena bahasa sunda yang dipelajari baru sebatas itu jadi hanya itu yang bisa disampaikan. Kesan pertama yang mengundang senyum panjang sampai saat ini.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Sekolah Guru Indonesia (SGI) angkatan ke 3 yang dilaksanakan di kampung Tambleg-desa Cidikit-Bayah-Banten memberi catatan terindah bagi 32 orang peserta SGI. Meski tanpa listrik, signal HP, dan kondisi jalan yang sangat sulit karena berbukit-bukit dan  jalanan yang berbatu, tapi masing-masing memiliki cerita di sini, tak ada yang tak berkesan, tak ada yang tak indah, dan tak ada yang tak belajar.

Menetap untuk waktu yang cukup lama, awalnya. Tapi seperti mimpi berpetualang dan terbangun dengan cepat, setelah melaluinya. Tinggal dengan kakek-nenek dan satu orang cucunya yang masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Keluarga baruku, semoga bukan untuk sementara tetapi untuk selamanya. Kakek yang sekarang aku panggil Bapak ini bernama Suparta, ia adalah imam masjid. Tubuhnya tinggi, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, garis alisnya jelas, jenggotnya tipis tanpa kumis, sepertinya Bapak dulunya adalah pemuda yang tampan. Nenek yang juga sekarang aku panggil Ibu ini bernama Suhetina, atau lebih sering dipanggil Ibu entin. Tubuhnya mungil, rambutnya lurus sebahu, hidungnya pun cukup mancung, dan satu lagi, senyumannya manis. Mungkin senyuman ini yang menarik Bapak sehingga memantapkan hati untuk hidup bersama Ibu. Bapak dan Ibu memiliki 2 orang anak, anak yang pertama bernama Ali dan yang kedua bernama Neli. Keduanya sudah menikah dan tinggal di luar kampung Tambleg. Senyumku pun mengembang mengingat ledekan Bapak, “Ibu ini, cuma Bapak yang mau.” Ibu memukul pelan bahu Bapak, sambil berkata “Iiish….” Mereka berdua memang romantis, tak pernah aku mendengar mereka mengeluh.

Yogi prayoga, memiliki tinggi badan sekitar 120 cm, kulit sawo matang, mata yang agak sayu, dan hidung yang cukup mancung mirip hidung Ibu. Dia adalah cucu Ibu dan Bapak. Orang tuanya bercerai ketika umur Yogi masih 6 bulan dikandungan. Ketika sudah lahir dan masih dalam kondisi bayi Yogi sering sakit-sakitan, Ibu bilang “Yogi itu gak bisa makan, apa yang dimakan selalu dikeluarin lagi.” Aku coba bertanya, “sudah diperiksa ke dokter bu?” “sudah teh, tapi bayarnya mahal. Habis 1,5 juta teh, tapi belum sembuh juga. Akhirnya dibawa ke dukun aja. Kata dukunnya, gara-gara Bapaknya gak mau ngakuin dia anak. Terus akhirnya pas udah diakuin anak sama Bapaknya, Yoginya sembuh.” Dalam hati aku cuma berkata, “kayaknya Yogi sembuh gara-gara udah minum obat dari dokter yang abis 1,5 juta itu deh bu, mungkin reaksi obatnya aja yang agak lama. Nah, setelah obat-obatan yang diminum terakumulasi dalam tubuh Yogi, baru deh Yogi sembuh. Kebetulan sembuhnya itu terjadi pas Yogi berobat ke dukun.” Bibirku pun tertarik ke kanan 1 cm dan ke kiri 1 cm, senyum lebar setelah analisis yang mungkin cukup ilmiah.

Bukan tidak cerdas, bukan anak nakal, dan bukan tidak mau belajar. Yogi hanya butuh perhatian lebih, karena diusianya yang masih kecil ia harus mengetahui bahwa orangtuanya sudah tidak bersama lagi dan ia harus tinggal bersama kakek dan neneknya. Kakek dan neneknya yang ia juga panggil Bapak dan Ibu tidak bisa memberikan perhatian lebih, tidak bisa mengajaknya bermain apalagi mengajarkannya pelajaran-pelajaran di sekolah yang masih sulit Yogi pahami. Anak yang baru berusia 10 tahun ini harus berusaha mandiri, tidak ada tempat untuknya bermanja, tidak ada tempat untuknya bercerita banyak tentang kejadian-kejadian yang dialaminya setiap hari, tangisnya dianggap akibat kenakalannya sendiri. Terdiam-sesak-air mataku tiba-tiba jatuh, terbayangkan jika aku diposisi Yogi. Suatu hari ia berkata, “Teh, liat tu kinciran di pohon itu.” Aku melihat kearah yang ditunjuk, “Kinciran yang unik, terbuat dari bambu yang diserut dengan diameter sekitar 5 mm. Ada dua batang bambu disana, satu batang yang panjangnya sekitar 30 cm sebagai tiang dan satu batang lagi sekitar 15 cm yang diserut hingga tipis sebagai kincir. Ada bendera kecil di salah satu ujung kincir, yang sepertinya terbuat dari kertas. “Siapa gi yang buat?” Yogi pun hanya menjawab dengan mengangkat bahunya sebentar dan langsung menurunkannya, menandakan pernyataan tidak tahu. Beberapa hari setelah kejadian itu, baru aku tahu ternyata Yogi yang membuat kincir itu, kata temanku yang waktu itu melihatnya membuat kincir angin itu sendiri. Kagum pada kreativitasnya. Satu lagi yang membuatku kagum, pagi itu ada seorang Bapak yang memiliki beberapa daging tumbuh yang cukup besar ditubuhnya seperti tumor,kakinya besar sebelah, Bapak itu lewat di depan rumah Yogi. Dengan bergegas Yogi mengambil mangga yang sengaja disimpannya untuk dibawa ke sekolah, “Bapak, mangga.” Hanya itu kata yang keluar mengiringi mangga yang langsung disodorkan oleh Yogi. Tak banyak kata, tapi langsung melakukan. Talk less, do more. Kebaikan dan ketulusan seorang anak yang menyadarkan bahkan mungkin membuat malu orang yang melihatnya, ketika tidak peka dengan hal-hal kecil yang bisa membahagiakan orang lain-BERBAGI.

Kamu anak cerdas, kamu anak baik, kamu anak hebat, kamu anak kuat, Yogi. Aku bangga bisa mengenal dirimu, pelajaran yang kamu berikan menyadarkan banyak orang, terutama aku. Belajar untuk lebih kuat, mandiri, dan peka terhadap sekitar untuk berbagi.

“Walau listrik susah, walau signal susah, walau jalanan pun susah…
Rasa syukur ini karna bersamamu juga susah dilupakan…
Ooh, ku bahagia…”
(lirik lagu “Ku bahagia”, Sherina dengan sedikit ubahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar